Pages

.::| Prasetyo Peuru Henry Putra | +6281287553107 | Indonesia Raya | Family: Peuru & Modaso + Kawung & Kumolontang | Mori Atas & Minahasa Selatan | Haleluya! Imanuel! Hosanah! :) |::.

Total Tayangan Halaman

Flag Counter

free counters

Followers

Instagram

Sabtu, 05 Oktober 2024

Buku Konspirasi by Ir. Henry John Christian Peuru

 

Bagian Satu;

Pendahuluan





Profesi jurnalis sungguh mengandung resiko yang sangat berat. Panggilan pengabdian mirisnya bukan hanya dipenjara, bahkan sampai dibunuhpun bisa terjadi. Adalah tragedi Konspirasi Zalim Peradilan Sesat merupakan fenomena dari serentetan tindakan kejam dan biadab di Sulawesi Utara, yang saya alami kurun waktu 5 tahun atas skenario Mafia Hukum, ketika mengendus “Misteri” penculikan dan pembunuhan paling sadis, kejam dan biadab yang menimpa cendekiawan muda DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc.

Panggilan profesi yang menghadang langkah investigasi saya : Pertama diburu “Densus 88” asal Sulawesi Tengah. Kedua, diculik ala teroris 6 oknum Buser Poltabes Manado, kemudian disekap dan dipenjarakan tanpa salah. Ketiga ditangkap lagi ala teroris oleh 8 Buser Poltabes Manado dengan melahirkan serentetan rekayasa tuduhan dan manipulasi ditingkat penyidikan, dan ke-empat ditangkap saat meliput demonstrasi ketika sedang berupaya berjuang mencari keadilan atas tindakan zalim Mafia Hukum Sulawesi Utara. Lebih ironis lagi, kembali ditangkap ala teroris untuk yang ke-lima oleh oknum Polisi Polda Sulut dan Polres Jakarta Pusat tanpa surat penangkapan dan alasan hukum yang jelas. Begitu kuat dugaan adanya pesanan, sehingga oknum aparat menjadi centeng.

Jaksa Penuntut Umum-pun, kemudian melakukan manipulasi fakta hukum ala JPU Cyrus Sinaga, SH, dengan merubah pasal tidak sesuai BAP penyidik Polisi dan memanipulasi izin sakit menjadi melarikan diri. Hakimpun, dengan arogansi konspirasi dzalimnya menetapkan penahanan dengan pasal manipulasi. Yang sebelumnya dibarengi persidangan sesat penuh manipulasi dan rekayasa persidangan. Tanpa memeriksa korban dan terdakwa, dengan arogansi kekuasaannya melahirkan Putusan Menipu Tuhan !.

Tak puas dengan tindakan dzalim dan kejam hanya diarahkan kepada saya, sebelumnya, Mafia Hukum ini menerobos mengusik ketenangan keluarga, istri dan ketiga anak saya : Risa (19 thn), Prasetyo (15 thn) dan Moris (thn 9) yang dibawa (“sandera”), diteror, diancam dan disandera dirumah dinas Gubernur SH. Sarundajang, hingga menyebabkan salah seorang mengalami sakit : Tekanan Mental dan mengakibatkan 2 orang anak kami berhenti sekolah karena ketakutan atas ancaman Mafia Hukum dzalim ini.

Lantas bagaimana awal mula terjadi kebiadaban tersebut ?. Bermula dari panggilan profesi dan rasa peduli kemanusiaan kami sebagai jurnalis yang coba mengendus beberapa tragedi pelanggaran HAM biadab, berupa penculikan dan pembunuhan sadis, keji dan kejam yang menimpa anak pejuang purnawirawan TNI : DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc Wakil Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Prov. Sulut, mantan dosen Fakultas Perikanan Kelautan Universitas Sam Ratulangie Manado, dan penculikan Toar Tangkau, SPd ketua DPD Golkar Minahasa Tenggara di Sulut.

Atas kepedulian kami, ternyata ada yang terusik. Sebagai ketua Tim TPF BULIKT’S, sejak itu saya menerima perlakuan dzalim, yang modusnya hampir sama dengan korban yang diendus, yang Roh Emosi Kebiadabannya sama. Bahkan menerobos mengendalikan seluruh jaringan sistem hingga keruang sidang PN. Manado. Mulai dari manipulasi fakta hukumnya, hingga rekayasa tata cara prosesi sidang dan manipulasi fakta sidang termasuk manipulasi alat bukti surat begitu telanjang dipertontonkan PN. Manado.

Klimaks kebiadabannya, direkayasa kepenjara agar saya bertekuk tak berkutik dengan pasal manipulatif tidak sesuai fakta hukum (BAP) penyidikan. Artinya, jelas terjadi konspirasi hingga menahan orang tidak bersalah tidak sesuai fakta hukum sebagaimana amanah undang-undang.

Tak puas dengan menciptakan serentetan rekayasa tersebut diatas, sayapun dizolimi dengan menghalalkan segala cara dijebloskan kedalam penjara berkali-kali, walau bertentangan dengan undang-undang. Anehnya, selama 9 bulan penjara untuk pemenjaraan yang ke-4, empat (4) kali dua orang ibu yang dimotori ibu bernama Carla Tambunan meminta damai atas nama Gubernur SH. Sarundajang. Bahkan tak tanggung-tanggung Ka. Rutan Kelas II A Manado Bapak Yulius Paat,pun ikut-ikutan (diduga) jadi “Makelar” meminta beberapa kali agar saya menerima putusan, agar saya segera dikeluarkan dari Rutan Malendeng. Namun, kedua tawaran tersebut saya tolak, dan menyatakan tidak takut dipenjara walau sering dilakukan berbagai trik ancaman dan kekerasan yang patut diduga atas pesanan dari dalang Mafia diluar penjara.

Bahkan berbagai trik dan kekangan sewenang-wenang, terus berlanjut agar saya tetap ditahan oleh Ka. Rutan selama 41 hari ditingkat kasasi MARI dan 8 hari ditingkat PT. Manado tanpa surat perintah penahanan. Termasuk surat pengeluaran dari MARI-pun, tak mau digubris oleh Rutan agar saya dikeluarkan. Hingga saya menyurati ke Ka.Kanwil Hukum & HAM Prov. Sulut, setelah melewati 2 hari saya ditahan, baru dikeluarkan Rutan yang bertindak sewenang-wenang yang diduga diatur oleh Makelar Kasus.

Dipenjara : 2 kali di Poltabes Manado masing-masing selama 2 bulan. Kemudian 2 kali dipenjara Kelas II A Manado, masing hampir 5 bulan dan 9 bulan. Sehingga total masa pemenjaraan secara sewenang-wenang yang harus saya jalani sekitar 1 tahun 8 bulan. Tindakan biadab ini, kuat dugaan untuk membungkam saya karena membongkar kejahatan paling sadis, kejam dan biadab di Sulawesi Utara. Lantas mengapa Polisi bereaksi ?. Adakah profesionalisme mereka terusik ?. Ataukah karena konspirasi pesanan bayaran ?. Walahuallam !.

Dibulan Agustus tahun 2007, berita melalui SMS menggegerkan Sulut, Toar Tangkau, SPd diculik sekelompok orang tak dikenal pada tengah malam tanggal 29 Agustus 2007.

Maka bersama beberapa teman, saya ajak melakukan investigasi dan konfirmasi kebenaran SMS penculikan Toar Tangkau kelokasi kejadian disekitar Jl. Boulevard dan Hotel Quality.

Kejadian tragis ini, membuat masyarakat luas menjadi resah dan ketakutan. Betapa masih segar diingatan masyarakat Sulut atas peristiwa sebelumnya dipenghujung tahun 2005, tragedi penculikan dan pembunuhan sadis, kejam dan sangat biadab yang dialami seorang tokoh muda berpengaruh wakil ketua FKPPI Prov. Sulut DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc (Alm).

Menyimak status tokoh muda sekaliber Oddie Manus, cendekiawan handal ahli Perikanan Kelautan Sulawesi Utara mantan dosen Fakultas Perikanan Kelautan Universitas Sam Ratulangi jebolan Universitas Jepang yang juga adalah pejabat Wakil Kepala Dinas Perikanan & Kelautan Prov. Sulawesi Utara, yang kasusnya terbiarkan, membuat saya dan kawan-kawan heran dan sedih. Mengapa kasus kejahatan HAM ini dibiarkan.

Pun kami peroleh beberapa data fakta pelanggaran HAM yang ada di Sulut selama ini, cenderung terbiarkan dan tak terungkap, maka kami memutuskan membentuk wadah solidaritas kepedulian kemanusiaan, untuk menelusuri dan mengungkap kasus pelanggaran HAM di Sulut.

Kesimpulan sementara kami, dua kejadian pelanggaran HAM inilah, yang paling menarik perhatian publik. Bahkan telah menciptakan suasana tidak kondusif dan bisa berimplikasi luas terhadap jaminan rasa aman masyarakat.

Sehingga perlu dilakukan upaya luar biasa disamping mendorong pengungkapan kasus tersebut diatas, juga melalui sosialisasi peranan kepedulian kemanusiaan akan dapat mendorong empati dan menciptakan rasa solidaritas masyarakat mencegah kejahatan untuk menciptakan rasa aman bagi masyarakat Sulut.

Maka keesokan harinya tanggal 30 Agustus 2007, kami sepakat membentuk Tim Pencari Fakta Korban Pembunuhan Penculikan Kekerasan dan Teror for Solidaritas atau disingkat TPF BULIKT’S yang pembentukannya dideklarasikan di rumah makan pantai Mega Mas.

Dihari pembentukan TPF BULIKT’S, kami menjadi legah dan senang karena sahabat saya Toar Tangkau, SPd, mantan rekan wartawan harian Suluh Merdeka ini, akhirnya ditemukan di desa Toboli Sulawesi Tengah. Namun misi kemanusian tim tetap berlanjut dan memutuskan prioritas penyelidikan difokuskan kepada kasus kejahatan paling sadis, kejam dan biadab di Sulut yang dialami DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc. Sambil tetap memantau perkembangan kasus Toar.

Rupanya kepedulian kemanusiaan kami, ada yang tak menginginkannya. Baru sebulan kami melakukan penyelidikan, saya sebagai ketua TPF BULIKT’S, kemudian diburu oleh Densus 88 asal Sulawesi Tengah.

Hingga tanggal 3 Maret 2008, diculik disekap dan dipenjarakan ala teroris secara sewenang-wenang oleh 6 oknum Poltabes Manado berpakaian preman, tidak sesuai aturan menurut undang-undang, atau implementasi peraturan pelaksanaan kepolisian, diikuti serentetan tuduhan rekayasa tindak pidana oleh Mafia Hukum yang berkonspirasi dengan oknum-oknum Mafia Sistem yang menyalahgunakan jabatan dan kekuasaannya.

Hingga suatu waktu, mengerucut kemisteri rekayasa yang menimpa saya, adanya pengakuan mantan Ka.Biro Hukum Ktr. Gubernur, bahwa perintah penangkapan terhadap Henry Peuru oleh Gubernur sebagaimana dilansir Majalah DERAP edisi Agustus 2008.

Kaget memang ketika itu. Apa hubungannya dengan Sarundajang. Misteri diawali dengan interogasi oleh Tim Interogator lintas Kepolisian Daerah seputar kasus rekayasa pertama (I), kemudian disusul rekayasa kedua (II) atas laporan Ir. Recky Toemandoek, MM, -salah seorang yang diduga penyandang dana Mafia hukum- yang buntutnya lahir tawaran damai oleh orang-orang yang mengatasnamakan SH. Sarundajang Gubernur Sulut.

Penangkapan dan Rekayasa ini, kuat dugaan bagian dari skenario Mafia Hukum untuk membungkam saya dan tim (TPF BULIKT’S) agar tidak membongkar kasus penculikan dan pembunuhan DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc.

Indikasi kuat ada yang misterius dari endusan kami, bahwa sejak menelusuri pembunuhan DR. Ir. Oddie Manus, MSc, ada yang gerah. Misaterinya, tiba-tiba datang tawaran damai dari orang-orang yang mengatasnamakan SH. Sarundajang sekitar 5 kali di Rumah Tahanan Poltabes Manado selama dipenjara “Mafia Hukum”.

Karena tidak jelas dasar dan alasan sebab musabab yang melatarbelakangi keinginan SH. Sarundajang untuk melakukan perdamaian dengan saya, semua tawaran damai dengan iming-iming uang, saya tolak. Sejak itu saya (walau dalam penjara) dan kawan-kawan terus menerima ancaman dan teror.

Masih dalam penjara, gerah karena saya tak mau berdamai, eh malah dikriminalisasikan dengan melahirkan rekayasa ketiga (III) berupa tuduhan pencemaran nama baik Gubernur Sulut SH. Sarundajang. Namun saya tidak gentar dan takut.

Tak menggubris laporan ancamannya, usai dipenjarakan kembali tawaran damai dilakukan. Kini inisiatif langsung datang dari Gubernur. Maka pertemuan dilangsungkan di lt. 18 Hotel Borobudur, setelah Gubernur kembali melahirkan laporan rekayasa keempat (IV) di Polda Metro Jaya, yang lagi-lagi dijadikan senjata ancaman pada pertemuan tersebut untuk memaksa saya mengikuti tawaran Gubernur. Sama seperti modus-modus perdamaian sebelumnya, selalu dibarengi ancaman.

Karena terus bersiasat dengan ancaman, intimidasi dan kriminalisasi, hasil pertemuan minta damai pertama di Lt 18 Borobudur : Saya tolak. Karena penolakan itu, sekembali mereka ke Manado, inisiatif jahat lainnya dicetuskan lagi. Ketiga anak saya yang tidak tahu apa-apa yang tinggal bersama oma dan opa mereka di Desa Boyong Atas Kec. Tenga Kab. Minahasa Selatan Sulawesi Utara, dijadikan target operasi (TO). Setelah diketahui alamat mereka di Manado dan Minahasa Selatan, dengan strategi bujuk rayu, anak-anak saya mereka bawah (“sandera”) kerumah Gubernur dan disana mereka diinterogasi dan diancam.

Tidak cukup dibawah (“sandera”) kerumah Gubernur, anak tertua kami (wanita) : Risa Cristie yang sedang kuliah di Fakultas Hukum UNSRAT Manado, dibawa paksa ke Jakarta dijadikan “sandera” agar dapat memaksa saya bertemu dan berdamai dengan SH. Sarundajang. Takut anak kami diapa-apain, saya akhirnya melayani permintaan pertemuan dengan Gubernur kedua di Lt. 18 Hotel Borobudur. Pada pertemuan ke-2 itu, saya ditawari menjadi staf Ahli dan fasilitas mewah lainnya. Namun tawaran menggiurkan tersebut tak membuat saya tertarik dan terpengaruh. Semua tawarannya saya tolak secara halus, dengan meminta mencantumkan klausul alasan perdamaian pada pokok perselisihan kami. Namun mereka tak dapat mencantumkan dasar perselisihan untuk perdamaian. Sehingga perdamaian tidak terjadi.

Tindakan mereka hingga menohok kerana anak-anak, menjadi patut dituding biadab, atas kriminalisasi oleh sekelompok Mafia Hukum dan Makelar Kasus yang mengerubuti saya, betapa dengan sangat kejam-pun mengusik ketenangan ketiga anak saya yang masih kecil dan tidak tahu apa-apa.

Mengetahui perbuatan mereka telah mengganggu ketenangan ketiga anak saya, kami melaporkan peristiwa tersebut ke Mabes Polri. Namun pihak Mabes Polri menyarankan melaporkan ke Polda Sulut, “sesuai locus delictienya,” tandas mereka.

Anehnya di Manado, malah saya dilaporkan fitnah ke Poltabes Manado sebagai Rekayasa keenam (VI). Bahkan settingan BAP rekayasa-pun diihktiarkan untuk meredam perjuangan saya oleh Steven Liow, SSos mantan Kadis Capil Kota Manado yang kini menjabat Kadispora Prov. Sulut kemenakan SH. Sarundajang yang membawa ketiga anak saya. Sehingga kami menjadi bingung ulah Polisi di Sulut. Entah kemana mengaduh.

Merasa terus diintimidasi dan dikriminalisasikan oleh begundal mafia hukum, walau Polisi di Sulut tidak peduli, saya bertekat melawan segala bentuk intimidasi, teror dan kekerasan fisik dari segala bentuk kebiadaban yang mereka lakukan terhadap saya, anak-anak dan keluarga.

Maka berbagai Institusi Negara dan Lembaga non Pemerintah di Jakarta, saya datangi, walau berbagai upaya rekayasa untuk meredam dan menghambat langkah saya untuk terus berjuang mencari keadilan, juga terus gencar dilakukan. Tak kurang sekelompok mafia jurnalispun ikut bergerilya keberbagai lembaga pers di Jakarta merancang manipulasi dan merekayasa informasi memburuk-burukan saya. Tak puas memburuk-burukkan saya di Jakarta, sekelompok mafia jurnalis yang bernaung dibawah PWI Cab.Sulut bahkan melakukan kekerasan fisik mengeroyok saya. Laporan kekerasanpun telah dilayangkan ke Poltabes Manado, namun sama dengan laporan lainnya, semua sunyi senyap. Yah ada orang kuat, sehingga hukum bisa dibolak-balik, dibalik-bolak.

Sebuah perjuangan melawan tirani kekuasaan dan oknum-oknum aparat “kotor” yang dapat dikendalikan kekuasaan dan uang. Menutupi dan menyiasati misteri yang patut diduga terkait dengan upaya pembungkaman peduli kemanusiaan saya atas investigasi kasus penculikan dan pembunuhan sadis, kejam dan biadab DR. Ir. Oddie A Manus, MSc, yang lehernya dijerat kawat, empat jari tangannya ditebas, leher dibawah telinga hampir putus serta tubuh penuh sayatan dengan beberapa lubang bekas tikaman disekujur tubuhnya, betul-betul membuat ngeri dan merinding.

Kemudian atas kasus rekayasa ketiga (III) dan (IV) yang telah memenjarakan saya dan sengaja didiamkan hingga senyap mengendap selama 1 tahun 8 bulan di Kejari Manado, setelah bolak-balik Kejati-Kejari Manado tak didengar, akhirnya, baru memperoleh jawaban kepastian hukum, setelah ditangani JANWAS Kejagung RI. Dan ditindaklanjuti hingga dilimpahkan ke PN. Manado. Tentunya, saya senang karena perjuangan saya bisa berhasil.


Kebiadaban Peradilan Sesat

Ketika memasuki persidangan, saya terkaget-kaget, ternyata berhadapan tembok baru : KEBIADABAN MAFIA PERADILAN. Keganjilan dan keanehan menghadang. Berbagai bentuk siasat REKAYASA, kuat dugaan bergulir melahirkan Peradilan Sesat !. Apalagi, diawali dengan surat dakwaan yang telah terjadi secara lain dan dimanipulasi fakta hukumnya, dengan menggagas pasal sesat (tidak sesuai BAP ala JPU Cyrus Sinaga).

Padahal, peradilan sebagaimana amanah undang-undang yang tertuang pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), jelas sekali diuraikan pada Bab. III Pasal 3 KUHAP bahwa prosedurnya dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dimana prosesi peradilan intinya adalah Mengadili, yaitu proses dari serangkaian tindakan hakim untuk menerima memeriksa dan memutuskan perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP pasal 1 butir 9. Anehnya, prosesi peradilan sesat ini, korban dan terdakwa tidak diperiksa, namun lahir putusan : Manpulatif.

Dimana proses peradilan sebagaimana saya alami, bukan saja tata caranya dilanggar, namun sejumlah alat bukti dimanipulasi. Tidak cukup dengan langkah peradilan busuk dan dzolim, dilahirkan tindakan biadab, ditahan dengan pasal sesat 335 ayat ke-1 KUHP atau bukan pasal sesuai fakta hukum (BAP) pasal 310 dan 315 KUHP, sebagaimana berkas perkara yang dilimpahkan ke pengadilan.

Kebiadaban Peradilan Sesat ini, diduga terjadi atas pesan konspirasi dan emosi karena belang rekayasa dan manipulasi sidang dilaporkan ke PT. Manado. Emosi yang terbangun dengan memanfaatkan kekuasaan dan jabatannya, betul-betul menampilkan otoriter sidang yang melanggar tata aturan yang telah diatur menurut undang-undang.

Diduga transformasi emosi roh pembunuh yang terbangun dari konspirasi penculikan dan pembunuhan biadab, keji dan dan kejam atas DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc, telah merasuk suasana hati emosi sidang, hingga terjadi penyimpangan sidang secara tidak wajar keji dan kejam, yang obyektifitas moralnya telah dibutakan, sehingga fakta hukum dan persidangannya telah direkayasa secara biadab.

Dimana fakta peradilan yang saya alami, aneh bin misterius, telah berlangsung secara tidak benar atau dibawah kejalan yang salah atau telah disetting, sebagai telah terjadi perbuatan buruk melanggar aturan, bahkan disiasati dengan memanipulasi fakta hukumnya, yang sangat jelas dan begitu telanjang mata dilakukan berulang-ulang (kasar : Mencincang) disidang pengadilan PN. Manado.

Siasat manipulasi fakta hukum berulang-ulang ini, telah terjadi mulai ditingkat penyidik Polisi, Jaksa Penuntut Umum, yang kuat dugaan telah disetting oleh Mafia Hukum yang berkonspirasi dengan Mafia Sistem disemua tingkatan hingga di Pengadilan. .

Bahwa kasus rekayasa ke-3 ini berproses 3 tahun lebih, ketika saya dalam tahanan dibulan April tahun 2008, setelah melalui skenario penculikan kemudian disekap dan dipenjara.

Selama persidangan, telah berjalan tidak sesuai tertib acara sebagaimana diamanah dalam undang-undang. Surat dakwaan fakta hukumnya dimanipulasi, tidak sesuai BAP Polisi. Pemeriksaan pertama dilakukan terhadap 3 orang saksi memberatkan atau bukan kepada saksi korban.

Pemeriksaan dipersidangan : LP tidak diakui saksi Boy Watuseke. Berarti Posisi BAP menggantung. Berkas perkara penuh dengan tip eks. Keterangan Saksi tidak bersesuaian saksi satu dengan saksi lainnya, pun fakta sidangnya dimanipulasi.

Saksi korban tidak mau hadir dipersidangan walau sidang tertunda hingga tiga kali, tetap dipaksakan melalui sidang pemeriksaan formil SH. Sarundajang (baca BAP), tanpa dihadiri Terdakwa. Dimana sidang baca BAP terus berlanjut hingga kesidang baca BAP saksi Xandramaya Lalu, dan sidang baca BAP Terdakwa, walau dilakukan protes. Kebiadaban Peradilan Sesat ini, bukan hanya membuat pernyataan berat sebelah, pemeriksaan formil baca BAP Korban, Saksi dan Terdakwa, hingga by pass persidangan pembacaan Tuntutan, namun lebih dari pada itu melakukan langkah pembantaian sidang perintah penangkapan secara tidak etis tidak sesuai pasal hasil penyidikan polisi (tidak sesuai BAP) sebagaimana diatur penahanannya menurut undang-undang. Apalagi, tanpa diketahui/ dihadiri Terdakwa. Sejatinya direkayasa secara busuk : Biadab. Artinya, bagaimana bisa seseorang ditahan tidak sesuai hasil penyidikan (BAP) tanpa lidik sesuai standar operasional prosedur (SOP).

Hampir seluruh tertib acara persidangan sesuai undang-undang : KUHAP dilanggar. Walau saya telah melakukan protes hingga membuat aksi walk out. Karena Proses sidang pemeriksaan formil :Baca BAP dipaksa hakim ketua terus bergulir.

Kondisi menyimpang ini, membuat saya bertekat membongkar misteri konspirasi dan kebiadaban rekayasa kejam yang melebar luas hingga menerobos ruang sidang PN. Manado. Ruang pencarian “Misteri Rekayasa” terhadang. Banyak permintaan saya ditolak Hakim.

Hakim tidak bertindak aktif untuk menemukan kebenaran materiil. Bahkan terkesan ada yang dirancang, dilindungi dan disembunyikan. Bagaimana bisa, kedua belah pihak : Korban dan Terdakwa tidak didengar keterangannya dipersidangan. Sehingga azas pemeriksaan secara langsung tidak dilakukan.

Atas dasar itu, saya melaporkan adanya proses hukum pidana REKAYASA kepada ketua Pengadilan Negeri Manado Bapak Edhy Sudharmono. Karena tidak memperoleh respon, saya melaporkan ke Pengadilan Tinggi Manado. Penuh REKAYASA, dimana proses fair trial tidak terjadi. Benar-benar rontok. Tidak ada perlakuan persamaan hukum, mewarnai persidangan di PN. Manado. Rakyat kecil ditindas. SH. Sarundajang yang mengaku KORBAN tak mau datang ke sidang, malah diistimewakan. Ada apa ?.

Sementara kalau orang kecil lagi miskin berbuat salah langsung dihukum sementara orang besar atau penguasa dibebaskan begitu saja, tanpa terjamah hukum ?. Apa Negara dan Pemerintah kita seburuk dan sekeji ini ?

Pihak Pengadilan Tinggi Manado, kemudian merespon laporan saya dengan memeriksa saya dan ketua majelis hakim Armindo Pardede, SH, MAP. Selama pemeriksaan itu proses sidang kemudian tersendat dan tertunda-tunda.

Lagi menghadapi sidang yang penuh intrik dan terus tertunda-tunda, anak saya yang mengalami ancaman dirumah dinas Gubernur SH. Sarundajang hingga menyebabkan sakit : Tekanan Mental, kambuh lagi.

Maka tidak harus tidak saya harus kembali ke Jakarta setelah berkonsultasi dengan Hakim Ketua Majelis Hakim Tinggi di PT. Manado, Andreas Don Rade, SH., MH, yang mengizinkan saya ke Jakarta dan menyarankan membuat surat penundaan sidang.

Anehnya, selagi mendampingi anak sakit, saya dikejutkan dengan informasi bahwa telah dilakukan sidang penetapan penahanan tanpa sepengetahuan dan berkoordinasi dengan saya, kok bisanya dihadiri LBH. Manado. Padahal, LBH juga telah mengizinkan saya.

Alasan putusan penetapan penahanan oleh majelis hakim, dari rekayasa menurut Jaksa Penuntut Umum saya melarikan diri, sebagaimana dijelaskan pada surat tuntutannya.

Atas putusan tidak adil dan bersifat sepihak yang sarat dengan manipulasi tersebut, saya sempat menduga telah dijebak oleh Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Manado.

Dari fakta kejahatan hukum ini, saya memutuskan melakukan perlawanan, baik berupa laporan keberbagai instansi terkait maupun dengan cara lain. Salah satunya, menerbitkan buku : Kebiadaban Peradilan Sesat, sebagai media perjuangan kami untuk mencari keadilan.



Bab 1

Empati TPF BULIKT’S




Adalah dibulan Agustus tepatnya tanggal 29 tahun 2007 tengah malam, sekitar jam 12.00 wita, Sulut terusik lagi dengan hebohnya penculikan yang menimpa ketua DPD Golkar Minahasa Tenggara : Toar Tangkau, SPd.

Padahal penculikan dan pembunuhan kejam, sadis dan sangat biadab yang menimpa DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc, pada tanggal 9 Desember dini hari tahun 2005, dengan tubuh penuh sayatan, lubang tikaman, jeratan kawat dilehernya, jari-jari putus ditebas pedang serta tebasan dibawah telinga, hingga lehernya menganga, masih segar diingatan masyarakat Sulut belum juga tuntas.

Akibatnya menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat luas di Sulawesi Utara, ada apa dan siapa sebenarnya dalang dibalik misteri pembunuhan paling sadis, kejam dan biadab yang begitu rapi ditutup-tutupi dan tak juga bisa disentuh aparat kepolisian ?.

Menyimak kenyataan tersebut, esoknya tanggal 30 Agustus 2007, kami sekelompok wartawan dan LSM kemudian berempati dan membentuk wadah peduli kemanusiaan yang bernama TPF BULIK’S, atau disingkat Tim Pencari Fakta Korban Bunuh Culik dan Kekerasan for Solidaritas.

Suasana tegang dan runyam menggelinding liar menjadi pokok pembahasan dimana-mana. Fenomena kejahatan HAM menjadi klimaks kepedulian sekelompok wartawan yang merasa peduli atas kejahatan kekerasan HAM di Sulut yang terbiarkan bahkan terkesan dilindungi dan ditutup-tutupi, hingga melahirkan respon pembentukan Tim Pencari Fakta.

Kami pun langsung menemui beberapa sumber yang dapat dimintai keterangan seputar asal muasal kejadian. Dimana menurut sumber, diawali dengan contak hand phone dari sekelompok anak muda pengurus KNPI Minahasa yang meminta pertemuan dengan Toar Tangkau di Hotel Quality.

Ketika Toar menyebrang jalan dari kantornya yang kebetulan berseberangan jalan dengan Hotel Quality, ditengah jalan, Toar dicegat oleh beberapa orang dan memaksanya masuk kesebuah mobil dan menghilang dikegelapan malam.

Penculikan terhadap Toar Tangkau SPd, -anak muda yang melejit kekayaannya secara fantastis tersebut-, terjadi didepan Hotel Quality, tepatnya sekitar jam 12.00 Wita, kemudian digiring keluar Kota, hingga ditemukan di Desa Toboli wilayah Sulawesi Tengah, sebagaimana juga dilansir beberapa media lokal Sulut.

Sadar pentingnya melibatkan Pemerintah, kami TPF BULIKT’S melakukan audensi resmi dengan pihak Pemerintah Daerah Prov. Sulut yang diterima Sekprov. Drs. Robby Mamuaya pada tanggal 3 September 2007, dilanjutkan dengan pihak Kepolisian Daerah Sulut, diterima Kapolda Brigjend Pol. Jacky Ully pada tanggal 5 September 2007.

Pembicaraan kami, terfokus pada persoalan kejahatan dan kekerasan HAM yang terjadi dibeberapa daerah Kota maupun Kabupaten, termasuk Ibu Kota Provinsi sebagai barometer keamanan. Namun dominan pembahasan lebih terfokus pada peristiwa yang menimpa Toar Tangkau, SPd dan DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc.

Pada kesempatan itu pula, kami meminta jaminan perlindungan keamanan kepada pihak Polda Sulut. Soalnya, kepedulian kemanusiaan kami pun, telah berdampak negative dari usikan kelompok tertentu, berupa ancaman pembunuhan dan teror.

Pantang mundur walau dihadapkan dengan ancaman dan teror, empati TPF BULIKT’S tak luntur. Kami kemudian menyusun program identifikasi pelanggaran HAM, serta menetapkan metode penyelidikan dan prioritas penyelidikan penculikan dan pembunuhan DR. Ir. Oddie Manus, MSc.

Sehari pembentukan TPF BULIKT’S, Toar ditemukan. Toar kemudian dibawah ke Manado Sulawesi Utara, dan dilakukanlah proses penyelidikan dan berkembang hingga kepenyidikan. Ditemukan bukti adanya dugaan design tertentu. Dibulan September 2007, Toar Tangkau dilepas dari Rumah Tahanan Poltabes Manado.

Adalah aneh, tiba-tiba ditetapkan sebagai DPO, setelah dia dilepas oleh pihak Poltabes Manado. Padahal ketika itu, Toar tidur diruang Kasatreskrim sebagai tahanan istimewa. Misteri bagaimana Toar bisa lepas dan menjadi DPO, cukup mengundang pertanyaan.

Sekitar 4 bulan kemudian atau tepatnya dibulan Desember 2007, Toar ditangkap kembali di Radio Dalam Jakarta. Tak jelas bagaimana ceritanya, tiba-tiba Toar Tangkau beralih sangkaan sebagai telah melakukan kegiatan Bank gelap dan divonis 5 tahun penjara.

Fenomena pelanggaran HAM begitu marak, diera kepemimpinan SH. Sarundajang di Sulawesi Utara. Ketegangan terus berlangsung, berbagai kejahatan dan pelanggaran Hak Azasi Manusia terus menggelinding, hampir tak terbendung dan dicegah.

Suasana medio tahun 2005, mulai memberikan aroma tak sedap. Intrik dan gesekan dengan kelompok sembilan Eksponen angkatan 66 Sulut diawal tahun kepemimpinannya klimaksnya terjadi dengan lahirnya rekomendasi penolakan tertanggal 5 Agustus 2005 (Dokumen Penolakan 5 Agustus 2005).

Belum setengah tahun perjalanan kepemimpinannya, tiba-tiba dikejutkan dengan heboh penculikan dan pembunuhan cendekiawan Sulawesi Utara, DR. Ir. Oddie Manus, MSc, pada tanggal 9 Desember dinihari tahun 2005.

Padahal, FKPPI yang dipimpin Nyonyo Supit (Alm) dan Oddie Manus (Alm) baru memfasilitasi proses perdamaian antara SH. Sarundajang dengan kelompok sembilan Eksponen angkatan 66 pada tanggal 20 September 2005, sehingga lahirlah Dokumen Perdamaian 20 September 2005 yang ditandatangani di Rumah Edwin Kawilarang Winangun kec. Pineleng.

Sementara dibeberapa daerah Kota dan Kabupaten di Sulawesi Utara, kekerasan dan pelanggaran HAM juga meningkat tajam dan memprihatinkan. Kondisi pergaulan kehidupan sosial dan kenyamanan masyarakat Sulut, betul-betul terganggu.

Mungkin masih terus diguyur dengan nuansa pengungsi yang tumpah ruah di Sulut, sehingga fenomena ini tidak begitu dipedulikan karena sebaran gesekan dianggap situasional sebagai konsekwensi eksodus didaerah bibir konflik.

Foto : 1. Toar

2. Audensi dgn Robby M

3. Audensi dgn Jacky Ully

4. Scane kronologis dlm gbr.




4. Scane kronologis dlm gbr.





























Bab 2

Investigasi Pembunuhan Biadab



Setelah disepakati 5 program, tim memprioritaskan penyelidikan kasus penculikan dan pembunuhan DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc. Dalam perjalanan penyelidikan tim, heboh teror yang menimpa Kepala Wilayah PLN Sulutenggo, Ir. Sigit Prakoso oleh oknum-oknum profesional, yang mengancam dan melakukan teror.

Sigit Prakoso kemudian menuturkan dan meminta bantuan kami, atas tidak dikehendaki kehadirannya di Sulut. Polemik kebijakannya memancing perseteruan dengan Gubernur SH. Sarundajang, sampai-sampai Gubernur menyurati Direktur PLN di Jakarta. Pemicunya, ditengarai melibatkan seorang pengusaha rekanan PLN Yance Tanesia asal daerah konflik yang berhubungan dengan soal korupsi puluhan millyar ditubuh PLN, melibatkan PT. Bunaken dan CV. Bunaken Lestari Ardibrata yang diduga melakukan pengadaan mesin pembangkit listrik bekas di Kota Bitung. Kasus korupsi inipun hilang tanpa berita.

Dari fakta kejadian tersebut, berkembang proses penyempurnaan nama TPF BULIK’S menjadi TPF BULIKT’S, sehingga menjadi Tim Pencari Fakta Korban Bunuh Culik Kekerasan dan Teror for Solidaritas.

Kami melakukan rapat secara bertingkat, dengan membentuk tim khusus yang beranggotakan 5 orang, serta tim sayap yang bertugas mengumpulkan data dan informasi sesuai proyeksi issue berdasarkan skala prioritas.

Rapat khusus dilakukan dikantor Yayasan Sinar dan Kantor Perwakilan Tabloid Jejak diperumahan Hutama Karya, Tateli Kecamatan Pineleng Kabupaten Minahasa. Sementara rapat tim sayap dilakukan secara berpindah dibeberapa tempat antara lain di Mega Mas Mall dan Mega Mas Restoran pantai serta dirumah kopi pantai Malalayang.

Setiap seminggu tim khusus melakukan rapat tertutup membahas hasil investigasi atas data dan informasi yang berhasil dikumpulkan dari berbagai sumber.

Demikian juga beberapa temuan dan kliping hasil endusan tabloid Merah Putih, ditambah kliping lain dan foto-foto rekonstruksi terkait pembunuhan DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc yang diberikan oleh keluarga dan berbagai sumber, yang mengidentifikasi 5 isue yang termuat dibeberapa harian, dibahas ulang untuk mempertajam hasil temuan lama.

Sementara beberapa dokumen yang diberikan kelompok sembilan ( 9 ) eksponen “66” yang memberikan petunjuk adanya modus operandi dan keterlibatan oknum tertentu yang sangat kuat terkait dengan penculikan dan pembunuhan DR. Ir. Oddie Manus, MSc, pun ikut didalami dan dibahas secara khusus, mengingat sangat sensitive.

Dari data dan informasi yang dikumpulkan, terindentifikasi dugaan : 1. Pemberitaan yang tidak utuh dan cenderung direkayasa, 2. Modus warna mafia daerah konflik, 3. Kisah masa lalu, 4. Melibatkan kelompok profesional, 5. Melibatkan pembunuh bayaran, 6. Melibatkan kekuatan luar biasa, 7. Melibatkan mafia jurnalis, 8. Melibatkan elit kepercayaan/ staff ahli, 9. Skenario untuk menjerat Freddy Sualang dan 10. Skenario rekayasa mandi kebal mengkambinghitamkan orang lain.

Dalam perkembangan perjalanan pengumpulan data dan informasi, berbagai tantangan dan hambatan dari berbagai kepentingan datang silih berganti. Mulai dari luar tim yang patut diduga berhubungan dengan keterlibatan kelompok tertentu yang mulai gerah, hingga dari dalam tim-pun ikut menghadang penyelidikan tim TPF BULIKT’S.

Dari kepentingan luar tertentu, selalu melakukan tekanan dan ancaman pembunuhan. Hal tersebut yang paling intens terjadi adanya beberapa orang yang selalu mondar mandir melakukan ancaman lisan secara tidak langsung akan melakukan pembunuhan terhadap ketua dan anggota TPF BULIKT’S.

Belum termasuk teror via hand phone maupun upaya serempetan dan tabrakan oleh beberapa orang tertentu baik dengan kendaraan roda empat (4) maupun roda dua (2). Bahkan beberapa oknum berbadan tegap berambut gondrong disinyalir orang yang cukup profesional, tak jarang melakukan pengawasan dan pengintaian gerak gerik kami.

Namun yang paling sering, menerima ancaman dan pengawasan serta pengintaian gerak gerik kami adalah ketua TPF BULIKT’S Ir. Henry John Ch. Peuru dan sekertarisnya Sutojo Kamidin dibilangan Winangun.

Sementara dari dalam tim bukan saja menghambat dan berupaya menggagalkan setiap rencana investigasi, namun ikut melemparkan isu adanya penerimaan dana bantuan dari Pemprov. Sulut dan atau suap oleh orang tertentu, yang konon telah diambil dan dipakai secara diam-diam untuk kepentingan pribadi-pribadi tertentu.

Akibatnya, mulai terjadi saling tuding dan curiga. Bahkan saling melapor kepada ketua dan sekertaris untuk mewaspadai anggota tertentu, agar segera membubarkan diri atau memecat anggota tertentu, dengan tujuan menciptakan perpecahan.

Ketika gesekan mulai memuncak dan terus memanas, ada beberapa anggota yang mulai menjauh sambil terus melakukan rongrongan agar terjadi perpecahan dengan terus menghembuskan isu-isu negatif kepada beberapa anggota lain, bahwa tim ini tidak jelas visi dan misinya. Namun begitu, walau tinggal segelintir anggota TPF BULIKT’S tak putus asa, tetap konsisten dan solid.


Foto 2 : Rekonstruksi Oddie



Foto 2 : Rekonstruksi Oddie














































Bab III

Densus 88 Bereaksi






Baru sebulan tim kami bergerak serius dan focus melakukan penyelidikan dan pengumpulan data, yang aksinya terus berlanjut ke Jakarta, tiba-tiba ketua TPF BULIKT’S Ir. Henry John Ch. Peuru diburu oleh yang mengaku “Densus 88”, asal Sulawesi Tengah.

Adalah aneh, kepedulian kemanusiaan TPF BULIKT’S yang membantu Pemerintah untuk melakukan penyelidikan atas kasus kejahatan HAM paling sadis dan biadab yang terjadi di Sulut, malah yang bereaksi luar biasa adalah “katanya” Densus 88 Sulawesi Tengah.

Sebelumnya, mereka sempat mendatangi PWI Sulut dan berjumpa dengan Rosna Ladjaman koresponden tabloid Patroli mantan koresponden Tabloid Jejak, dan bertanya tentang dimana keberadaan serta aktifitas Henry Peuru yang paling rutin.

Mereka juga menemui sekertaris TPF BULIKT’S Sutojo Kamidin dibilangan Winangun, serta mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan segala aktifitas Henry Peuru dan perkenalannya hingga membentuk TPF BULIKT’S.

Disamping berbagai latar belakang dan berbagai aktifitas sebagai jurnalis, Tim Densus “88” Sulteng lebih fokus menanyakan sejauhmana Henry Peuru mengetahui penculikan dan pembunuhan DR. Ir. Oddie Manus, MSc dan penculikan Toar Tangkau, SPd, ketua DPD Golkar Minahasa Tenggara.

Reaksi dari yang mengaku “Densus 88” tersebut yang begitu serius dan detil, saya ketahui setelah diinformasikan via hand phone oleh Sutojo Kamidin dan Rosna Radjaman.

Hal tersebut, kemudian menjadi pokok pembahasan Tim Khusus yang saya tinggalkan di Manado, serta menyimpulkan, agar segera diinformasikan kepada Ketua dan perlunya melakukan langkah menghindar agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.

Akhirnya, baik Sutojo maupun Rosna Ladjaman melakukan hubungan secara terpisah via Hand Phone, menyarankan agar ketua jangan dulu datang ke Sulut, sampai suasana cukup aman. Demikian juga beberapa kawan lainnya menginformasikan dan menyarankan hal yang sama atas status perburuan sebagai Target Operasi (TO).

Mendengar adanya reaksi lintas Polda yang melibatkan “konon”, oknum anggota Densus “88” asal Sulawesi Tengah, saya pun melakukan kontak investigasi konfirmasi dengan sumber di Sulawesi Tengah untuk mengetahui kebenaran adanya Densus serta nama-nama oknum tersebut.

Demikian juga, berdasarkan hasil konsultasi dengan beberapa sumber di Jakarta, mereka menyatakan, ada kemungkinan oknum-oknum tersebut dimanfaatkan oleh orang tertentu untuk kepentingan tertentu yang memanfaatkan okum Mabes. Sebab melihat dan menyelami kasus yang saya hadapi, menurut mereka sangat jauh hubungannya dengan kerja specifik Densus “88”.

Akan hal ketegangan yang telah menyelimuti dan terjadi diantara anggota Tim TPF BULIKT’S dengan datangnya reaksi Densus “88”, saya tegaskan tidak perlu khawatir, karena yakin atas kerja kepedulian kemanusiaan kita, bukan kerja kejahatan, namun pekerjaan Mulia.

Bahkan saya ingatkan, selama kita bekerja jujur untuk keadilan dan kebenaran peduli kemanusiaan, tidak ada yang perlu ditakutkan. “Yakinlah, bahwa Tuhan akan memelihara kita dan menjaga kita dari musrik orang-orang jahat,” tegas saya kepada teman-teman anggota TPF BULIKT’S yang masih setia dan konsent.


Foto : Densus 88











Bagian Dua ;

Penculikan Ala Teroris I



Pada diakhir bulan Februari 2008 saya mengunjungi Kota Manado, untuk suatu tujuan membenahi TPF BULIKT’S dan Perw. Tabloid JEJaK serta rencana penelitian lingkungan, menindaklanjuti hasil pembicaraan dengan pihak PT. Pikitring Sulutenggo Makassar di Hotel Senayan Jakarta.

Hasil pembicaraan berupa kerjasama penelitian tersebut, perlu saya koordinasikan dengan LSM Merah Putih dan Yayasan SINAR. usai presentasi di PT. Pikitring Makassar.

Namun focus utama, adalah melakukan pembenahan internal bagi TPF BULIKT’S, karena telah disodok isu tak sedap yang mengarah ke-upaya perpecahan oleh segelintir anggota yang telah terkooptasi.

Sehingga diperlukan penataan dan penguatan motivasi moral, termasuk hal-hal lain yang berkaitan dengan solidaritas kerja tim yang harus tetap solid dan konsisten dijaga tanpa harus terpengaruh atau mempengaruhi pihak manapun.

Baru 5 hari berada di Manado atau tepatnya tanggal 3 Maret 2008, tiba-tiba penulis diculik dipelataran parkiran Manado Town Score Mall oleh 6 orang berpakaian preman, yang saya tahu kemudian adalah oknum-oknum Polisi Kota Besar Manado, lewat suatu scenario jebakan ala Mafia.

Tepatnya sekitar jam 20.00 malam, scenario yang didesign oleh Herry Plangiten didampingi kontraktor Welly Siwy, saya dan Sutojo diajak bertemu untuk membicarakan sesuatu yang katanya sangat membutuhkan kehadiran saya di Cave Olala Mantos Mall..

Atas permintaan yang nampak tulus, apalagi sebelumnya Herry Plangiten pernah meminta bantuan dan pertolongan dari saya, tentunya demi kesetiakawanan, saya bersedia memenuhi permintaan pertemuan tersebut.

Kamipun melakukan pertemuan di Cave Olala. Dan dalam pembicaraan tersebut, nama Sarundajang disebut-sebut beberapa kali oleh Herry Plangiten.

Suasana tak sedap mulai terasa. Herry tiba-tiba mohon diri, setelah munculnya orang-orang yang mencurigakan. Sutojo lantas minta agar segera keluar karena dia merasa ada yang tak mengenakkan. Ketika kami keluar, saat diparkiran Mantos sekelompok orang yang tidak saya kenal, mencegat dan menyeret serta memaksa saya dan Sutojo masuk kesebuah mobil Ferosa. Tarik-menarik terjadi hingga tas yang saya bawa/ pegang putus.

Tak dinyana dan tak disangka, skenario Herry Plangiten, air susu dibalas dengan air tuba, Herry Plangiten yang selalu mengaku hamba Tuhan kepada saya, ternyata berkhianat dan menjadi arsitek jebakan penculikan.

Mereka kemudian membawa kami berputar-putar. Kami pun kuatir dan was-was, karena merasa akan di Oddie-kan, hingga berakhir ke Poltabes Manado. Ternyata baru saya ketahui kemudian, pemimpin 6 oknum penculik tersebut, Kasatreskrim Poltabes Manado AKBP HR. Wibowo.

Saya kemudian bertanya dalam hati, apakah seperti ini cara kerja Polisi ?. Apakah tidak ada cara etis sesuai aturan dan kode etik Polisi ?. Sehingga gaya Mafia dipertontonkan Polisi Poltabes Manado ?. Apakah fungsi Polisi telah kembali menurut undang-undang Kepolisian No. 13 tahun 1961 dimana dinyatakan bahwa kepolisian negara RI adalah alat negara penegak hukum dan sebagai alat revolusi untuk mencapai tujuan revolusi.

Sehingga menggunakan cara-cara yang tidak provesional dan proporsional ?, culik para Revolusioner. Padahal, kebangkitan demokrasi saat ini, arah kebijakan Pemerintah, mewujudkan penyelenggaran fungsi Kepolisian yang demokratis, mandiri dan profesional, sesuai dengan paradigma Reformasi (Kompolnas,2,3-2009). Bukan menjadi alat kepentingan orang tertentu yang dibayar atau disuap, hingga mengabaikan kehormatan dan kewibawaan Kepolisian menjadi centeng atau body guard !.

Namun saya yakin ini bukan kerja Polisi sebagaimana Polisi Indonesia, tapi lebih kepada kerja konspirasi Mafia Hukum yang memanfaatkan dan menjadikan oknum Lembaga Negara sebagai centengnya yang termakan suap atau telah dibayar orang tertentu.

Dari enam (6) oknum yang terlibat penculikan dan penyekapan saya di Mantos Mall, saya tahu kemudian 4 orang : oknum Poltabes Manado HR Wibowo (Kasatreskrim), Rewur, Ferly Soemampouw (Ka. SPK Poltabes), dan Marwan Gembong (Buser Poltabes), sementara 2 orang lainnya tidak saya kenal, entah mungkin orang bayaran.

Rencananya, sebagaimana keterangan mereka (penculik), saya akan dibawa keluar daerah. Entah tujuan apa, namun rencana tersebut dibatalkan (info teman aktivis saya akan di Oddie-kan, alias akan dibunuh).

Setelah diculik, malam itu sekitar jam 10 Malam, saya diinterogasi oleh 4 orang oknum berpakaian preman, 1 dari Polda Sulut, 2 mengaku dari Sulawesi Tengah, dan ada yang mengaku bernama Tulus dan 1 lainnya berambut gondrong tidak saya kenal.

Interogasi itu lebih kepada tudingan atas adanya keterlibatan seorang oknum pejabat yang terlibat memasok senjata ke Sulawesi Tengah. Atas pertanyaan tersebut, saya jelaskan saya tidak ketahui, bahkan ketika itu (konflik Poso-Ambon), soal pemasokan senjata, cukup banyak diketahui wartawan daerah maupun wartawan Nasional lainnya. “Apalagi ketika itu saya sibuk mengikuti pendidikan ke Austarlia dari program IALF program kerjasama pendidikan Indonesia-Australia,” jelas saya pada mereka.

Usai interogasi, diinformasikan kepada saya oleh para penculik tersebut, saya akan segera dijemput oleh tim yang berasal dari Sulawesi Tengah. Namun hingga keesokan harinya, rencana jemputan tak jua kunjung datang.

Keesokan harinya tanggal 4 Maret 2008, menjelang malam, anehnya saya dipanggil untuk pemeriksaan (BAP) atas tuduhan kasus lain (rekayasa kedua II) yang terbaca atas laporan Ir. Recky Toemandoek, MM, Kadis Kimprasil Prov. Sulut tertanggal 3 Maret 2008. Dengan sangkaan telah melakukan pemerasan dan pengancaman.

Setelah itu, saya tetap ditahan dan dimasukan kedalam rumah tahanan Poltabes Manado. Dimana kekejian dan kekejaman yang dilakukan kepada saya oleh oknum-oknum Poltabes Kota Manado yang patut diduga atas pesanan bayaran oknum tertentu, ketika itu Kapolres kota Manado dijabat oleh Kombes Bambang Sugeng. Hingga empat ( 4 ) hari dalam penyekapan dipenjara Poltabes Manado, tak ada satupun keluarga yang mengetahui dan diberitahu oleh pihak kepolisian Poltabes Kota Manado.

Saya benar-benar diperlakukan ala teroris atau mafia besar yang sangat membahayakan Negara atau orang tertentu, atau yang berhubungan dengan tindakan tertentu. Sehingga standar operasional prosedur (SOP) diabaikan, atau tidak lagi dipergunakan sistem manajemen Poltabes Manado.

Bahkan lebih ironis lagi, bukan hanya 4 hari tak diketahui keluarga, namun sampai 19 hari saya ditahan, tidak diberi surat perintah penahanan. Nanti setelah adanya bujuk rayu tawaran damai yang terus saya tolak atau memasuki perpanjangan penahanan, baru kemudian dikeluarkan surat perintah penahanan sekaligus diberi surat perpanjangan penahanan.

Betapa tak jelas kerja Polisi yang demikian ini. Padahal, Pemolisian dengan berpedoman pada prinsip-prinsip supremasi hukum dan pelayanan demokratis menuntut semua tindakan pemolisian harus berdasarkan pada hukum/ peraturan perundang-undangan yang berlaku (Kompolnas, 5-2009). Tapi kenyataannya. Sadis.

Dari proses penculikan penyekapan dan pemenjaraan yang kian mengundang misteri ini, apalagi dihubungkan dengan aktifitas saya menguak kasus penculikan dan pembunuhan DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc, bukannya membuat saya takut, justru semakin mengundang rasa penasaran untuk terus mengikuti skenario dan mencari jawaban, siapa dalang dan untuk tujuan dan kepentingan apa design rekayasa ini dibangun dari dalam Institusi Kepolisian Negara : Polda Sulut dan Poltabes Kota Manado.

Foto : Di rutan Poltabes Manado

Parkiran Mantos




F oto :

Rutan Poltabes











Bab 1

Rekayasa I Misteri Diteroriskan







Misteri dibalik penculikan oleh beberapa oknum Polisi Poltabes Manado, jelas telah mencibir aturan dan etika standart operasional prosedur (SOP) sebagaimana diamanahkan dan ditentukan undang-undang.

Bagaimana tata aturan Negara Repoblik Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana Undang-Undang Repoblik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, benar-benar dilanggar dan dikangkangi.

Apalagi, begitu jelas terurai dalam pembukaan KUHAP, bahwa Negera Repoblik Indonesia yang didasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, ditegaskan sangat menjunjung hak azasi manusia (HAM), serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum, dan wajib menjunjung hukum dengan tidak tanpa kecualinya. Namun fakta tak terbantahkan, hak azasi saya dirampas sewenang-wenang oleh oknum-oknum “Mafia” Poltabes Kota Manado.

Sehingga apalah artinya amanah undang-undang itu, bila Mafia Hukum sudah bertindak. Tak peduli Pemerintah dan kewibawaan serta segala aturan yang ada, yang penting maksud dan tujuan kejahatannya tercapai. Maka, terciptalah serentetan rekayasa dan manipulasi fakta hukum, sehingga institusi Poltabes Manado terjerembab keruang nista kemanusiaan.

Dibawah cengkraman rekayasa tindak pidana para Mafia Hukum ini, suasana tegang malam penculikan pada tanggal 3 Maret 2008, menyeliputi kami, saya dan Sutojo. Kami langsung berfikir dan menduga, penculikan ini terkait dengan kegiatan kami mengendus kasus penculikan dan pembunuhan DR. Ir. Oddie Manus, MSc.

Kesimpulan kami demikian, karena tidak ada alasan lain atau terkait dengan tindakan kriminal lain dan atau kerja kami yang kontroversial selain mengendus pembunuhan paling keji, kejam dan biadab, hingga mengusik seseorang atau kepentingan tertentu. Mengapa dan ada apa, hingga kami diperlakukan secara tidak patut dan tak beretika dengan melanggar hak azasi manusia. Apalagi diaktori oknum-oknum Polisi.

Dari dua kejadian penculikan sebelumnya, bila dihubungkan dan dibandingkan dengan yang kami alami berdasarkan hasil analisis kami malam itu, memiliki modus operandi dan cara kerja yang sama dengan kelompok profesional yang tidak jauh berbeda dari data yang kami peroleh terhadap kasus penculikan dan Oddie Manus dan Toar Tangkau.

Sehingga dalam bayangan kami malam itu, kalau kami selamat minimal akan bernasib seperti Toar yang dialihkan menjadi tindakan kriminal, dan paling buruk, akan di Odie Manuskan (setelah diculik dibunuh).

Setelah penculikan malam tanggal 3 Maret 2008 itu, anehnya, hanya saya yang diinterogasi sebagai saksi soal penyelundupan senjata ke Poso. Mereka yang melakukan interogasi, 2 saya tidak kenal, 1 dari Polda Sulut dan 1 orang bernama Tulus mengaku berasal dari Sulawesi Tengah. Dimana ketika itu Kapolda Sulut dijabat oleh Brigjend Pol. Bekto mantan Komandan Densus 88 POLRI.

Mereka menanyakan apakah saya pernah ke Poso dan Tomata dimasa konflik, apakah mengetahui pemasokan senjata ke Poso yang dilakukan seorang pejabat Sulut. Dan atas pertanyan tersebut, saya jawab saya tidak pernah ke Poso dan Tomata sekalipun, termasuk mengetahui pemasokan senjata ke Poso.

Usai proses sidang Praperadilan, dua ( 2 ) minggu kemudian, anehnya, saya membaca pada putusan bahwa saya sebagai provokator di Poso. Padahal saya tidak pernah sama sekali ke Poso dimasa konflik. Ini jelas penyesatan dan penyiasatan aktor intelektual tertentu, untuk suatu maksud membungkam saya. Apalagi faktanya, diera konflik saya sedang mengikuti pendidikan ke Australia, mengikuti program IALF kerjasama pendidikan Indonesia-Australia yang mengutus 19 orang dari Indonesia ke Adelaide South Australi.

Ada maksud apa dibalik settingan ini dengan mengaitkan daerah konflik ?. Apakah untuk maksud membungkam saya ?. Mengapa harus menciptakan settingan opini busuk “TERORIS” hingga keruang sidang PN. Manado ?. Apakah bila saya dibunuh menjadi terwajarkan ?. Ataukah karena settingan lahir dari produk pasukan khusus Densus 88 yang diduga dimanfaatkan orang tertentu ?. Ataukah karena dalangnya orang mantan daerah konflik yang sudah terjangkiti penyakit penghilangan orang dengan menTERORISkan orang ?.

Strategi rekayasa rekayator, diawali dengan interogasi adanya peran seorang pejabat penting dilingkungan Pemprov. Sulut yang “konon” melakukan penyelundupan senjata ke Poso. Lantas apa hubungannya dengan saya dalam proses penyelidikan melalui cara culik, sekap dengan mengabaikan prosedur hukum yang sudah diatur tata caranya ?.

Apakah demikian prosedur sesuai aturan dan etika kepolisian dalam melakukan penyelidikan atas suatu kasus yang diduga dilakukan seseorang. Apalagi status saya dijadikan saksi, kok harus diculik disekap selama empat ( 4 ) hari tanpa pemberitahuan kepada keluarga. Belum lagi secara semena-mena dipenjarakan tanpa surat perintah penahanan selama 19 hari ?. Mengapa siasat busuk dan kejam ini dilakukan Polisi ?. Lantas siapa yang harus dituding melakukan kesalahan ? apakah oknum. Sementara sudah melibatkan sistem dan fasilitas sistem ?.

Terkait dengan interogasi pejabat Pemprov. Sulut dimaksud, beberapa bulan kemudian misterinya terungkap dengan kedatangan salah seorang stafnya yang mengunjungi saya di penjara kelas II A Manado, bahwa Rekayasa pertama ( I ) tersebut, dirancang melalui ajudan Gubernur, agar melaporkan saya sebagai telah melakukan fitnah kepada pejabat tersebut. Namun pejabat tersebut menolak permintaan ajudan Gubernur tersebut.

Atas rencana laporan palsu untuk rancangan rekayasa tindak pidana (I) ini, setelah keluar dari penjara dengan vonis bebas murni (vrijsprak), bersama tim melakukan konfirmasi kepejabat tersebut. Hasilnya, dia mengakui rancangan busuk tersebut lahir dari “konon” Gubernur.

Dia diminta oleh ajudan Gubernur untuk melaporkan saya sebagai telah melakukan fitnah. Pak Freddy kemudian menceritakan bagaimana pernyataan mereka. Pak, “kami sudah menangkap Henry,” tandas ajudan Gubernur kepada Freddy Sualang, segera laporkan fitnah,” tandasnya. “Namun permintaan tersebut, saya tolak,” ujar mantan Wakil Gubernur Sulut Freddy Sualang kepada tim saya ketika menjambangi dirumah kediamannya dibilangan Malalayang, tepatnya belakang RSUD. Malalayang, sebelum beliau ditahan dipenjara Tuminting.

Dalam pertemuan tersebut, dia juga menceritakan bahwa dia yang meminta untuk menelusuri kasus penculikan dan pembunuhan DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc, karena mendengar dari kemenakannya anak Oddie, bahwa ayahnya diculik dan belum ditemukan.

Dari fakta cerita ini, saya menangkap adanya siasat pembenturan atau pengaburan atas misteri penculikan dan pembunuhan DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc dengan menggunakan tangan Wagub Freddy Sualang. Apalagi, dari hasil temuan kami, bahwa Wagub Freddy Sualang sempat dicurigai keluarga Manus, sebagai pembunuh. Keluarga Manus, selalu menuduh Freddy Sualang pembunuh Oddie Manus. Dari skenario yang mereka terima, liat dan rasakan. Namun ketika mereka melihat dan mendengar serentetetan rekayasa yang saya alami, mereka kemudian mulai tahu dan menduga siapa sebenarnya dibelakang kasus pembunuhan Oddie Manus. Mereka kemudian menjadi ketakutan dan ngeri. Apalagi adik Oddie Manus : Agus Manus, yang ngotot meminta kasus Oddie segera dituntaskan, lagi-lagi meninggal secara misterius. Konon…….?

Skenario yang diarahkan kepada saya dengan mengaitkan daerah konflik, diduga lahir dari orang yang paham dengan strategi penghilangan ala daerah konflik. Sehingga tercipta pengaburan atau penghilangan jejak dengan menghipnotis publik kearah kegiatan TERORIS. Apalagi menurut sumber sesama aktivis, diduga ada rencana saya akan dibunuh malam penculikan itu. Sehingga bila skenario itu berjalan, karena diembeli Teroris, maka tidak akan diusik orang. Hebat juga skenario orang mantan daerah konflik ini.

Foto : Kapolda Sulut & Kapoltabes Manado



Foto : Kapolda Sulut & Kapoltabes Manado


Bab 2

4 (empat) Hari Dalam Sekapan



Setelah diculik oleh oknum Poltabes Manado, saya kemudian disekap di Rumah tahanan selama empat (4) hari lamanya, sehingga putus kontak dengan keluarga. Akibatnya, telah menimbulkan kegalauan dan keresahan luar biasa bagi istri dan anak di Jakarta serta mertua dan 2 orang anak saya di Manado dan di Desa Boyong Atas, Kec. Tenga Kab. Minahasa Selatan.

Soalnya, baru 2 hari di desa Boyong Atas bersenda gurau dengan anak bungsu saya yang tinggal bersama Oma dan Opanya, dari Jakarta, hand phone suami ayah mereka tidak dapat lagi dihubungi oleh Istri, anak-anak dan mertua saya.

Berkali-kali keluarga mertua, istri dan anak tertua saya Risa Christie, mencoba menghubungi nomor hand phone saya yang sudah empat (4) hari hilang, namun tak juga bisa dihubungi. Merekapun mencoba siapa saja keluarga teman yang berada di Manado menanyakan bila mendengar atau mengetahui dimana keberadaan saya, namun tak ada yang bisa memberikan informasi jelas.

Mertua saya-pun dihubungi oleh istri dan anak-anak saya tentang dimana terakhir kontak dengan saya. Namun penjelasan ibu kepada istri saya, menyatakan bahwa sejak turun dari kampung ke Manado, sehari setelah itu hand phone saya tidak dapat dihubungi lagi.

Mertua, istri dan anak tertua saya-pun coba mengontak saudara serta teman-teman sesama wartawan yang dapat dihubungi. Namun rata-rata teman pun menjadi kaget, karena tidak mengetahui dimana keberadaan saya. Apalagi mereka tahu saya berada di Jakarta.

Mereka benar-benar galau dan resah terus menangis dan menangis, apalagi tahu selama ini penculikan dan pembunuhan di Manado, telah menjadi trend kejahatan baru yang cukup meresahkan masyarakat Sulut. Istri saya coba mengingat-ingat siapa yang sering disebut dalam percakapan dengan saya. Dia kemudian mengingat nama Sutojo yang sering disebut-sebut akhir-akhir ini tentang adanya kegiatan kepeduliaan kemanusiaan.

Sehingga istri saya meminta mertua saya untuk mencari tahu dimana alamat teman saya Sutojo Kamidin. “Coba datangi kantor PWI dan tanyakan kepada temannya disana apa mengetahui alamat Sutojo”, tandas istri saya kepada ibu. Dia kemudian menjelaskan bahwa kontak terakhir saya ada bersama temannya yang bernama Sutojo ketika tiba di Manado dari Jakarta.

Istri saya-pun, memperoleh informasi saat saya diculik, tengah malam sekitar jam 12.00 wita malam, anak kami tertua Risa Christie diminta seseorang agar segera datang di PWI Sulut. Katanya ayah kamu akan berbahaya. “Cepat datang”, tandasnya. Dugaan telepon tengah malam itu, berasal dari John Lalonsang. Soalnya penelepon mengaku kepada anak saya dari anak buah papanya, kepala perwakilan Tabloid JEJaK.

Anak saya-pun meminta saran dari teman-temannya, atas permintaan pertemuan yang mengatasnamakan papanya. Namun saran temannya, jangan ikuti permintaan tersebut. Bisa saja jebakan. Anak saya-pun tidak tahu maksudnya panggilan tersebut untuk apa.

Dengan menghilangnya saya dari keluarga, semua menjadi resah luar biasa. Sejak itu ibu mertua saya turun ke Manado mencari tahu keberadaan saya baik menghubungi teman-teman saya maupun keluarga.

Mertua saya mengunjungi kantor PWI Sulut, untuk mengetahui apakah ada yang mengetahui keberadaan saya. Namun dari kantor PWI-pun tidak dapat informasi jelas tentang dimana keberadaan saya.

Dari Sutojo yang sempat saya beri nomor hand phone istri saya malam ketika kami diculik, tak memberi informasi kepada istri saya. Entah dia telah diancam, ditekan atau entah apa, tak jelas mengapa dia tidak mengontak istri saya.

Diapun tak pernah lagi mengunjungi saya sejak saya diculik bersamanya malam itu. Sebab tanpa setahu saya, tiba-tiba dia telah dilepaskan. Tinggalah saya seorang diri dalam sekapan “Mafia” Poltabes Kota Manado.

Istri saya dan anak-anak, sambil terus mencari informasi, hampir tiap malam hanya menangis dan menangis, gundah dan resah menghiasi hari-hari mereka. Berdoa dan berdoa bersama anak-anak menjadi bagian untuk menguatkan kegelisahan hati mereka, dengan harapan agar saya dapat segera ditemukan dan diselamatkan. Namun karena waktu yang terus berjalan tanpa kabar, mereka hanya bisa pasrah dan tetap berdoa agar saya bisa ditemukan hidup atau mati.

Hingga berhari-hari belum juga ditemukan, belum ada dalam benaknya untuk melaporkan kepada Polisi tentang kehilangan saya ketika itu, karena masih berharap saya dapat ditemukan.

Seluruh keluarga yang berada di Manado telah dihubungi, namun tak ada informasi yang jelas. Nanti setelah empat (4) hari kemudian, karena mungkin penelusuran keluarga kian resah, baru memperoleh informasi dari keluarga di Malalayang Manado, bahwa mereka telah menerima pemberitahuan adanya keberadaan saya dalam sekapan Poltabes Manado.

Selama empat hari dalam penyekapan Poltabes Manado, setelah diinterogasi untuk suatu maksud rekayasa diduga diteroriskan gagal, keesokan harinya dibelokkan menjadi sangkaan kriminal dan di BAP atas sangkaan pemerasan dan pengancaman, tanpa melalui prosedur standar penyelidikan sesuai KUHAP, setelah diculik, diadakan penyidikan pada tanggal 4 Maret 2008 atas laporan tertanggal 3 Maret 2008.

F oto : pertemuan dengan anak dan mertua di Rutan.







Setelah pembelokkan kasus tersebut, baru mertua saya memperoleh kabar saya berada dalam tahanan Poltabes Manado.

Mereka-pun mengunjungi saya, dan saya memberi hasil BAP untuk di foto Copy. Namun ditempat foro copy BAP tersebut dirampas oleh 3 orang oknum Polisi berpakaian preman, dengan kasarnya mengatakan kepada mertua saya, bahwa surat tersebut sebagai surat negara yang tidak boleh di foto copy.

Sejak itu, keluarga saya terus ditekan. Teman-teman yang kemudian mengetahui saya berada dalam tahanan Poltabes Manado, yang akan berkunjung dipersulit dan dihalang-halangi untuk bertemu. Bahkan sampai ada yang dipanggil ke Polda Sulut dan diinterogasi terkait hubungan pertemanan dengan saya.





















Bab 3

Rekayasa II Ancaman & Pemerasan







Gagal design Rekayasa pertama (I) dengan embel TERORIS, karena ditolak Wagub Freddy Sualang atas permintaan ajudan Gubernur, tepatnya tanggal 4 Maret 2008 menjelang malam, sehari setelah saya diculik dan disekap atau menjelang berakhirnya penahanan selama 24 jam, dalam kondisi bingung dan resah karena belum dikunjungi keluarga, tiba-tiba skenario dibelokkan menggunakan tangan pejabat ditingkat SKPD Kadis Kimpraswil Prov. Sulut Ir. Recky Toemandoek, MM.

Proses penyidikan dilakukan oleh penyidik pembantu Hadi Purnomo berdasarkan laporan Polisi dengan rekayasa sangkaan pengancaman dan pemerasan atas Ir. Recky Toemandoek, MM, kadis Kimpraswil Prov. Sulut sebagai designer Rekayasa (II) yang patut diduga antek penyandang dana para Mafia.

Namun bagaimana dari rekayasa pertama (I) kemudian beralih ke rekayasa kedua (II) secara tiba-tiba dan mengejutkan itu, menurut sumber mantan anggota Dewan Prov. Sulut yang mengikuti dan mengetahui perkembangan penculikan dan penyekapan saya, dia memperoleh info lahirnya kasus Rekayasa II, berdasarkan lobi barter kasus korupsi jembatan Baley Kabupaten Talaud yang sedang dalam proses pemeriksaan kepada Ir. Recky Toemandoek, MM.

Menurut ceritanya, kalau pak Recky mau mengikuti skenario rekayasa terhadap Henry, kasus korupsi dihentikan. Dan kalau menolak, maka kasus korupsi diteruskan. Cerita ini mungkin benar, bila indikasi ini dianalisis dari fakta kasus korupsi jembatan Balley, yang sampai saat ini tak jelas juntrungnya, dan mandek di Polda Sulut.

Hasil lobi barter, menjelang malam saya diperiksa sebagai tersangka pengancaman dan pemerasan yang dikenakan dengan pasal 368, 369 dan 335 KUHP atas laporan Ir. Recky Toemandoek, MM yang demi jabatannya mengikuti skenario para Mafia.

Saat penyidikan untuk BAP, saya baru mengetahui Laporan Polisinya tertanggal 3 Maret 2008. Sehingga muncul misteri baru, kok tanpa melalui mekanisme penyelidikan dan penelitian sesuai ketentuan yang telah diatur dalam KUHAP, dengan sejumlah kelengkapan alat bukti yang sah sebagai permulaan bukti yang cukup, bisa diculik, disekap dan dipenjarakan ?. Indikator menyimpang yang tidak sesuai SOP inilah yang kian memastikan adanya “Mafia” dibalik rangkaian skenario rekayasa ini. Kuat dugaan melibatkan jaringan Mafia Eksekutor asal daerah Konflik.

Atas proses BAP yang penuh keganjilan dan sangat misterius tersebut, karena rasa ingin tahu dan ingin melakukan penyelidikan, saya mengikuti skenario para Mafia Hukum yang menyusup dan memanfaatkan Institusi Negara, untuk meneliti misteri dibalik penculikan saya dan hubungannya dengan penculikan dan pembunuhan sadis dan biadab DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc.

Proses penyidikan kasus Rekayasa kedua (II) tersebut dilakukan oleh Hadi Purnomo. Setelah pemeriksaan tersebut, saya tetap ditahan, tanpa diberikan surat perintah penahanan sampai 19 hari lamanya. Dengan sabar dan tekun, saya bertahan mengikuti skenario para Mafia tersebut.



Misteri Minta Maaf

Misteri rekayasa tindak pidana kemudian datang silih berganti. Mulai menjawab rasa penasaran dan pertanyaan dibenak saya terkait dengan pembunuhan sadis Oddie Manus. Menjelang upaya Praperadilan, tiba-tiba dikagetkan dengan permintaan orang yang mengaku suruhan Gubernur untuk membuat surat permohonan maaf kepada Gubernur.

Setelah surat permohonan maaf itu saya buat, menurutnya akan diserahkan kepada Kasatreskrim HR. Wibowo, selanjutnya saya akan dikeluarkan dari Rumah Tahanan Poltabes Kota Manado, dimana saya disekap dan dipenjarakan. Sehingga makin menguat dugaan saya Polisi telah diperalat. Polisi telah jadi centeng.

Namun permintaan permohonan maaf tersebut, saya tolak dan membuat saya semakin kuat dan penasaran berupaya mencari tahu, untuk apa dan karena apa sehingga nama orang berpengaruh : Gubernur berada dibalik semua skenario ini.

Dalam penantian dan rasa penasaran untuk terus mengikuti skenario para Mafia Hukum yang menyusup dalam Institusi Poltabes Manado, kejutan demi kejutan terus mencuat dan mengerucut kenama tertentu. Mulai dari misteri penculikan, penyekapan dan pemenjaraan, kemudian datang permohonan minta maaf kepada : Gubernur. Ada apa ?.

Misteri nama Gubernur yang sebelumnya sudah disebut-sebut beberapa kali oleh Herry Plangiten, kini muncul lagi. Ada apa dengan Gubernur ?. Nama Gubernur dibawa-bawa oleh beberapa orang sebagai suruhan. Sejak saat itu, dalam benak saya mencuat pertanyaan, ada apa dengan Gubernur ?. Gubernurkah dibalik semua peristiwa yang saya alami ?. Misteri mulai mengerucut kenama orang berkuasa : Gubernur SH. Sarundajang.


Foto : Recky Toemandoek & Gub





Bab 4

Perintah Misterius Sang Penguasa






Selang beberapa hari ketika teman-teman dari PWI-Reformasi mengetahui saya ditangkap dan dijebloskan ke Rumah Tahanan Poltabes Manado, ketua Wiwayah Sulut Albert Tewu, SSos, bersama beberapa kawannya, kemudian melakukan investigasi tentang asal muasal dan latar belakang saya ditangkap.

Lahir analisa adanya keterlibatan orang penting di Pemprov. Sulut. Maka tim PWI-Reformasi melakukan investigasi dan menemui Ka. Biro Hukum Pemprov. Sulut Boy Watuseke, SH, dan berdasarkan hasil konfirmasi mereka, bahwa penangkapan terhadap wartawan Henry John Peuru, atas perintah Gubernur, sebagaimana wawancara dengan ketua PWI-Reformasi Albert Tewu, SSos yang juga dirilis Majalah DERAP edisi Agustus 2008.

Namun berita keterlibatan dan keterkaitan Gubernur dibalik penangkapan Henry Peuru dibantah pihak Humas Pemprov. Sulut, berdasarkan wawancara khusus dengan wartawan Majalah Manado Press TH. I/ Juli 2008, halaman 6 dengan sub judul Bantahan dari Kantor Gubernur, melalui kepala bagian Humas dan Pemerintahan Drs. Roy Tumiwa, yang menyatakan bahwa Gubernur berada dibalik ia dipenjara, itu ngawur.

Namun adanya petunjuk dan fakta tak terbantahkan terkait keterangan Boy Watuseke kepada ketua PWI-Reformasi Sulut, ada sekitar 5 kali orang-orang mengatasnamakan Gubernur kemudian meminta damai di Rutan Poltabes dan Rutan Kelas II A Manado.

Apalagi sebelumnya ketika ada upaya jebakan dari Herry Plangiten dan Siwy yang meminta agar saya datang sendiri yang patut diduga bagian dari design penculikan dan rencana pembunuhan, sebagaimana informasi sumber dari teman sesama aktivis. Pada pertemuan jebakan tersebut yang berlangsung di Cave Olala Mantos Mall, Herry beberapa kali menyebut nama SH. Sarundajang yang katanya mencari saya, dengan alasan akan diberi proyek senilai 1 M.


















Bab 5

Tahanan Ilegal & Manipulasi Praperadilan





Atas penculikan penyekapan dan pemenjaraan ilegal selama 19 hari di Rutan Poltabes Manado yang dilakukan kepada saya oleh 6 orang oknum Polisi berpakaian preman, kali pertama

saya melakukan upaya menuntut dan mencari keadilan melalui instrument hukum : Praperadilan.

Upaya Praperadilan tersebut, dilakukan melalui pengacara Michel Jakobus, SH, MH, yang juga merupakan kakak tingkat anak saya di Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangie. Hanya sekali kami bertemu, setelah itu dia tidak pernah menghubungi saya lagi.

Sekitar 2 minggu mandek digantung pengacara Michel Jacobus, SH.,MH. Muncul misteri menggantung waktu. Saya mendesak anak saya coba mana pengacara yang dibawa kok belum juga didaftarkan ke Pengadilan. Atas desakan saya Pengacara Michel Jocobus, SH.,MH, kemudian baru mendaftarkannya di PN. Manado.

Draft tuntutan materi Praperadilan saya minta diberikan kepada saya untuk dikoreksi. Dari apa yang ditulisnya, ternyata berlainan dari fakta yang saya alami dan sampaikan kepadanya. Semua berdasarkan versi penyidik. Sehingga saya kemudian memberikan koreksi untuk beberapa perubahan. Mencuat misteri konspirasi.

Ketika proses Praperadilan, ditangani oleh Hakim Rohendi, SH. Anehnya putusan PN. Manado atas upaya Praperadilan saya ditolak. Padahal, jelas sekali polisi melakukan penculikan, penyekapan dan pemenjaraan tanpa dasar. Bahkan penahanan tanpa status selama 19 hari didalam tahanan Rutan Poltabes Manado, tanpa surat perintah penahanan, tidak disinggung pengacara saya.

Hasil putusan itupun, tidak disampaikan pengacara, sampai saya meminta untuk menyerahkan hasil putusan. Pengacara tersebut, nampaknya sengaja menggantung hari agar waktu melakukan upaya banding habis.

Karena saya akan melakukan banding. Saya kemudian mendesak anak saya agar segera meminta pengacara tersebut membawa hasil putusan untuk saya pelajari, agar tahu langkah apa yang harus ditempuh.

Mereka kemudian membawa hasil putusan setelah lewat waktu masa banding. Bahkan setelah saya teliti hasil putusan, didapatkan : 1. Hasil koreksi saya tidak dirubah, 2. Kesaksian oknum Polisi tidak bersesuaian satu dengan lainnya, oknum polisi lain menyatakan surat tertinggal dirumah, sementara saksi Polisi lain menyatakan Surat saya perlihatkan di Mobil, 3. Adanya keterangan saksi saya sebagai profokator Poso. Padahal saya tidak pernah mengunjungi Poso sekalipun, dan saya tidak pernah melihat apalagi mengalami dan berada di Poso. Ada apa dibalik keterangan penuh kebohongan dan manipulatif ini ?. Kok bisanya oknum Polisi membangun skenario penuh kebohongan dan kebusukan seperti itu ?. Lantas mengapa putusan Menipu Tuhan terjadi ?. Lalu dimana peran pengacara yang sebenarnya ?. Betul-betul Menipu Tuhan. Tapi gampanglah. Nanti bertobatlah kan enteng !.

Dari keterangan ini pula, semakin kuat keyakinan saya adanya upaya menghilangkan saya : Pembunuhan. Dimana patut diduga telah terjadi manipulasi dan konspirasi dengan pengacara. Demikian pula lahirnya keterangan palsu sebagai keterangan rekaan pikiraan mereka, kian menguatkan adanya rencana pembunuhan diluar daerah.

Rencana pembunuhan didaerah konflik diduga, aktor intelektual dadernya adalah orang mantan daerah konflik yang menguasai dan punya kuasa serta memiliki hubungan dengan eksekutor daerah konflik. Sebab dari ketiga kasus Oddie, Toar dan saya semua mengarah kedaerah konflik Sulawesi Tengah. Indikatornya, adanya berita koran rencana gelar perkara Oddie Manus di Poso. Artinya, ada kemungkinan Oddie telah dibunuh di Poso baru dibawah ke Manado. Toar ditemukan di Toboli Sulawesi Tengah. Ketiga saya direncanakan ke Poso.

Dari skenario dan keterangan saksi diatas, bila dihubungkan dengan upaya saya membongkar kasus penculikan dan pembunuhan sadis kejam dan biadab DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc. Patut diduga, memiliki hubungan peristiwa satu dengan peristiwa lainnya, yang tidak dapat dipisahkan, merupakan rancangan dari satu sindikate tertentu, yang aktor intelektual dadernya dari kelompok dan kepentingan yang sama.

Kelompok ini, diduga dari kelompok profesional dan cerdas berhubungan atau terlibat dibalik pembunuhan sadis kejam dan biadab ini baik langsung maupun tidak langsung ?. Entah sebagai aktor intelektualnya, perencana, penasehat, informan, eksekutor, dan sebagai pelindung karena disuap untuk menutupi kasus, walahualam !. Hebatnya kelompok ini, mampu membungkam suara media cetak maupun elektronik.

Dari upaya Preperadilan, saya meminta untuk melakukan banding. Namun oleh Michel Jacobus, SH.,MH, menjelaskan bahwa tidak bisa dilakukan banding sesuai apa....., MA, yang ketika itu saya belum memahami benar soal penanganan hukum di Pengadilan.

Penjelasan pengacara tersebut, baru disampaikan setelah waktu digantung hingga masa banding telah berakhir. Sejak itu saya merasa dibodohi, dan langsung mengganti pengacara bermoral busuk dan jelek seperti itu. Misteri konspirasi dibalik pembodohan.

Sekaligus mulai mempelajari dan membaca buku-buku hukum, belajar otodidak. Dimana dari sana kemudian saya baru mengetahui adanya sepak terjang pengacara tidak bermoral akan melakukan apa saja demi uang dan bukan karena pertimbangan profesi, hukum dan kemanusiaan. Sejak itu saya mulai tahu ada Pengacara Mafia.

Sebab saya tahu bahwa pesan moral profesi tidak akan menggadaikan profesinya hanya karena uang, namun lebih kepada tanggungjawab moral. Nah kemudian muncul tudingan tidak sedap atau tudingan miring kepada mereka, semata tergantung kualitas moral seseorang.

Dari kejadian tersebut, saya kemudian mengganti pengacara dengan pengacara yang disodori pihak PWI-Reformasi Sulut yang diketuai Albert Tewu, SSos, karena ketika itu saya bernaung dibawah PWI-Reformasi.

Foto : 1. Hakin Rohendi

2. Michel Jacobus

3. Albert Tewu.
















Bagian Tiga ;

Perjuangan Anak Risa ke Jakarta







Walau upaya Praperadilan saya dikandaskan lewat proses persidangan yang tidak adil dan tidak benar serta sarat konspirasi, saya bertekat tetap bertahan terus berjuang mencari keadilan, sampai seorang perwira Poltabes Manado datang mencoba mendekati saya, hingga melakukan pengawasan ketat terhadap berbagai kegiatan saya dalam Rutan.

Atas misteri penuh tekanan tersebut, kami bertekat mengadukan rekayasa Mafia Hukum oknum-oknum Poltabes Kota Manado ke Jakarta. Maka anak tertua saya : Risa Christie, mengambil inisiatif berjuang ke Jakarta dengan membawa surat dan segepok laporan.

Di Jakarta Risa Christie yang mahasiswi Fakultas Hukum UNSRAT Manado bersama ibunya menjambangi bukan saja ke Mabes Polri, namun berbagai Lembaga Negara, termasuk KOMISI JUDICIAL, KOMPOLNAS, KOMNAS HAM dan organisasi kewartawanan PWI-Reformasi dan Pemred Majalah Forum Keadilan, LBH Pers serta Dewan Pers pun dilakukan.

Perjuangan anak saya di Jakarta, sampai harus menghentikan kuliahnya beberapa bulan, didampingi ibunya. Mereka memasukkan surat dan laporan kriminalisasi dari saya, termasuk surat keluhan keluarga atas kriminalisasi Mafia Hukum.

Selagi istri dan anak saya berjuang di Jakarta, dirutan Poltabes Manado, beberapa teman yang paling intens menjenguk saya, adalah teman yang mengatasnamakan Forum Koresponden Nasional.

Mereka datang dengan pendekatan rasa simpati sebagai sesama teman wartawan, membawa berbagai makanan dan minum kaleng yang cukup lumayan. Namun ternyata, dibalik simpati mereka, ada pesan agar saya meminta maaf kepada Gubernur.

Saran yang mengejutkan saya dari teman-teman yang mengaku dari Forum Koresponden Nasional tersebut, saya tolak. Mereka juga menyatakan, surat permintaan maaf tersebut akan disampaikan lewat Kasatreskrim HR. Wibowo, dan segera mengeluarkan saya dari Rutan Poltabes Manado.

Mereka begitu getol berusaha membujuk saya. Dan yang paling sering mendatangi saya ada 3 orang, 2 orang pria dan 1 orang wanita. Ketiganya teman saya wartawan yang mengatasnamakan Forum Koresponden Nasional.

Dalam setiap kunjungan mereka di Rutan Poltabes Manado, bujuk rayu selalu ada. Antara lain mereka katakan, “Hen didalam ini kan siksa dan akan membuat ngana stress”, tandas mereka dengan dealek Manado. Coba mengalah saja biar bisa dikeluarkan. Apalagi kasihan keluarga menjadi tersiksa diluar.

Karena penolakan saya, mereka merubah arah design permintaan maaf menjadi perdamaian dengan Gubernur. Berkali-kali atau sekitar 5 kali mereka mengusulkan berdamai dengan Gubernur, dengan imbalan sejumlah kompensasi. “86” lah istilah kerennya. Namun tawaran damai yang datang berkali-kali tersebut, tetap saya tolak.

Atas penjelasan dan bujukan yang tidak jelas alasan dan landasan berfikirnya, saya menjadi semakin penasaran dan kian menarik untuk saya ikuti dan telusuri motivasi gerakan kelompok misterius ini.

Saya meminta kepada mereka untuk diberikan penjelasan atau dasar alasan perselisihan dengan Gubernur. Bila jelas, saya minta dicantumkan dalam klausul perdamaian maka akan siap saya tandatangani. Namun surat perdamaian sebagaimana usulan saya tak jua muncul.

Karena saya tetap menolak, mereka tak patah arang berusaha mendekati mertua dan saudara saya, untuk mematahkan keteguhan hati saya yang tetap bersikukuh berjuang mempertahankan keadilan dan kebenaran secara patut dan wajar menurut Undang-Undang.

Tak cukup dengan membujuk saya, mertua dan keluarga saya didekati untuk meluluhkan hati saya, agar mengikuti keinginan mereka berdamai dengan Gubernur SH. Sarundajang. Gagal, anak terua saya, juga didekati untuk meluluhkan hati saya.

Mareka menawarkan berdamai dengan Gubernur, namun berkali-kali saya katakan, apa ada perselisihan saya dengan Sarundajang kemudian kita harus berdamai. Namun dengan alasan yang tidak jelas, mereka tetap memaksakan diri agar saya mau berdamai dengan Gubernur. Bahkan mereka menyatakan, Hen pokoknya mo “86” lah dengan ngana.

Namun tawaran damai tersebut tetap saya tolak karena tidak ada alasan dan dasar yang jelas. Tak patah arang, mereka mendekati mertua saya agar dapat membujuk saya agar mau berdamai dengan Gubernur. Bahkan nominal yang dijanjikan kepada ibu saya, tak tanggung-tanggung sekitar 650 juta rupiah. Kepada anak tertua saya Risa Christie -pun, didekati agar bisa membujuk ayahnya agar mau berdamai.

Apalagi bila upaya damai dengan Gubernur, dihubungkan dengan sangkaan rekayasa kepada Ir. Recky Toemandoek, MM Kadis Kimpraswil Pemprov. Sulut yang tak jelas korelasi hubungan sebab musababnya, saya tetap bersikukuh bertahan meminta penyelesaian secara hukum atas siasat kriminalisasi yang mereka lakukan.

Maksud saya pula, agar tabir berbagai keganjilan dan tindakan misterius berbagai Mafia Hukum yang menyusup kedalam institusi kepolisian, benar-benar bisa ditemukan dan terbuka lewat forum persidangan di Pengadilan.

Lantas, bila ditilik dari kegiatan kami melakukan penyelidikan tragedi pembunuhan sadis DR. Ir. Oddie Manus, MSc, dihubungan dengan 2 kasus rekayasa : saksi penyelundupan senjata dan laporan pengancaman dan pemerasan Kadis Kimpraswil Prov. Sulut, ada hubungan apa dengan tawaran damai yang dilakukan orang-orang yang mengatasnamakan SH. Sarundajang.

Akibat penolakan saya yang begitu gigih, sejak itu saya memperoleh ancaman dan tekanan dari sistem institusi Poltabes Manado. Entah karena kebijakan perorangan atau apakah instruksi sistem atau Mafia Hukum, saya tidak tahu.

Apalagi bila dihubungkan dengan upaya saya dan kawan-kawan membongkar kasus penculikan dan pembunuhan Oddie A. Manus, kemudian bereaksi kelompok tertentu yang diduga melibatkan oknum Poltabes Manado dengan melakukan culik sekap dan pemenjaraan kepada saya.

Dari proses hukum yang menyimpang, diikuti dengan peniadaan hukum lewat jalan damai. Jelas dapat saya simpulkan adalah permainan sepak terjang Mafia Hukum. Yang dalangnya, patut diduga Gubernur SH. Sarundajang. Cuman apa alasannya. Semua pertanyaan ini masih memerlukan jawaban riiel dan kongkrit karena sangat misterius.

Dibawah cengkraman rekayasa tindak pidana oleh Mafia Hukum yang berada dan terbangun dalam institusi Pemerintah, rentetan rekayasa (1,2 dan 3) itu, mulai membangun dugaan dan kecurigaan terkait dengan upaya membungkam saya, karena membongkar kasus penculikan dan pembunuhan DR. Ir. Oddie Manus, MSc. Soalnya hanya dengan TPF BULIKT’S kegiatan saya di Sulut yang kontroversial sifatnya, bila dihubungkan dengan kriminalisasi misterius berkali-kali.

Indikasi lain yang menguatkan kecurigaan saya, adanya informasi bahwa pejabat yang pernah menginstruksikan penelusuran pencarian DR. Ir. Oddie Manus, MSc, juga sempat terekayasa sebagai pembunuh. Kini pejabat inipun masuk penjara. Mengapa ?.

Ada apa ?. Apakah terkait endusan pembunuhan DR. Ir. Oddie A Manus, MSc ?.

Foto : 1. Di JAKARTA


Memanfaatkan open house Idul fitri, melaporkan ke Presiden


Foto : 1. Di JAKARTA




Melapor ke Komisi III DPR RI.





Bab. I

Rekayasa III Ancam Gubernur






Karena usulan permintaan maaf dan perdamaian kepada Gubernur SH. Sarundajang saya tolak, apalagi saya tetap bersikukuh berjuang dan melaporkan rekayasa ke Jakarta, maka sejak itu, saya mulai memperoleh pengawasan secara ketat, ancaman dan tekanan.

Klimaksnya, suatu waktu pihak Poltabes Manado menciptakan design pembatasan kunjungan baik waktu maupun cara berkomunikasi hanya lewat lubang kaca, yang nampaknya membelenggu tahanan. Akibatnya terjadi protes dari tahanan.

Dampaknya, protes dari para tahanan Poltabes Manado, dituding bahwa saya sebagai penggerak aksi. Apalagi, saya merupakan hukum tua tahanan, maka sebagai penanggungjawab saya dikekang lewat tindakan kejam Mafia Hukum Poltabes Manado dengan mengkarantina saya orang tidak bersalah. Betul-betul tindakan Mafia Hukum busuk keji dan kejam hanya karena pesanan tertentu.

Padahal kesalahan kebijakan yang tidak biasanya ini, diduga sengaja didesign untuk mengekang dan menghambat perjuangan saya. Sehingga pancingan kamuflase agar terjadi gerakan perlawanan, dapat dijadikan alasan untuk dikarantina.

Walau begitu bengis dan kejam tindakan oknum yang dapat mengendalikan kamuflase manajemen institusi Poltabes Manado, saya tidak takut dan gentar dan tetap berjuang melawan kebusukan dan kejahatan tindakan orang-orang bengis yang dibeli dan dijadikan centeng orang tertentu. Laporan ke Jakarta terus saya dorong dimaksimalkan kepada istri dan anak saya.

Karena masih terus mengumbar kekuasaan dan memanfaatkan kekuasaan dan jabatan agar saya bisa dibungkam, terdengar adanya rencana rekayasa tindak pidana untuk ketiga kalinya. Dimana sebelumnya, telah didahului dengan ancaman dan adanya laporan baru.

Dari hembusan rancangan rekayasa ketiga kali ini, juga sudah ada ancaman pembunuhan yang disampaikan anak saya Risa Christie Peuru Mahasiswi Fakultas Hukum Unsrat sebelum melapor ke Jakarta, bahwa akan ada orang yang disusupkan kedalam tahanan untuk membunuh saya.

Kemudian menyusul informasi baru dari anak saya, “papa akan dilaporkan kasus baru,” tandasnya menyampaikan atas informasi yang diperoleh dari pengacara kakak tingkatnya disuatu waktu saat proses Praperadilan. Namun saya katakan kepada mereka, bahwa seratus laporan-pun saya tidak takut.

Ternyata ancaman tersebut bukan bualan, sebab menjelang 5 hari lagi saya akan dipindahkan kepenjara Kelas II A Manado – Malendeng, tepatnya pada tgl 26 April 2008 saya di BAP lagi atas kasus rekayasa ketiga (III), berdasarkan laporan Boy Watuseke, SH tertanggal 1 April 2008. Disini agak cantik, tapi busuk adminitrasinya.

Laporan rekayasa ketiga (III) adalah pencemaran nama baik Gubernur yang “konon” menurut pelapor Boy Watuseke, SH. Ka. Biro Hukum Kantor Gubernur Pemprov. Sulawesi Utara, terjadi pada kegiatan WOC dikantor Bappeda pada Februari 2007.

Saya kemudian di BAP terkait dengan perbuatan tindak pidana yang dikenakan dengan pasal 315 dan 310 KUHP. Dimana pada proses pemeriksaan saya didampingi pengacara Moses Riupassa, SH. Pada episode rekayasa ketiga (III) nampaknya penyidik Poltabes Manado, mulai anggun dan menghormati hukum.

Foto : 1. Poltabes Manado

2. Gubernur
























Bab 2

Vonis Bebas Murni Rekayasa II




Setelah dikalahkan secara tidak benar lewat instrumen hukum Praperadilan, kemudian didesign lagi rekayasa tindak pidana ketiga (III). Namun saya bertekat dan tetap bertahan berjuang mencari keadilan, sampai kapanpun dan dimanapun.

Karena masa penahanan kedua (2) akan berakhir atau entah dianggap pemeriksaan sudah lengkap, dilakukan proses pelimpahan berkas perkara dan tersangka rekayasa dari Rutan Poltabes ke Rutan kelas II A Manado Malendeng oleh begundal Mafia Hukum Sulut.

Menjelang memasuki bulan ke-2 dipenjara Malendeng, proses persidangan kasus rekayasa (II) pengancaman dan pemerasan yang dilaporkan Ir. Recky Toemandoek, MM, mulai persidangannya di PN. Manado.

Proses persidangan berjalan tidak memenuhi syarat kelengkapan alat bukti yang sah menurut tata cara perundangan yang berlaku. Dimana dari keempat saksi bukan saksi yang dihadirkan termasuk saksi korban, hanya 3 orang saksi testimonium yang hadir.

Saksi yang dihadirkan, adalah saksi rekayasa yang tidak mendengar melihat dan mengalami sebagaimana yang diisyaratkan menurut KUHAP pasal 1 butir 27. Sementara saya menghadirkan 2 orang saksi meringankan dari 4 saksi yang telah dijadwalkan.

Pemeriksaan pertama, dilakukan kepada saksi korban yang dua (2) kali menghindar dengan alasan tugas ke Jakrta dan mendampingi Menteri, namun atas perintah Ketua Majelis Hakim Frans Liemena, SH. MHum yang juga wakil PN. Manado, dengan tegas meminta Jaksa menghadirkan secara paksa, akhirnya Saksi “katanya” korban Ir. Recky Toemandoek, MM, dapat diperiksa pada pemeriksaan ketiga kalinya.

Kemudian pada persidangan berikutnya pemeriksaan dilakukan terhadap 2 orang saksi yaitu Ir. Eddy Kenap dan Robert Wolok (Alm) Humas Kimpraswil Prov. Sulut. Dimana berdasarkan cross examination sebagai saksi ternyata, mereka tidak mengetahui, mendengar dan tidak berada ditempat kejadian. Sehingga yang terjadi saksi palsu tersebut cendrung memberikan keterangan yang lahir dari pikirannya sendiri, atau bertentangan menurut pasal 242 KUHP dengan beraninya memberikan keterangan palsu. Sementara Ir. Johny Wenur tidak dapat dihadirkan.

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan atas dua (2) orang saksi meringankan yaitu Rosna Ladjaman wartawan Patroli dan John Lalonsang Kepala Perwakilan Tabloid Jejak.

Hasil pemeriksaan tidak satupun fakta persidangan yang membuktikan adanya tuduhan Jaksa Penuntut Umum yang benar. Bahkan mencuat adanya skenario rekayasa oleh kepentingan tertentu dipersidangan. Sehingga, diduga didalangi kepentingan Mafia Hukum yang berkaitan dengan pembunuh DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc.

Ketua Majelis Hakim Frans Liemena, SH, MH, dihari terakhir persidangan, sempat diancam via hand phonenya sebagaimana pengakuannya dipersidangan hari terakhir usai pembacaan pledoi, saat saya akan dibebaskan demi hukum (BDH).

Ketika saya dikeluarkan demi hukum, sekitar 2 bulan saya berkelana di Jakarta menggantung vonis PN. Manado, melaporkan semua rekayasa yang dilakukan Mafia Hukum Sulawesi Utara keberbagai Institusi Negara bahkan LSM.

Saya dan istri terus berjalan dari hari kehari melaporkan semua kejadian yang menimpa saya. Hal tersebut saya lakukan, agar istri saya dapat mengetahui dimana tempat untuk melapor bila ada kejadian tertentu dikemudian hari, bila ada rekayasa menjelang vonis.

Usai melapor selama sekitar 2 bulan, saya kemudian kembali ke Manado, mengikuti sidang vonis. Hasilnya, saya diputus bebas murni (vrijsprak) oleh majelis hakim yang diketuai Frans Liemena, SH., MHum PN. Manado pada hari Senin, tanggal 15 Desember 2008. Putusan ini, merupakan jawaban klimaks dari kontroversi Praperadilan yang penuh rekayasa yang dilakukan oleh hakim tunggal Rohendi, SH yang mengalahkan upaya hukum Praperadilan saya.

Foto : Sidang dgn pak Recky

Recky Toemandoek




F oto :

Sidang Rekayasa II atas laporan Ir. Recky Toemandoek, MM







Bab 3

Rekayasa IV Aniaya Polisi

Ditangkap ala Teroris II




Ketika saya memperoleh putusan bebas murni atas kasus rekayasa kedua (II) pada tanggal 15 Desember 2008, saya ditangkap lagi pada tanggal 4 Februari 2009 dengan skenario baru Rekayasa keempat (IV), saat saya akan mengawal kontra Memori Kasasi ke Jakarta.

Dimana sebelumnya, rancangan penangkapan dengan settingan design rekayasa tindak pidana ke-IV telah dirancang pada tanggal 17 Januari 2008. Rancangan penangkapan ala teroris kali ke-2 ini, modusnya hampir sama dengan memanfaatkan teman wartawan yang kualitas moralnya, mudah menjual diri.

Design rekayasa ke-IV ini, bermula kontak via hand phone yang meminta saya bertemu di Rumah Kopi Wella pada Sore hari. Bersama saudara saya mengarah kerumah kopi Wella. Disana terlihat salah seorang perwira Polda. Namun tiba-tiba kontak berubah kemudian mengarahkan saya agar ketemuannya di kantor PWI Cab. Sulut.

Disana kami bertemu, namun tak jelas arah pembicaraannya. Kondisi ini melahirkan analisa dan perasaan tidak enak, bahwa akan ada sesuatu rancangan yang tidak beres. Saya lantas keluar meninggalkan PWI. Isyarat teman saya lainnya yang tidak terkontaminasi, memberi signal, agar berhati-hati karena ada sekelompok orang yang menguntit.

Benar terjadi pengejaran oleh 3 orang kelompok profesional tersebut dengan menggunakan kendaraan kijang ladbak terbuka, dari PWI hingga ke Cave Leker Jl. Sam Ratulangie Wanea.

Untung design jebakan dari sekolompok Wartawan Mafia yang kongkow di markas PWI tersebut dapat saya hindari. Saya sigap dan menghindar menghilang memutar balik kearah Sario, masuk kebeberapa lorong, hingga akhirnya dapat melepaskan diri dari pengejaran. Upaya penangkapan tersebut diduga untuk menghambat saya melakukan upaya hukum membuat dan memasukan Kontra Memori yang akan berakhir pada hari Selasa tanggal 20 Januari 2009.

Menyadari adanya upaya hambatan dari jaringan Mafia Hukum tersebut, saya berupaya menyusun kontra memori sendiri secepatnya. Soalnya, pengacara saya menghilang. Yang saya duga telah terkontaminasi dan ikut mempersulit pemasukkan kontra memori.

Akhirnya, upaya saya berhasil menyelesaikan kontra memori dan memasukkannya pada hari Senin tanggal 19 Januari 2009. Perkembangan penanganan berkas kasasi di PN. Manado, terus saya pantau dan berencana mengawalnya sampai ke Mahkamah Agung.

Memasuki waktu keempat belas (14) hari batas pengiriman berkas ke Mahkamah Agung, tepatnya tanggal 4 Februari 2009, saya-pun berencana mengawal ke Jakarta. Namun hari naas kali ke-2, saya ditangkap lagi dirumah di Desa Boyong Atas, oleh 8 orang Buser Poltabes Kota Manado berpakaian preman didampingi seorang polisi Polsek Kec. Tenga.

Penangkapan dilakukan sekitar jam 4 subuh dengan mengepung rumah saya ala seorang teroris atau penjahat besar yang memiliki pengawalan ketat dengan anak buah bersenjata. Buser Poltabes Kota Manado tersebut berkendaraan 2 mobil Kijang, warna merah dan biru.

Sebagian berjaga-jaga mengitari rumah ujar tetangga menyampaikan kejadian disubuh hari antara jam 4 – 5.30 Wita. Sementara 3 orang mengetuk pintu dan memaksa masuk rumah, walau kami sekeluarga masih tidur.

Ketika saya sedang mengontak pengacara saya di Manado, mertua saya yang lagi sakit, menjadi kaget dan ketakutan. Sementara kedua anak saya yang berumur 8 tahun dan 14 tahun menjadi takut dan menangis atas ulah Polisi yang ingin menangkap ayah mereka yang tidak bersalah.

Bukan saja memaksa masuk kerumah, namun 2 orang oknum buser menerobos memaksa masuk kedalam kamar dan menyeret saya keluar seperti binatang hingga kaki saya diseret dan menyebabkan paha kaki kanan memar dan jempol kanan mengalami luka.




Bahkan anak saya kedua Prasetyo hanya bisa terpaku ketakutan disudut tempat tidur sambil berusaha menahan saya, sementara anak ketiga Moris berumur 8 (delapan) tahun mengalami sikutan ketika berusaha menahan lengan saya atas pemaksaan sadis dan kejam oleh oknum buser Poltabes Manado, hingga dia jatuh pingsan. Dengan pakaian tidur tanpa sendal saya diseret keluar kamar hingga kejalan dan dimasukkan ke mobil, hingga menyebabkan paha kana memar dan jari jempol luka.

Aneh bin misterius dan sangat tak masuk akal, penangkapan tersebut sebagaimana surat penangkapan yang ditunjukkan kepada saya terkait dengan perbuatan melawan petugas Polantas pasal 211 dan 335 KUHP, yang tidak pernah saya lakukan, harus ditangkap ala Teroris dan penjahat besar.

Setelah saya ingat-ingat, adalah kejadian 20 hari berselang. Dugaan saya, adalah pelanggaran lalu lintas tanpa menggunakan helm pada tanggal 14 Januari 2009 yang dijadikan alasan rekayasa. Cuman bagaimana logikanya, tanpa melalui mekanisme sesuai standar operasional prosedur, sebagaimana diatur sesuai KUHAP.

Belakangan saat proses persidangan (setelah kira-kira 3 tahun diendapkan Poltabes Manado), terjadi manipulasi fakta hukum, dari melawan petugas, menjadi melakukan percobaan penganiayaan kepada petugas/ polisi. Ruaaaar biasa.

Penangkapan tanpa melalui mekanisme surat panggilan secara patut tersebut, dilakukan dengan tindakan yang sangat keras dan kejam. Disamping tidak mempunyai etika dan sopan santun saat orang masih tidur.

Lantas bagaimana logika dan korelasi atas pelanggaran Lalu Lintas bisa dimanipulasi fakta hukumnya menjadi tindak pidana yang luar biasa ?. Beberapa masyarakat yang sempat mendengar ocehan beberapa oknum yang berjaga diluar rumah, menyatakan bahwa kami harus membawa Henry ke Manado, karena perintah Gubernur. Dari sana, saya menyadari dan menduga betapa misteri besar ini mempunyai hubungan sebab musabab yang luar biasa dengan endusan saya atas kasus pembunuhan DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc.

Pagi itu sekitar jam lima (5), saya digiring ke 8 Buser Poltabes Kota Manado yang dikomandai Marwan Gembong, dengan hanya memakai pakaian tidur. Mungkin pola ini dilakukan agar saya stress dan akhirnya menyerah atas upaya damai dari kelompok Mafia Hukum Sulut, yang terus saya tolak.

Pada jam sembilan (9) pagi kami tiba di Poltabes Manado tanpa alas kaki. Dan tanpa basa-basi, saya langsung di BAP tanpa didampingi pengacara. Saya menurut saja, karena misteri ini harus saya jalani dan lalui untuk mencari jawabnya. Memang perjuangan mencari kebenaran dan keadilan ini, butuh pengorbanan, guman saya dalam hati. Hal ini juga yang saya sampaikan pada keluarga untuk menguatkan mereka dari kekejaman dan kebengisan para Mafia Hukum Sulut yang menyusup diinstitusi kepolisian.

Rekayasa kasus ke-IV yang dibarengi dengan tindakan biadab dan kejam ini, dilakukan diera Kapoltabes Kombes Lumowa yang kemudian menjabat Dirlantas Polda Metro Jaya. Seminggu kemudian, terjadi penggantian Kapoltabes Kota Manado dari Lumowa ke Kapoltabes Aridan Roeroe. Saya tetap dipenjarakan selama 2 bulan kurang 4 hari.










Bab 4

Bantuan KOMPOLNAS





Atas ulah kejam anggota buser Poltabes Manado, saya melaporkan kepada Wakapolres Kombes Hendra Supriatna (kini di Mabes Polri) dan Propam Poltabes dan meminta dilakukan visum. Namun hingga seminggu laporan saya tak juga digubris pihak Poltabes Manado, walau telah dilaporkan ke Wakapolres Hendra Supriatna.

Diabaikan, saya meminta mertua saya melapor ke Propam Polda Sulut. Mertua saya kemudian baru diperiksa. Dimana paha dan jempol kaki saya yang memar dan luka divisum di RS Bayangkara. Sayangnya, sampai saat ini, tak ada kelanjutannya hingga buku ini diterbitkan.

Kami kemudian memutuskan langkah selanjutnya, harus dilaporkan ke Mabes Polri atau yang terkait dengan rekayasa kerja Polisi di Sulut. Di Jakarta, untuk kriminalisasi kali keempat ini, istri saya bersama anak saya Risa Christie berjuang dan melaporkan lagi keberbagai Lembaga Negara termasuk keorganisasi Pers dan Dewan lembaga Pers di Jakarta.

Anak saya mahasiswi Hukum Unsrat, terpaksa harus menghentikan kuliahnya, datang ke Jakarta ikut berjuang melaporkan kriminalisasi oleh kelompok Mafia Hukum Sulut yang busuk kejam dan biadab ini.

Hasil perjuangan istri dan anak saya, hanya pihak KOMPOLNAS yang peduli dan serius menangani laporan kami serta melakukan pemeriksaan. Laporan kami langsung diterima dan didengar keterangannya oleh Bapak Adnan Pandu Paraja, SH,.LLM.

Oleh Pak Pandu, setelah memeriksa, meneliti laporan dan mendengar keterangan istri saya, kemudian menanyakan, “apakah ibu mau di TV-kan,” tanya pak Pandu. Mendengar pertanyaan tersebut, tanpa pikir panjang, istri saya secara spontan langsung menyatakan bersedia. KOMPOLNAS lantas mengagendakan dialog lewat programnya Jalur 259 KOMPOLNAS di TV One.

Kapoltabes Kota Manado Bapak Aridan Roeroe-pun diundang ke Jakarta. Namun sebelum ke Jakarta, Kapoltabes menyempatkan diri 2 kali menemui saya. Dan dia sempat menanyakan pengetahuan saya tentang hubungan benang merah antara Gubernur SH. Sarundajang dengan saya dan kematian DR. Oddie A. Manus, MSc.

Didampingi para petinggi Poltabes Kota Manado, saya menjelaskan, entahlah, “hanya kok tiba-tiba Gubernur begitu gusar dan gerah kepada saya, ketika saya membentuk Tim untuk mengendus pembunuhan Oddie Manus,” tandas saya. Dimana kegerahannya, dari indikator orang-orangnya berkali-kali meminta damai dengan saya, sementara kami tidak berselisih. “Disitulah misteri benang merahnya,” jelas saya.

Akhir Maret 2009, dialog Kapoltabes Bapak Aridan Roeroe, Pengacara dan istri saya dengan KOMPOLNAS ditayangkan secara langsung di TV One. Selang empat hari kemudian saya dikeluarkan dari kekejaman penjara Rutan Poltabes Kota Manado.


Foto : Rumah dan Buser

Scane surat penangkapan 8 org Buser






Bab 5

Damai Embeli Ancaman Rekayasa V






Setelah saya dibebaskan dari pemenjaraan di Rutan Poltabes Kota Manado usai tayangan melalui program dialog Jalur 259 TV One KOMPOLNAS, saya dibawa ke Kejari Manado, sebagai bagian penyerahan terdakwa dan berkas perkara atas kasus Rekayasa III pada tanggal 1 April 2009. Sementara kasus Rekayasa IV yang dijadikan alasan penagkapan, tak jelas juntrungnya.

Ketika itu, tidak dilakukan penahanan. Hanya secara lisan, pihak Kejari yang ditangani oleh Rielke Palar, SH, mengatakan kepada saya sebagai status tahanan kota. Sampai beberapa waktu, suasana kasus rekayasa III dan IV ini, senyap tanpa kabar berita.

Saya kemudian kembali ke Jakarta, dua (2) minggu kemudian saya bersama istri tampil lagi untuk yang kedua kali diacara program KOMPOLNAS TV One pada tangga 17 April 2009.

Anehnya, pada tanggal 18 April 2009, saya diajak berdamai dengan Gubernur oleh Boy Sompotan via hand phone yang kemudian diberi kepada Michel Umbas mantan anak buah saya di Tabloid JEJaK, yang menjelaskan maksud pertemuan dengan Gubernur untuk berdamai. Soal permintaan bertemu, “saya tidak siap karena saya lagi kerja,” tandas saya pada mereka.

Tak patah semangat, keesokannya tanggal 19 April 2009, kembali mereka menelephon saya. Melalui Lexy Karel, meminta dengan sangat, “Gubernur minta bertemu dengan ngana,” tandasnya dalam dialek Minahasa Manado. Namun permintaan tersebut saya tolak, masih dengan alasan yang sama.

Sekitar jam 6 malam, untuk yang ketiga kalinya, kembali Lexy mengontak saya untuk meminta bertemu dengan Gubernur. “Tolong Hen, biar ngana ingat pa kita jo sebagai teman yang so jauh-jauh datang dari Manado hanya mo cari ngana, nanti torang merapat dekat ngana tinggal,” tandasnya meminta dalam dialek Manado Minahasa.

Karena Lexy meminta dengan sangat, sebagai teman yang sama-sama KKN dimasa kuliah dulu, saya akhirnya mengiyakan dan menentukan pertemuan di Lebak Bulus pada jam 19.00 Wita, usai saya kerja. Kami akhirnya bertemu di Lebak Bulus. Lexy bersama seorang pejabat Pemprov. Sulut yang dikenalkan bernama Steven Liow, sementara saya bersama istri dan anak buah saya. Dari sana, ternyata bukan hanya bincang-bincang, namun mereka membujuk bertemu dengan Gubernur di Hotel Borobudur.

Saya-pun dengan terpaksa mengikuti kemauan mereka, dimana setiba di hotel Borobudur, saya disambut oleh Kres Talumepa ka. Biro Hukum Pemprov. Sulut, Freddy Roeroe, Mechel Umbas, di lobi hotel dengan jamuan yang sudah disediakan. Namun tawaran mereka tidak saya cicipi, karena saya tetap waspada.

Pertemuan akhirnya berlangsung di Lt. 18 dimana saya bersama istri disatu meja dengan SH. Sarundajang, sementara Ka.Biro Hukum Chres Talumepa, Humas Gub. Steven Liow dan 3 orang wartawan Freddy Roeroe, Lexy Karel dan Michel Umbas dimeja yang lain dan seorang ajudan bernama Franky, berdiri jauh dari kami. Anak buah saya tetap menguntit dan memantau pertemuan kami atas perintah isyarat saya.

Pada pertemuan itu, Gubernur SH. Sarundajang -masih dengan modus yang sama seperti sebelumnya minta damai diembeli ancaman-, menyatakan telah melaporkan saya ke Polda Metro Jaya. “Namun kalau mau berdamai saya akan cabut laporan tersebut,” tandasnya. Tawaran damai dengan embel-embel ancaman, tersebut membuat perasaan saya tak sedap, dan sedikit berhati-hati.

Atas tawaran damai dibarengi ancaman, saya tolak secara halus, dengan meminta waktu untuk saya pertimbangkan. Alasannya, saya masih perlu istirahat karena baru keluar dari penjara dan butuh waktu untuk berkumpul dengan keluarga.

Banyak hal yang kami bicarakan termasuk tudingan SH. Sarundajang, bahwa saya menuduhnya membunuh Oddie Manus, -yang rupanya tudingan itu yang dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Namun saya tegaskan padanya, saya tidak pernah menuduh demikian. Bahkan saya balik menyatakan, “justru saya menjadi heran kok bapak melakukan kriminalisasi kepada saya berulang-ulang, ketika saya mengendus kasus kematian sadis Oddie Manus, ada apa dengan kerja saya ?” tegas saya mempertanyakan perlakuannya kepada saya. Disini keheranan saya. “Apalagi, saya tidak berselisih dengan bapak,” jelas saya kepadanya. Namun Gubernur membantah bahwa itu bukan ulahnya, melainkan ulah anak buahnya.

Pertemuan tanpa kesepakatan ini, ternyata berlanjut hingga keesokan harinya. Istri saya melaporkan kepengacara yang mendampinginya di TV One yang akhirnya ikut terlibat dalam rangkaian pertemuan damai tersebut. Bahkan sampai-sampai melibatkan sekertaris Jendral PGI.




Foto : htl Borobudur



Bab 6

Mafia Hukum Bawa (“Sandera”) Anak





Gagal melakukan upaya damai di Jakarta. Di Manado, tak sabar menunggu jawaban saya yang lagi butuh waktu istirahat setelah dipenjara, ternyata mereka mengincar ketiga anak-anak saya. Informasi ini saya ketahui, dari Jefry Tampomalu beberapa waktu kemudian. Menurutnya, Steven menyuruhnya untuk mencari tahu alamat kost, nomor hand phone anak saya yang kuliah di Manado. Rupanya, anak-anak saya dijadikan target operasi (TO).

Kemudian mereka membuntuti kegiatan anak saya dan berlanjutnya dengan upaya mendekati anak tertua saya : Risa Christie di Manado dengan berbagai cara. Tak cukup anak tertua saya jadi TO, mereka masih menelusuri keberadaan 2 adiknya yang tinggal bersama Oma dan Opa mereka di desa Boyong Atas.

Setelah memperoleh informasi keberadaan anak-anak saya, mereka kemudian mendekati dan melakukan upaya bujuk rayu membawa jalan-jalan ke Mall, hingga mereka disiasati dibawa (“sandera”) kerumah dinas Gubernur SH. Sarundajang. Disana, ketiga anak-anak saya dihadapkan kepada Gubernur.

Gubernur kemudian memburuk-buruk tentang papa mereka disertai ancaman antara lain, dengan menceritakan ayah mereka keras kepala. Dan pernyataan ancaman tersebut : Agar ayah mereka mau berdamai dengannya (Gubernur). “Kalau tidak akan terjadi sesuatu,” tandasnya. “Bukan Om loh yang lakukan tapi orang lain,” jelasnya lebih lanjut. Banyak lagi hal-hal buruk yang dipengaruhi Gubernur kepada anak-anak saya, namun belum saatnya diungkapkan.

Bukan cuman membawa (“sandera”) ketiga anak saya dirumah Gubernur, namun setelah itu, merekapun memaksa anak tertua saya : Risa Christie yang sedang kuliah dibawa (dijadikan “sandera”) ke Jakarta dan memaksanya agar dapat memaksa saya mau bertemu dengan Gubernur. Dimana adik keduanya Prasetyo diberi dana sebesar 2,5 juta rupiah sebagai bujuk rayu dan di Jakarta kakak mereka diberikan oleh Gubernur sebesar antara 10 juta rupiah sambil memberikan ultimatum ancaman, agar terjadi pertemuan dengan papanya. Mereka yang memaksa membawa anak saya : Steven Liow, Novel L dan turut dan atau sebagai intelektual dadernya SH. Sarundajang.

Di Jakarta, anak saya wanita dibawa ke Hotel Arya Duta, dari sana dia menelepon saya, bahwa dia telah berada di Jakarta di Hotel Arya Duta. Saya menjadi kaget dan berhati-hati, karena dalam cengkraman mereka, karena takut diapa-apain, karena saya sudah cukup tahu kejahatan dan kekejian mereka sebagaimana yang dilakukan kepada saya. Hal itu kemudian saya sampaikan ke ibunya, dan memintanya untuk ke Hotel Arya Duta. “Hati-hati mendekati mereka,” sambil mengingatkan istri saya tentang perilaku jahat mereka.

Dari Hotel Arya Duta, mereka meminta bertemu dengan saya, namun saya katakan ketemuannya di Lobi Sutan Raja. Saya berfikir dari sana, anak saya bisa langsung saya bawa kerumah. Anehnya, bukannya ketemuan, mereka pindah tinggal di Hotel Sutan Raja. Kami bukannya ketemuan untuk suatu pembicaraan, namun mengajak saya tinggal. Saya kembali kerumah dan melalui hand phone, meminta istri saya agar membawa anak kami kerumah. Pejabat ini (Steven Liow) dan kaki tangannya, malah ikut dan tidur dirumah saya yang sempit. Terus membujuk saya agar bisa ketemu dengan Gubernur. Karena begitu nekat, saya turuti saja kemauan mereka, agar bisa lepas dari rongrongan mereka.

Memang, sebelumnya mereka menggunakan mantan teman dekat saya, Herman Manua datang ke Jakarta membujuk saya bertemu dengan Gubernur, namun saya tolak. Kemudian beralih memanfaatkan anak-anak saya yang lugu dan tidak ada hubungan dan tidak tahu apa-apa.

Pertemuan kedua kali ini berlangsung di hotel Borobudur, dengan menjadikan anak wanita saya sebagai “sandera”, akhirnya dengan terpaksa saya harus melayani pertemuan dengan Gubernur di hotel Borobudur lt. 18 dan berakhir tanpa kesepakatan. Soalnya, dalam surat perjanjian yang mereka tawarkan agar saya tanda tangani, usul meminta agar mencantumkan dalam klausul perjanjian, alasan atau dasar kesalahan atau perseteruan apa yang menjadi pokok perdamaian antara saya dengan SH. Sarundajang, tidak disanggupi. Sehingga saya menolak tawaran damai mereka.

Modus perdamaian yang sama dengan kelompok Angkatan 66, antara SH. Sarundajang dengan Eksponen 66, ingin dilakukan kepada saya. Namun, perbedaan klausul inilah yang kemudian mementahkan keinginan SH. Sarundajang. Dan berakhir tanpa kesepakatan.

Dampak dari perbuatan Mafia Hukum yang diduga melibatkan Steven Liow, Novel dan SH. Sarundajang, kini membuat anak kedua sakit : Tekanan Mental dan 2 diantaranya sekolahnya harus terhenti : Berantakan, karena ancaman.


Dasar keadilan dan kebenaranlah yang menjadi landasan tekat perjuangan saya tanpa lelah dan gentar menghadapi berbagai ancaman, kekerasan penculikan penyekapan dan pemenjaraan sekalipun.


Foto : Hotel Borobudur, Hotel Arya Duta dan Hotel Sutan Raja.


Bab 7

Sulitnya Melapor Ke Polda Sulut







Atas kejadian yang menimpa kedua anak kami, pada tanggal kami sekeluarga melapor ke Mabes Polri. Disana diterima oleh salah seorang berpakaian preman yang tidak sempat saya ketahui namanya, kemudian dia menyarankan segera dilaporkan ke PPA Mabes POLRI.

Kami kemudian ke PPA, namun berdasarkan hasil pembicaraan kami disarankan melaporkan ke Polda Sulut, karena menurut pihak PPA sesuai dengan locus delictie. Sehingga harus dilaporkan ke Polda Sulawesi Utara.

Sambil mencari biaya, saya berusaha melapor ke Sulut. Di Sulut, kemudian saya melaporkan ke Polda Sulawesi Utara. Dan saya diarahkan ke Unit III Polda Sulut. Namun saya bertanya, mengapa pemeriksaan bukan dilakukan oleh PPA, namaun dikatakan sama saja.

Selama itu, belum juga dilakukan pemeriksaan. Sampai saya harus bertanya berkali-kali. Bahkan ketika kami menyerahkan ke LBH Manado, bukan jalannya lancar malah makin tersendat, LBH Manadio tak setiap ditanya, selalu menyatakan sibuk. Padahal, waktu minta surat kuasa dan berkas pendukung lainnya, cepatnya luar biasa.

Suatu waktu, setelah beberapa bulan kemudian dipanggil untuk BAP, namun yang terjadi pembuatan BAP rekayasa yang terjadi, sehingga terjadi pertikaian dengan penyidik. Sehingga kami harus melapor ke Propam, namun sampai saat ini tidak ada tindak lanjut sama sekali. Yah maklum rakyat kecil, hukum hanya untuk rakyat kecil !.

Setelah itu, tak berapa lama kemudian, dikeluarkan surat laporan perkembangan laporan yang tidak jelas alasan dan juntrungnya. Batapa duit begitu berkuasa. Sementara saya tanpa alasan yang jelas malah langsung dipenjarakan setelah diculik dan disekap. Ada apa dengan Polisi kita ?. Dibayar ?.


Scane koran BAP anak Risa




















Bab 8

Dihambat dan dipenjarakan Lagi






Sementara mengikuti dan menjalani semua proses hukum yang sedang berlangsung di Sulawesi Utara, sebagai wartawan saya tetap melakukan kegiatan kewartawanan saya dengan Media Online Jejakbulikts.com milik saya.

Sayangnya, berbagai kegiatan saya selalu saja dihambat dan dihalang-halangi. Namun begitu, saya tetap berkarya dan tegar menghadapi apa yang mereka lakukan kepada saya. Bahkan upaya pengeroyokan baik oleh preman maupun sekelompok wartawan yang diduga centeng, karena menolak tawaran berdamai dengan Gubernur yang difasilitasi wartawan tertentu, tidak membuat saya marah dan membalas kejahatan dengan kejahatan.

Semua bentuk kekerasan yang mereka lakukan kepada saya, tidak saya balas, melainkan upaya hukum sebagaimana diatur menurut tata cara perundang-undangan yang saya tempuh.

Cuman, karena diduga dilindungi orang kuat tertentu, semua laporan tidak ada yang ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian baik Polda Sulut maupun Poltabes Manado. Semuanya mandek dan tidak jelas juntrungannya.

Hingga tiba suatu waktu ketika saat meliput kegiatan demo, ketika chaos, malah saya yang sedang melakukan pengambilan gambar melalui handicam mini saya, walau sudah berupaya hati-hati dengan menyelamatkan diri kepinggiran daerah yang aman, justru dicari-cari dan ditangkap.

Saya kemudian dipenjarakan untuk kali ke-empat selama sehari. Saya bersama 23 orang yang berdemo, malam itu dilakukan pemeriksaan secara marathon oleh pihak penyidik Poltabes Manado.

Dari pengamatan dan penilaian saya ketika itu, kian kuat dugaan saya, ada yang tidak menyukai saya. Pihak Kepolisian lebih kepada kepentingan orang tertentu yang disukai atau kepentingan politik penguasa yang berkolusi untuk menjegal lawan politik pihak lain. Sehingga jelas sekali, polisi tidak dapat diandalkan untuk menjadi pihak yang netral.

Dari hasil pemeriksaan terhadap diri saya, tidak ditemukan apa yang menjadi garapan mereka untuk mengungkung saya, yang patut diduga sesuai pesanan pihak tertentu. Sehingga keesokan harinya, saya dikeluarkan dari penjara Poltabes Manado.

Ketidaksukaan orang tertentu kepada saya dari info yang saya peroleh, adalah adanya pengakuan beberapa pejabat yang sering mengeluh dan memohon agar jangan lama-lama berbincang dengannya bila kebetulan berpapapasan dengan saya. “Maaf pak hen, kita mo permisi dulu,” tandasnya berlalu tergesa-gesa seperti orang ketakutan atau kebetulan saya bertandang keruangannya, pejabat tersebut menyatakan : “Pak Hen jangan lama-lama, dinding bertelinga,” tandasnya. Semua ketakutan mereka saya mafum aja !.

Dari sini saya mengetahui bahwa hasil pertemuan dengan Gubernur Sarundajang di Hotel Botrobudur, bahwa semua bukan ulahnya melainkan bawahannya, adalah tidak benar dan diragukan kebenarannnya.









Bagian Empat ;

Mencari Kepastian Hukum







Merasa sudah dikriminalisasikan sedemikian jahat dan kejamnya, dengan pemenjaraan secara semena-mena atas kasus Rekayasa ke III dan IV, setelah beristirahat cukup, kembali saya ke Manado berjuang mencari kepastian hukum mempertanyakan kepada pihak Kejari Manado.

Namun jawabannya, masih dalam penanganan ditingkat Kejati Sulut. Dari Kejari Manado, saya lantas melakukan konfirmasi ke Kejati Sulut tentang kebenaran informasi yang disampaikan pihak Kejari Manado. Namun jawabannya ditolak, masih di Kejari Kota Manado.

Dalam perjuangan saya di Manado mencari keadilan dan kepastian hukum, tidaklah mudah. Dimana kelompok misterius, Mafia hukum dan kelompok profesional tertentu, ternyata terus memantau dan mengawasi gerak gerik saya.

Beberapa kali upaya pembunuhan atau kecelakaan berupa penabrakan dengan motor dan mobil dilakukan kepada saya. Disamping itu, pengancaman dan pengeroyokkan disertai tindakan kekerasan oleh preman dan segelintir wartawan anggota PWI cab. Sulut diduga suruhan orang tertentu juga saya alami. Dan seluruh peristiwa tersebut telah dilaporkan ke Polda Sulut, namun tak jua mendapat tanggapan. Ini menunjukkan telah terjadi konspirasi dan mereka dilindungi Polisi.

Namun saya tak gentar dan terus berjuang. Bolak balik saya menanyakan Kejari, Kejati Poltabes, Polda baik lisan maupun konfirmasi secara tertulis, tak juga ada jawaban yang jelas. Pun melalui surat, saya layangkan berkali-kali, tak juga ada kabar beritanya.

Saya juga telah mengagendakan untuk melaporkan anak saya yang dibawah tanpa sepengetahuan kami, ketiga anak saya yang dibawa dan diancam dirumah dinas Gubernur Sulut dibumi beringin, sambil mengumpulkan data terkait dengan perlakuan mereka terhadap anak-anak saya.

Sayangnya belum sempat saya laporkan anak kedua mengalami sakit tekanan mental yang disebabkan dampak dari perbuatan orang-orangnya SH. Sarundajang. Akhirnya memaksa saya harus kembali ke Jakarta.

Disamping membawa anak saya berobat, atas proses hukum yang terus diabaikan sehingga tidak jelas status hukum yang sedang saya hadapi di Manado, saya juga melaporkan keberbagai Lembaga Negara atas ketimpangan kasus yang saya hadapi di Sulawesi Utara. Tak terkecuali Jaksa Muda Pengawasan Kejaksaan Agung RI saya laporkan kasus rekayasa ketiga III, IV dan 4 kasus lainnya.

Tak tanggung-tanggung beberapa surat yang saya layangkan kebeberapa Lembaga Negara, terus saya lakukan berulangkali tanpa rasa bosan. Surat yang saya kirimkan, mencantumkan 6 kasus rekayasa yang dilakukan kepada saya.

Atas perjuangan saya yang tanpa kenal lelah, akhirnya sekitar bulan Juni 2010, saya dipanggil pihak Kejagung dan disampaikan oleh Bapak E. Setiawan kepada saya bahwa telah ditindaklanjuti ke Kejati Sulut.

Dari informasi yang saya terima, saya kemudian mengunjungi Sulut untuk memastikan kebenaran penyampaian pihak pengawasan Kejagung. Namun kembali saya menerima jawaban yang mengecewakan. Dikatakan belum ada.

Walau diperlakukan tidak adil, namun saya tetap bersabar menunggu hasil laporan saya tersebut. Hingga suatu waktu setelah selang lima (5) bulan menunggu, tiba-tiba saya ditelepon pihak pengawasan Kejati Sulut ibu Laura Rombot, SH. Agar segera datang ke Kejati Sulut untuk dikonfirmasi kebenaran laporan saya.

Setelah saya datang, ditanyakan dan dijelaskan tentang status 6 laporan saya. Kemudian disampaikan bersabar. Dan untuk kasus Rekayasa III pihak Kejari telah diberikan waktu penyelesaiannya selama 5 hari, agar segera dilimpahkan ke PN. Manado.

Sementara kasus Rekayasa IV, sudah P21 A. Dan untuk itu diminta mempertanyakan statusnya kepihak Poltabes Kota Manado, kapan dilakukan pelimpahannya ke Kejari Kota Manado.

Upaya mencari kepastian hukum ini berjalan sekitar 1 tahun 8 bulan. Dan janji 5 hari akan segera dilimpahkan, ternyata molor hingga 2 minggu. Diduga, pada waktu molor itulah terjadi manipulasi fakta hukum, hingga terjadi perubahan pasal dari 310 dan 315 KUHP, menjadi lain pasal 335 dan 310 KUHP.


Foto: Di Kejagung & Kejati









Bab 1

Dokumen Penghianatan





Setelah divonis bebas murni (vrijsprak) dari tuduhan kasus rekayasa kedua (II), saya dengan media Online Jejakbulikts.com kemudian menyelenggarakan kegiatan diskusi dan penyerahan Award Peduli HAM 2008 dirumah kopi Bolevard Manado, sambil menunggu adanya upaya Kasasi dari pihak Jaksa Penuntut Umum Kejari Manado.

Demikian pula setelah dilepas dari penahanan atas kasus Rekayasa III, perjuangan saya tak berhenti. Bersama anggota TPF BULIKT’S lainnya yang tersisa dan masih setia, terus berupaya menemukan jawaban hubungan penculikan, penyekapan dan pemenjaraan saya terkait misteri mengendus penculikan dan pembunuhan DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc.

Rupanya secara diam-diam pula, aktivitas tim yang terus melakukan investigasi secara sembunyi-sembunyi dipantau dan dikuntit kelompok profesional tertentu yang patut diduga dibayar. Mereka inilah yang diduga terus melakukan tekanan, ancaman dan teror pada tim kami.

Tekanan jaringan mafia konspirasi tersebut, tidak membuat saya takut dan mundur, justru membuat tekat saya makin kuat untuk mencari jawaban atas misteri rekayasa ini. Maka nurani saya terus mendorong upaya investigasi dilakukan seksama dan lebih berhati-hati.

Dalam perkembangan penyelidikan kami, dari salah seorang anggota tim, memaparkan hasil temuannya berupa beberapa dokumen terkait kegiatan seseorang dengan organisasi terlarang beberapa tahun silam yang melakukan penghianatan kepada Negara. Dimana menurutnya, ada petunjuk dokumen tersebut berhubungan dengan penculikan dan pembunuhan DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc, yang hubungan ketakutannya dengan hasil temuan tim kami, “sehingga ketua diculik disekap dan dipenjarakan“, tandas beberapa teman menduga kriminalisasi yang dilakukan kepada ketua.

Dari petunjuk dokumen tersebut, mengerucut kepada kegiatan kelompok 9 anggota eksponen 66 yang melahirkan dokumen penolakan tertanggal 5 Agustus 2005 yang menjadi dasar dari dokumen temuan anggota tim kami. Petunjuk tersebut, ternyata sebuah “Dokumen Penolakan” yang memuat pernyataan penolakan terhadap SH. Sarundajang sebagai Gubernur.

Petunjuk dokumen tersebut, menggiring tim terus mengendus dan menemukan lagi “Dokumen Perdamaian” yang merupakan klimaks perseteruan antara kelompok “sembilan“ Eksponen Angkatan 66 dengan SH. Sarundajang, berupa : PERDAMAIAN.

Pengakuan sumber kami, menyatakan PERDAMAIAN akhirnya bisa terjadi, atas lobi-lobi perdamaian yang difasilitasi pengurus FKPPI, Nyonyo Supit (Ketua, Alm), DR Ir. Oddie Manus, MSc (Wkl ketua, Alm), Viktor Mailangkay (sekertaris) dan Ketua DPRD Prov. Sulut Syahrial Damopolii.

Namun, kepada TPF BULIKT’S, Syahrial yang mantan Ketua DPRD Sulut berkelit bila dia terlibat dalam proses perdamaian tersebut. Sebab menurut Yal yang terjerat kasus Korupsi MBH, dia tidak mengetahui dan terlibat dengan kasus penculikan dan pembunuhan DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc.

Proses perdamaian berlangsung dikediaman Edwin Kawilarang di Winangun Sulut pada tgl 20 September 2005, antara Gubernur SH. Sarundajang dengan kelompok “sembilan” angkatan Eksponen 66 yang hanya diterangi lampu Lilin. Kompensasi perdamaian ketika itu, mereka digelontorkan 5 juta rupiah perorang.

Ketika Oddie hilang, dibulan Desember, kelompok “sembilan” angkatan Eksponen 66 ini, kembali menerima kucuran dana tambahan 5 juta perorang. Entah bagaimana hubungan sebab musababnya, diduga, pembunuhan DR. Ir. Oddie Manus, MSc, terkait dengan Dokumen misterius tersebut.

Pasalnya, kemudian beberapa orang dari kelompok “sembilan” kemudian sempat diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka. Namun bagaimana kemudian senyap, informasi yang masih belum jelas menyatakan, tidak ditemukan petunjuk ataupun bukti yang cukup terkait pembunuhan dengan kelompok “sembilan”.

Namun bagaimana bisa ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian berbuntut dianulir ?. Apakah skenario ini hanya dijadikan alasan untuk dapat mengendalikan kelompok “sembilan” angkatan 66 agar tak membongkar “dokumen misterius” yang menjadi inti perseteruan dengan SH. Sarundajang ?. Wallahualam.

Dari dua ( 2 ) dokumen misterius tersebut, ditunjukkan pula, copian beberapa dokumen yang telah beredar sejak tahun 1989 atas aksi demo oleh para pedagang Bitung. Dokumen tersebut antara lain : Dokumen Sospol, Dokumen Laksusda, dokumen Koramil dan beberapa dokumen lainnya yang diduga terkait dengan SH. Sarundajang. Sehingga memberikan petunjuk kuat adanya hubungan benang merah dengan penculikan dan pembunuhan DR. Oddie Manus, MSc.

Memang, telah ditemukan pembunuh DR. Ir. Oddie Manus, Mc, yaitu empat orang yang telah displit sesuai dakwaan yang dibacakan pada sidang Martinus di PN. Tondano.

Namun anehnya baru seorang : Martinus Kaparang (dukun) yang dilimpahkan kepersidangan PN. Tondano, dan telah diputus 6 tahun penjara yang ditingkat Kasasi dikuatkan pihak Mahkamah Agung RI.

Putusan terhadap Martinus Kaparang sebagai pembunuh Oddie Manus, diragukan banyak pihak, karena tidak ada bukti yang cukup terungkap dipersidangan. Bahkan ditengarai sengaja didesign Martinus sebagai tumbal. Sementara keluarga Oddie Manus : Ibu Syane, Agus dan istrinya yang setia mengikuti persidangan, ketika menjadi saksi di PN. Tondano, menyatakan : Bukan Martinus pembunuh saudaranya Oddie Manus.

Tak heran Peradilan Sesat ini, patut diperiksa dan dilakukan pengujian ulang, karena telah mengorbankan orang tidak bersalah. Dan yang paling mengundang pertanyaan banyak pihak, adalah kasus besar ini, selama persidangan hampir tak diliput media local di Sulut. Sehingga diduga, ada oknum wartawan di Sulut yang dapat mengendalikan media di Sulut terkait dengan kasus ini untuk dibungkam. Siapa yang bisa membungkam media ? Tentu……….! Adalah ………! !


Foto : 1. Ibu Syane

2. Martinus


F oto : Ketua Eksponen 66


Bab 2

Respon Kejagung & Kejati





Setelah 5 bulan menunggu hasil konfirmasi atas rekomendasi Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejagung RI, tepatnya tanggal 1 November 2010 saya baru memperoleh respon dari pihak pengawasan Kejati Sulut, untuk dilakukan pemeriksaan.

Namun nanti tanggal 9 November 2010, baru dilakukan pemeriksaan, setelah menunggu 1 tahun 8 bulan P21 di Kejari Manado. Pemeriksaan atas laporan saya ke-Kejagung tersebut, dilakukan oleh Ibu Laura Rombot, SH.

Proses pemeriksaan di Kejati Sulut bidang pengawasan tersebut berlangsung sekitar 2 jam. Dimana direchek kembali atas 6 laporan rekayasa tindak pidana yang dikenakan kepada saya berdasarkan laporan yang saya kirim.

Dalam pemeriksaan tersebut ditanyakan kebenaran surat laporan tersebut, termasuk tanda tangan yang tertera dalam surat tersebut apakah benar merupakan laporan dan tanda tangan dari saya.

Saya kemudian menjelaskan benar. Selanjutnya ditanyakan pula, apa maksud dan motivasi surat laporan tersebut dikirimkan ke Janwas. Penjelasan saya, bahwa semata untuk menuntut kepastian hukum.

Kemudian diterangkan, bahwa dari 6 laporan rekayasa tersebut, yang ada ditangan Kejari Manado, hanya 3 kasus. 1 sedang proses PK, 1 sedang diupayakan dilimpahkan yaitu pencemaran nama baik Gubernur Sulut, dan kita telah memberikan 5 hari batas waktu.

Namun Rielke Palar, SH jaksa yang menangani kasus tersebut, meminta waktu 1 minggu, karena Korban belum diperiksa, tandas Laura Rombot, SH. Sementara kasus yang lainnya sudah P21A, apalah, saya tidak begitu dengar.

Setelah penjelasan tersebut, saya kemudian diminta mengisi kertas berita acara pemeriksaan yang masih tertulis tangan. Dimana oleh ibu Laura Rombot, SH, akan dipanggil lagi setelah BAPnya diketik.

Namun BAP yang telah saya jawab dengan tulisan tangan, belum ditindak lanjuti penandatanganannya karena masih menunggu pengetikan dan informasi lebih lanjut dari ibu Laura Rombot, SH. Dan sampai buku revisi I kembali diterbitkan selang hampir 2 tahun ini, belum ada informasi tindak lanjut BAP oleh pihak pengawas Kejati Sulawesi Utara.

Foto : 1 kejati sulut















Bab 3

Pelimpahan Berkas Rekayasa III



Setelah P21 kasus pencemaran nama baik Gubernur SH. Sarundajang yang tertahan selama 1 tahun 8 bulan di Kejari Manado saya perjuangkan selama ini, untuk memperoleh kepastian hukum, akhirnya dilimpahkan ke PN. Manado.

Pelimpahan kasus P21 yang sempat tertahan di Kejari Manado tersebut, baru dilimpahkan pada tanggal 22 November 2010. Atau molor sekitar 2 minggu dari penetapan dan janji yang diberikan Jaksa Pengawasan Kejati Sulut Laura Rombot, SH.

Sebelumnya sekitar tanggal 9 November 2010, jaksa pengawas Kejati Sulut, menyatakan paling lama 1 minggu kasus tersebut sudah dilimpahkan, namun sebagaimana informasinya bahwa saksi Korban baru akan diperiksa. Sehingga mungkin karena saksi korban baru diperiksa, bisa molor selama 2 minggu.

Tepatnya tanggal 22 November 2010 kasus tersebut, baru dilimpahkan ke PN. Manado oleh penuntut umum Rilke Djenri Palar, SH dari Kejaksaan Negeri Manado, dengan No. B. 335/R.1.10/Epp.1/11/2010, atas nama Terdakwa Ir. Henry John C. Peuru, Reg PDM-122/R.1.10/Ep.2/11/2010.

Penetapan oleh Ketua Pengadilan Negeri Manado tanggal 22 November 2010 tersebut, dengan nomor : 451/Pid.B/2010/PN.Mdo, demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tentang penunjukkan Majelis Hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara Terdakwa Ir. Henry John C. Peuru, tertanggal 23 November 2010.

Penetapan mengenai hari sidang tersebut, kemudian ditentukan hari sidang Senin tanggal 29 November 2010, dan memerintahkan Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Manado untuk menghadapkan Terdakwa, berikut saksi-saksi dengan membawa serta barang bukti yang berkaitan dengan perkara ini.

Majelis hakim yang akan menangani kasus pencemaran nama baik Gubernur SH. Sarundajang ini, diketuai Hakim Ketua Majelis Armindo Pardede, SH.,MAP didampingi 2 anggota masing-masing Efran Basuning, SH.,MH dan Wilem Rompies, SH.





























Bagian Lima ;

Dakwaan dalam Settingan





Bahwa proses penyusunan dakwaan oleh penuntut umum, harus melalui mekanisme penelitian jaksa peneliti sesuai pasal 110 KUHAP. Setelah melalui mekanisme tersebut, maka surat dakwaan yang disusun tidak boleh menyimpang dari BAP (Darwan Prints).

Maka tibalah hari yang saya nanti-nantikan proses peradilan akan segera dilangsungkan. Dimana dalam mencari keadilan, sebagai suatu kebutuhan pokok rohaniah setiap orang, adalah juga merupakan perekat hubungan sosial dalam bernegara, segera terealisir.

Sehingga Pengadilan sebagai tiang utama dalam penegakkan hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan integritas bangsa.

Adalah di Pengadilan Negeri Manado pada hari Senin tanggal 29 November 2010, kemudian dibacakanlah surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum Rielke Djenri Palar, SH dan Claudia Lakoy, SH.

Dimana pada proses pembacaan dakwaan, saya sebagai terdakwa didampingi pengacara dari LBH Manado Marcy Umboh, SH dan Neny Rachmawati, SH. Sementara hakim yang tampil lengkap masing-masing Hakim Ketua Armindo Pardede, SH., MAP, didampingi 2 hakim anggota Efran Basuning, SH,.MH.

Sidang yang dihadiri sejumlah masyarakat yang penasaran ingin mengetahui kasus rekayasa yang cukup menghebohkan Sulut tersebut, juga dipenuhi puluhan preman berpakaian hitam-hitam yang dipimpin langsung pengacara yang juga berpakaian hitam-hitam Juman Johanes Budiman, SH yang diduga melakukan penyuapan terhadap aparat negara yang telah dilaporkan FAMI ke KPK dan ketua bidang Hukum dan HAM PWI Sulut Boy Kusoy, yang telah menjadi tersangka penganiayaan terhadap saya, namun tidak ditahan dan belum juga dilimpahkan samapi buku ini naik cetak karena diduga dilindungi orang kuat tertentu sehingga aparat kepolisian Poltabes Manado tidak berkutik.

Saat mendengar pembacaan surat dakwaan yang telah dimanipulasi dan menyimpang dari BAP, saya menjadi terkejut. Kok bisa muncul pasal sesat 335 ayat 1 ke-1 KUHP yang tidak pernah diperiksa atau didengar keterangan saya sebagaimana tertuang pada BAP, maupun melalui mekanisme petunjuk yang sepatutnya dikeluarkan Penuntut Umum untuk pemeriksaan tambahan sebagaimana diatur sesuai pasal 110 KUHP.

Surat dakwaan tertanggal 22 November 2010 yang ditanda tangani Jaksa Penuntut Umum Rielke Djenri Palar, SH dengan nomor Reg. Perk. : PDM-122/M.Nado/Ep.1/11/2010, tersebut, mencantumkan perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana pasal 335 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Demikian juga pada dakwaan kedua, perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Keganjilan dari surat dakwaan yang jelas telah menyalahi aturan dengan menyalahgunakan jabatan dan kekuasaannya, teringat akan peristiwa yang pernah dipraktekkan Jaksa Penuntut Umum Cyrus Sinaga, yang telah mencederai fakta hukum dengan menciptakan dakwaan sesat atas kasus Gayus Tambunan yang merubah pasal.

Kriminalisasi yang diapresiasikan Jaksa Penuntut Umum dengan melakukan penyesatan dakwaan untuk menjerat saya terdakwa secara lain atau secara tidak benar dan tidak sesuai hasil pemeriksaan penyidik, menjadi fenomena menarik dari persidangan awal yang sedang saya jalani.

Padahal sesuai peraturan Jaksa Agung RI No : Per-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Etik Perilaku Jaksa Bab. III pasal 4, bahwa dalam melaksanakan tugas profesi Jaksa, dilarang : a. menggunakan jabatan dan/ atau pihak lain; b. Merekayasa Fakta-fakata hukum dalam penanganan perkara, f. Bertindak diskriminatif dalam bentuk apapun, g. Membentuk opini publik yang dapat merugikan kepentingan penegakkan hukum.

Usai pembacaan dakwaan majelis hakim yang dipimpin Hakim Ketua Armindo Pardede, SH. MAP, didampingi hakim anggota Efran Basuning, SH, MH dan Wilem Rompies, SH, didepan persidangan saya menyempatkan meminta copian turunan berkas perkara kepada majelis hakim, untuk kepentingan sidang, dan mempelajari apakah ada settingan.

Selanjutnya, melalui panitera pengganti, Joppy Singal, SMh, copian berkas perkara diberikannya kepada saya. Kami berdua yang pergi mengcopi disamping kantor Pengadilan Manado.

Mempelajari seluruh berkas perkara yang saya terima melalui panitera pengganti yang diberikan Majelis Hakim yang saya minta dipersidangan, tidak satupun BAP, mulai dari Korban, dan 3 orang saksi lainnya yang diperiksa atau didengar keterangannya terkait pasal 335 tersebut.

Munculnya pasal sesat tersebut membuat saya penasaran. Apalagi, selama ini tidak ada pemeriksaan tambahan sebagaimana diatur sesuai pasal 110 KUHAP dalam proses penyidikan yang dikaitkan dengan essensi pasal tersebut atau didengar keterangan sebagai tersangka terkait pasal yang didakwakan tersebut.

Foto : 1. Scane BAP Sumpah

Bab 1

RESUME Pintu Manipulasi



Berdasarkan Bab 1 pasal 1 ayat (2) ketentuan umum, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna ditemukan tersangkanya.

Namun adalah aneh, menurut berkas perkara yang diberikan majelis hakim melalui panitera pengganti Joppy Singal, SMh, ditemukan beberapa kejanggalan munculnya pasal manipulasi 335 KUHP pada kesimpulan/RESUME penyidik. Kok bisa terjadi kesimpulan lain dari BAP ?. Jelas ini, sebagai suatu manipulasi fakta hukum, yang tidak sesuai sebagaimana telah dibuatkan berita acaranya (BAP) berdasarkan penyidikan (pasal 75 KUHAP).

Resume inipun ditandatangani penyidik dengan menggunakan cap bulat lonjong yang tidak biasanya dipergunakan. Bahkan ada dugaan tandatangan HR. WIBOWO mantan Kasatreskrim Poltabes Manado tersebut, palsu. Demikian pula sumber saya menyatakan, cap tersebut hanya dipergunakan untuk kebutuhan secara internal Polisi dan bukan untuk kebutuhan eksternal, sehingga patut diduga RESUME tersebut RESUME REKAYASA yang lahir dari konspirasi dengan Mafia Hukum.

Dari RESUME ini, mulai terbaca adanya settingan sebagai pintu masuk penyesatan ke Surat Dakwaan yang diduga terus kedesign Peradilan Sesat. Penelusuran berkas terus saya pelajari secara detil, mulai ditemukan satu persatu adanya keganjilan berkas perkara, terlihat dari surat-surat yang berlepotan tip eks.

Seperti laporan polisi, tertanggal 1 Maret 2008 ditip eks menjadi 1 April 2008. Surat Perintah Penyidikan, No. Pol. : SP. Sidik/ 388/ I/ 2008/ Reskrim berkode bulan I, anehnya tertanggal 01 April 2008.

Demikian pula, BAP, Herman Meiky Koessoy, ST, MSi tertanggal 18 April 2008, Ir. Xandramaya Lalu, tertanggal 22 bulan April 2008, dan Drs. Oscar Wagiu pada tanggal 22 bulan April 2008, begitu ganjil dengan LP Polisi : LP/ 541/ III/ 2008/ SPK/ Poltabes Manado, tertanggal 01 April yang ditip eks tahun 2008, pun ganjil terlihat dari kode bulan III.

Bahwa dari turunan berkas copian lebih aneh lagi, Korban SH. Sarundajang, di BAP pada hari Sabtu tanggal 1 April 2008, kedua (2) jam 14.00 Wita, sesudah pelapor Boy Watuseke, SH di BAP pertama jam 12.00 Wita.

Dan dari semua berkas yang saya pelajari dimana banyak memunculkan keganjilan adanya misteri rekayasa sebagai telah terjadi manipulasi berkas perkara. Lebih misterius lagi, adalah adanya berkas Berita Acara Pengambilan Sumpah Janji yang dapat disimpulkan telah direncanakan atau didesign settingan !, untuk tidak mengikuti sidang dan atau merekayasa sidang.

Apalagi sesuai pengakuan pengawas Kejati Sulut, Ibu Laura Rombot, SH, Korban baru diperiksa beberapa waktu lalu, saat saya menjalani pemerikaan di Kejaksaan Tinggi pada tgl 9 November 2010. Indikasi settingan makin menguat.

Bahwa sesuai RESUME penyidik Poltabes, dijelaskan tidak dilakukan penangkapan dan tidak dilakukan penahanan. Bukti sesuai keterangan Mabes Polri, sebagaimana laporan Poltabes Manado, terkait dengan kasus ini.

Terdakwa ditangkap dan ditahan dua (2) bulan dalam Rutan Poltabes Manado, Surat Penangguhan Penahanan, No. Pol. : Sp. Han/ 40.a/ IV/ 2009/ Reskrim), yang ditulis berdasarkan permintaan tersangka. Padahal tidak ada permintaan tersangka.

Bahwa RESUME, penyidik Polisi telah terjadi secara lain, dimana hasil semua BAP korban, saksi maupun terdakwa lewat penyidikan pasal 310 dan 315, berubah menjadi lain Pasal sesat 335 dan 310. Atau telah terjadi manipulasi fakta hukum, sebagai haram hukumnya dengan melahirkan RESUME SESAT.

Kuat dugaan proses manipulasi fakta hukum dilakukan saat waktu molor selama 2 minggu yang diberikan pada Jaksa Penuntut Umum Rielke Djenry Palar, SH, kemudian pada kesempatan itu dilakukan rekayasa ditingkat penyidik Polisi, ditahun 2010.

Bahkan dari resume tersebut, diduga merupakan tanda tangan palsu HR. Wibowo. Hal tersebut dicermati dari perbedaan bentuk tanda tangan antara surat lainnya dengan tanda tangan pada Resume. Fakta ini diduga bisa terjadi karena HR. Wibowo telah dipindahtugaskan ke daerah Sumatera.

Foto : Scane Resume dan tanda tangan palsu




F oto : Scane Resume dan tanda tangan palsu



Bab 2

Manipulasi Penuntut Umum




Setelah kasus REKAYASA III ini saya laporkan ke Janwas Kejari RI, akhirnya saya dipanggil oleh Ibu Laura Rombot, SH via hand phone 08124403832, bagian Pengawas Kejati Sulut pada tgl 1 November 2010. Pihak pengawasan Kejati Sulut, yang melakukan pemeriksaan langsung dilakukan oleh Ibu Laura Rombot, SH.

Bahwa Penuntut Umum Kejari Manado yang menangani sebelumnya adalah Stenly Bukara, SH yang sebelumnya pernah terjerat Narkoba, dan kemudian beralih penanganannya ke Rielke Palar, SH dan Claudia Lakoy, SH.

Sebagaimana ketentuan dan kepatutan azas hukum, sesuai kode etik Kejaksaan, adalah tidak dibenarkan mengapresiasikan hukuman kepada orang yang tidak bersalah. Apalagi, kemudian ada motivasi “pesanan” hingga melakukan manipulasi dakwaan untuk menjerat seseorang secara tidak patut menurut hukum dengan melakukan manipulasi fakta hukum, tidak sesuai hasil penyidikan yang dilakukan ditingkat kepolisian atau terjadi secara lain dari BAP yang sebenarnya.

Indikator pasal sesat dari RESUME penyidik ini, diduga lahir dari konspirasi untuk dijadikan sebagai pintu masuk rekayasa Surat Dakwaan dengan pasal manipulatif 335 KUHP yang tidak sesuai hasil penyidikan Polisi (BAP). Sehingga patut diduga konspirasi ini, merupakan settingan lanjutan dari petunjuk pembuatan sumpah janji saksi korban SH. Sarundajang ditingkat penyidik untuk memenuhi kepentingan dan pesanan tertentu sesuai transaksi ala penuntut umum Cyrus Sinaga, SH.

Bahwa sesuai hasil BAP penyidik terhadap Korban, Saksi-saksi maupun Terdakwa telah diperiksa dan didengar keterangannya, adalah pasal 310 dan 315. Lantas mengapa terjadi perubahan tidak sesuai fakta hukum Pasal 335 KUHP ?. Jelas sekali telah terjadi penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan hanya untuk kepentingan pemesan : Mafia Hukum atau untuk orang tertentu.

Berikut berkas perkara yang dilimpahkan penyidik ke PN. Manado :

  1. Penetapan Nomor : 451/Pid.B/2010/PN.Mdo tertanggal 23 November 2010.

  2. Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa bernomor : B-355/R.1.10/Ep.1/11/2010.

  3. Berkas perkara Reg. No. : BP/144/IV/2008/Reskrim, tgl 26 April 2008 yang dibuat oleh penyidik atas sumpah jabatan dalam perkara terdakwa : Ir. Henry John Ch. Peuru.

  4. Penuntut Umum berpendapat, dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan dengan dakwaan telah melakukan tindak pidana dalam dakwaan Kesatu Pasal 335 ayat (1) Ke-1e KUHPidana atau dakwaan Kedua Pasal 310 KUHPidana.

Surat pelimpahan perkara acara pemeriksaan biasa tersebut, ditandatangani oleh Kepala Seksi Tindak Pidana Umum selaku penuntut umum An. Kepala Kejaksaan Negeri Manado J. Panannangan, SH Jaksa Muda NIP. 19741129 200003 1 001.

Dari novum baru ini, perlu dicari atau dilakukan penyelidikan dan penyidikan terkait dengan adanya manipulasi atau rekayasa fakta hukum yang tidak sesuai dengan hasil penyidikan, apakah dilakukan oknum perseorangan atau sekelompok orang yang berkonspirasi hingga lahirnya dakwaan dengan pasal manipulatif.


Foto : 1. Scane surat dakwaan

Bagian Enam ;

Membagi Tugas Eksepsi



Membaca dan mempelajari Surat Dakwaan kasus Rekayasa III yang telah dilahirkan dengan tudingan manipulatif atau telah terjadi secara lain yang tidak sesuai pemeriksaan penyidik pada 2 tahun yang lampau, saya sudah menduga settingan ini akan terus berlanjut.

Manipulasi pasal 335 KUHP yang didakwakan kepada saya sesuai azas hukum, tidak sepatutnya dilahirkan. Ini merupakan manipulasi fakta hukum sebagai haram hukumnya, yang telah menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan, baik oleh oknum penyidik Polisi maupun Jaksa Penuntut Umum.

Disini makin terungkap, adanya rancangan besar dan luas untuk menghindari tipuan busuk delik aduan yang telah daluwarsa dimanipulasi fakta hukumnya kearah pasal yang tidak sesuai pemeriksaan penyidik.

Sehingga saran sahabat-sahabat, harus terus awas setiap kemungkinan dan tetap cermat mengikuti proses pemeriksaan dipersidangan dan harus diungkapkan pada sidang pembacaan eksepsi.

Secara tehnis, saya membagi tugas dengan mempercayakan pendekatan hukumnya kepada pihak pengacara LBH Manado, sementara saya menyentil kronologisnya. Walau memang saya masih meragukan LBH Manado, mengingat saya telah dihianati oleh pengacara-pengacara sebelumnya, sehingga rana hukum tetap saya sentil.

Saya berharap mereka (pihak LBH) dapat mempersiapkan tehnis sanggahan atau perlawanan hukum secara serius dan maksimal, atas surat dakwaan yang fakta hukumnya telah dimanipulasi. Apalagi kelihatannya sudah dimuati maksud tertentu.

Disamping menyentil kronologisnya, saya juga menyorot pasal manipulasi dan misteri rekayasa dibalik administrasi berkas perkara dan BAP yang acakan penuh perubahan dengan tip eks. Dimana dari petunjuk ini, Penuntut Umum telah menyusun Surat Dakwaan tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap dari fondasi hukum manipulatif. Bahkan yang paling saya soroti lahirnya Surat Dakwaan dengan pasal delik aduan yang telah daluwarsa, sehingga harus batal demi hukum.

Sekaligus menegaskan dengan permintaan agar tidak terjadi skenario adegan dagelan hukum untuk menghentikan proses pemeriksaan sidang, dan meminta agar sidang tetap dilanjutkan.






















Bab 1

Eksepsi & Misteri Mbalelo





Memasuki agenda pembacaan eksepsi sebagai suatu syarat dalam proses persidangan, untuk menampik dakwaan Penuntut Umum, yang pembacaannya Senin, 6 Desember 2010. Pertama dibacakan oleh saya terdakwa berupa kronologis rentetan rekayasa yang selalu mempertanyakan ada apa dengan S.H. Sarundajang. Bahkan adanya tindakan SH. Sarundajang yang membawa (“sandera”) anak-anak saya kerumahnya, berulang-ulang saya pertanyakan.

Demikian pula dalam eksepsi saya, yang menyoroti berkas perkara yang acakan dan penuh dengan tipos eks. Termasuk menyusupnya pasal sesat 335 KUHP dalam surat dakwaan sebagai suatu manipulasi fakta hukum.

Sementara pengacara dari LBH Manado, saya minta menangani essensi tehnisnya terkait Surat Dakwaan Sesat jaksa penuntut umum. Ternyata pendekatannya setengah hati, lebih kepada Daluwarsanya Delik Aduan atas Surat Dakwaan yang mengenakan (pasal 310 KUHP) dan 335 ayat (1) ke-1 KUHP.

Tidak begitu getol mengkritisi dan memprotes lahirnya atau munculnya pasal sesat 335 ayat (1) ke-1 KUHP. Sepatutnya, lebih disoroti soal penyimpangan yang membuat surat dakwaan menjadi tidak jelas dan kabur oleh pengacara LBH Manado. Nampaknya ada yang kena !. Namun saya tetap awas dan coba bersabar, sambil terus memantau dan mengikuti gerak geriknya.

Pentingnya konteks kronologis ini harus saya ungkapkan dipersidangan, karena penderitaan yang kami alami sekeluarga, sudah melewati batas rasa keadilan dan kemanusiaan seseorang yang melakukan cengkraman sadis dan kejam.

Apalagi begitu banyak yang janggal dan dimanipulasi, mulai dari administrasi dan RESUME yang dilencengkan ditingkat penyidik, hingga menembus batas kepatutan melahirkan dakwaan yang melenceng atau telah terjadi secara lain dari BAP ditingkat Penuntut Umum.

Eksepsi yang mengungkapkan bagaimana kekejaman Mafia Hukum bermain dibalik scenario pembungkaman kepada saya, erat kaitannya dengan kerja saya dengan TPF BULIKT’S mengendus kasus penculikan dan pembunuhan DR. Ir. Oddie Manus, MSc.

Menjadi terkaget-kaget dengan rentetan rekayasa serta upaya damai yang dilakukan orang-orang yang mengatasnamakan SH. Sarundajang kepada saya makin membuat saya sadar bahwa dalang semua kekejaman yang saya alami dilakukan oleh orang tertentu yang sangat berkuasa.

Lantas bagaimana kemudian berbagai tawaran damai yang dilakukannya kepada saya dapat diterima, bila kami tidak pernah bertikai, apalagi setelah diculik dan disekap. Itulah sebabnya dalam eksespsi saya lontarkan secara berani dan gamblang, dengan secar berulang-ulang selalu mempertanyakan ada apa dengan Sarundajang. Mengapa Sarundajang gerah kepada saya ?.

Keluarga saya benar-benar dibawah cengkramannya, bahwa pada eksespsi saya tersebut, saya meminta dengan sangat agar proses pemeriksaan dapat dilanjutkan, sehingga ditemukan kebenaran materil atas tudingan rekayasa yang dilakukan Mafia Hukum Sulawesi Utara.

Foto : pembacaan eksepsi





Bab 2

Duplik Jaksa





Seminggu kemudian, masuk pada agenda mendengarkan tangkisan penuntut umum Kejari Manado yang menghadirkan Rielke Palar, SH dan Claudia Lakoy, SH dengan membacakan duplik mereka.

Bahwa essensi tangkisan mereka, tak menyentuh substansi materi dalam eksepsi saya maupun pihak LBH Manado atas lahirnya pasal sesat sebagai manipulasi fakta hukum atas dakwaan yang kabur dan tidak jelas. Namun mereka tetap bersikukuh yakin tentang surat dakwaan yang menurut uraian PU sudah sesuai.

Sidang yang tak berlangsung lama tersebut, cukup dipadati pengunjung serta puluhan preman yang begitu setia menunggui proses persidangan yang dimotori oleh tim pemenangan SHS ketika menghadapi Pemilukada.

Sementara saya didampingi oleh segelintir sahabat-sahabat dekat saya termasuk yang terus memberikan support atas perjuangan saya mencari dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran di PN. Manado.

Sahabat-sahabat saya yang walau hanya segelintir tersebut terus mendorong untuk terus bertekat membuka aib dan kebobrokan yang terjadi dari rekayasa para Mafia Hukum Sulut, yang saat itu juga mulai tercium adanya permainan Makelar Kasus.

Sumber yang sempat menyebutkan adanya pertemuan rahasia antara orang-orang yang berkompeten dengan persidangan tersebut, telah melakukan pertemuan-pertemuan tersendiri, untuk melakukan penyiasatan proses persidangan.

Namun selentingan informasi yang masih berbau issue tersebut, belum diperoleh secara pasti, bahwa akan terjadi rekayasa dan manipulasi persidangan yang akan diarahkan atau disetting berdasarkan permintaan pemesan.

Mereka hanya meyakinkan dan mengingatkan kepada saya agar waspada dan cermat, bahwa cobalah lihat nanti akan ada intrik dan permainan yang akan terjadi. Bahkan bukan tidak mungkin yang dianggap sahabat adalah lawanmu juga.





















Bab 3

Putusan Sela




Tepatnya Rabu, tanggal 22 Desember 2010, sesuai agenda yang ditetapkan majelis hakim, sidang pembacaan putusan sela berlangsung dengan dihadiri mayarakat luas dan puluhan preman berpakaian hitam-hitam yang tentunya tidak ketinggalan.

Sama dengan hari-hari sebelumnya, sidang berlangsung cukup menegangkan, karena kehadiran serombongan preman berpakaian hitam-hitam yang didominasi dari Teling Atas, tetap memenuhi ruang sidang. Apalagi sebelumnya sempat dibarengi suara-suara riuh ala supporter.

Akhirnya memasuki prosesi persidangan yang diketuai Armindo Pardede, SH, MAP yang didampingi 2 orang hakim anggota, putusan sela dibacakan dengan keputusan sidang tetap dilanjutkan.

Saya sempat khawatir dengan kemungkinan sidang dihentikan, karena apa yang saya perjuangkan untuk memperoleh semua jawaban dari misteri rekayasa tindak pidana yang saya duga didesign Mafia Hukum tertentu, bakal pupus.

Karenanya, saya sangat berharap semua misteri akan dapat ditemukan dan terbuka pada proses pemeriksaan sidang selanjutnya, yang mengagendakan pemeriksaan Korban sebagai saksi untuk diperiksa pertama.

Untuk menghadapi sidang pemeriksaan korban SH. Sarundajang, saya telah mempersiapkan sekitar hampir 50 puluh pertanyaan, terkait dengan kasus yang saya hadapi maupun petunjuk terkait dengan kasus lainnya.

Bagaimanapun, novum yang saya harapkan akan terungkap dipersidangan dengan serangkaian hasil investigasi tim kami sebelumnya, bisa terjawab pada proses persidangan pekan depan.

Usai sidang ditutup, saya juga meminta agar pengamanan sedikit diperketat mengingat kondisi persidangan kelihatan tidak kondusif. Tanpa mengecilkan atau membatasi sidang yang memang terbuka untuk umum.

Kekhawatiran saya, bahwa puncak persidangan terletak kepada kehadiran Gubernur SH. Sarundajang yang punya gawean acara mencari keadilan. Sehingga kerusuhan pengunjung dan kemungkinan ekses yang akan bisa muncul dapat diantisipasi.

Namun permintaan saya ditepis oleh hakim Wilem Rompis, SH sebagai hak masyarakat dan tidak seperti yang saya khawatirkan. Namun saya ingatkan kembali, mengingat sebelumnya telah terjadi teriakan-teriakan ala suporter.

















Bagian Tujuh ;

Kebiadaban Konspirasi Peradilan Sesat





Adanya informasi tentang kemungkinan adanya settingan rekayasa peradilan yang akan digiring kearah prosesi tertentu yang bakal disiasati untuk menciptakan pancingan, sehingga terdakwa masuk dalam skenario jebakan, sudah saya antisipasi.

Jebakan yang akan diciptakan, menurut sumber, akan dijadikan alasan dan diblow up agar kesalahan benar terjadi dan dilakukan Terdakwa, sehingga fakta hukum dipersidangan menjadi sesuai rencana settingan.

Atas informasi tersebut, yang kemudian kami diskusikan, ditengarai akan digunakan orang paling dekat bahkan sahabat yang melakukan pembelaan sekalipun akan didekati sehingga scenario berjalan sesuai rencana.

Dalam prosesi persidangan yang kian menegangkan tersebut, semburan rekayasa opini public lewat beberapa media memang sudah berhamburan, menunjukkan adanya skenario tertentu yang akan dimainkan hingga keruang persidangan.

Penyesatan lewat informasi media yang sangat timpang telah memberikan indikasi bagaimana rekayasa sidang akan diciptakan sedemikian rupa untuk suatu tujuan biadab, keji dan kejam ala pembunuhan DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc, yang roh pembunuhnya telah merasuk ruang emosi sidang.

Fakta adanya settingan, kuat terbaca dari manipulasi fakta hukum yang lain dari BAP dan indikator lainnya, dari lembaran Berkas Acara Pengambilan Sumpah Janji Korban SH. Sarundajang oleh penyidik Poltabes Kota Manado, sebagai lampiran berkas perkara. Sehingga opini kesibukan tugas kenegaraan untuk pembenaran, mulai digulirkan sedemikian rupa untuk menghindari proses pemeriksaan dipersidangan.

Tak ubahnya seorang Presiden Sulawesi Utara yang begitu sibuk mondar mandir kunjungan kenegaraan keluar negeri, diciptakan sedemikian rupa. Sehingga indikasi isue settingan untuk menghindar dari persidangan sudah mulai terbaca.

Lantas bagaimana otoritas persidangan akan dimanipulir sedemikian rupa sehingga ketentuan sesuai aturan tertib acara yang tertuang dalam KUHAP bisa bergulir ?. Nampaknya kebiadaban persidangan sesat telah dipersiapkan dengan matang.

Indikator penyesatan ini mulai terbaca dari BAP Sumpah Janji, Resume dan Dakwaan Manipilatif serta opini public yang diciptakan lewat media “seolah-olah” dalam kesibukan “Tugas Kenegaraan,” agar siasat interpretasi sesat pasal 162 KUHAP terbenarkan.

Berbagai berita yang bertebaran dilontarkan dibeberapa media harian oleh Juman Johanes Budiman, SH pengacara SH. Sarundajang, sebagai Gubernur yang keterangan kontroversinya dimulai dengan kalimat pembuka taat hukum, dan diakhiri dengan kesibukan Tugas Kenegaraan. Apa SH. Sarundajang Presiden ?. Sebab bahasa atau peruntukkan kalimat “Tugas Kenegaraan,” selama ini, lebih sering hanya digunakan untuk kegiatan tugas Presiden.

Sehingga jelas sekali essensi kontroversi terkandung maksud untuk menghindari persidangan sudah direncanakan, antara Mafia Hukum dengan Mafia Peradilan yang memang ditengarai lagi mempreteli PN. Manado.

Bagaimana menciptakan prosesi sidang menyimpang yang akan melanggar azas hukum untuk tidak pilih kasih, persamaan hak sama dimata hukum, serta ketentuan yang mengikat lainnya sesuai KUHAP, nampaknya akan dijadikan alternatif untuk mematahkan dan membungkam upaya saya mencari keadilan dan kebenaran di PN. Manado.

Umbar kamuflase diberbagai media lokal Sulut oleh Juman Johanes Budiman, SH yang diduga terlibat penyuapan aparat negara yang telah dilaporkan FAMI ke KPK, ditengarai bagian dari settingan pembenaran proses pemeriksaan dipersidangan.


Foto : Scane Berkas Sumpah Janji SH. Sarundajang






















Bab 1

Setting Tidak Periksa Korban





Dalam menyelesaikan perkara melalui proses peradilan, hakim tidak hanya berfungsi dan berperan memimpin jalannya persidangan, namun juga berkewajiban mencari dan menemukan hukum objektif atau materiil yang akan diterapkan kepada perkara yang sedang diperiksa (Yahya Harahap-2004).

Lantas apakah settingan yang terlihat dari beberapa indikasi konspirasi penyidik hingga ketingkat jaksa penuntut umum yang telah melahirkan dakwaan manipulatif, akan pupus dihadapan pilar kode etik hakim dan pedoman hakim ?, disinilah integritas profesi dan moralitas hakim dipertaruhkan.

Bahwa untuk membuktikan seseorang bersalah atau tidak, haruslah diperiksa dipersidangan dengan sejumlah alat bukti yang sah menurut undang-undang untuk ditemukan peristiwa dan siapa pelakunya (Darwan prinst, hal 137-2002).

Dan dalam pemeriksaan disidang pengadilan, maka untuk menemukan kebenaran materil lewat uji kwalitas alat bukti atau cross examination melalui hakim (pasal 164 ayat 1 KUHAP) untuk membuktikan kebenaran dan ketidak benaran dalil gugatan sebagaimana diatur dalam undang-undang oleh penuntut umum dan terdakwa (pasal 164 ayat 2 dan 3 KUHAP).

Dimana berdasarkan azas pembuktian melalui mekanisme pemeriksaan dipersidangan, alat bukti yang sah sesuai amanah undang-undang pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah : a. Keterangan Saksi, b. Keterangan Ahli, c. Surat, d. Petunjuk, dan E. Keterangan Terdakwa.

Dengan ketegasan dan batas toleransi sebagaimana diatur menurut pasal 183 KUHAP, menguraikan : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Maka sesuai mekanisme pemeriksaan di pengadilan, menurut undang-undang untuk agenda pemeriksaan pertama sesuai amanah KUHAP pasal 160 ayat (1) b, yang pertama-tama didengar keterangannya adalah KORBAN yang menjadi saksi.

Dan sesuai pasal 159 ayat (1) KUHAP, Hakim ketua sidang selanjutnya meneliti apakah semua saksi yang dipanggil telah hadir dan memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan satu dengan yang lain sebelum memberi keterangan di sidang.

Bahwa menyangkut pemeriksaan saksi sebagaimana amanah KUHAP pasal 185 ayat (1), keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan.

Sehingga sidang pertama adalah klimaks dari persidangan ini, menjadi momentum yang sangat berarti dan dinantikan masyarakat Sulut, karena melibatkan orang nomor satu Sulawesi Utara Gubernur DR. Drs. SH. Sarundajang, sesuai amanat undang-undang harus hadir sebagai terperiksa pertama.

Maka dihari yang ditunggu-tunggu, Rabu, 12 Januari 2011, sebagaimana amanah KUHAP pasal 160 ayat (1) b, kehadiran Korban SH. Sarundajang tidak harus tidak, harus datang diperiksa pertama sesuai pasal 160 ayat (1)b KUHAP, 159 ayat (1) KUHAP, dan 185 ayat (1) KUHAP.

Masyarakat yang mengetahui sidang pemeriksaan pertama Korban SH. Sarundajang orang nomor satu Sulut, cukup banyak yang datang mau mendengarkan proses sidang tersebut. Namun hingga sidang usai, “katanya” Korban SH. Sarundajang tak kunjung datang.

Tak heran membuat masyarakat kecewa dan makin bertanya-tanya, apa sih persoalan yang sebenarnya ?. Kok Gubernur tidak hadir ?. Apalagi Gubernur hanya melayangkan surat keterangan tentang sedang melakukan tugas kenegaraan, tanpa didukung bukti kemana perginya sang “konon” Korban.

Namun anehnya hakim menelikung agenda sidang, sehingga terjadilah pencederaan proses pemeriksaan pertama. Dimana bukannya Korban sebagai saksi yang harus diperiksa pertama, melainkan 3 orang saksi a Charge menjadi terperiksa pertama. Pemeriksaan inipun tanpa meminta tanggapan dari terdakwa.

Disinilah awal mula rancang settingan mulai menembus ruang sidang, yang memang mulai diduga dari setingan berita acara sumpah janji yang tertuang dalam berkas perkara. Termasuk kemudian lahir surat dakwaan manipulatif.

Sebagai terdakwa yang pernah menjalani sidang sebelumnya dari kasus rekayasa yang masih terkait dengan kasus rekayasa ke-3 ini, menjadi terheran-heran. Sementara pihak pengacara dari LBH Manado, hanya diam dan tak melakukan protes atas perlakuan majelis hakim. Untuk kali kedua, dari sini mulai terduga bakal ada kawan berselingkuh.

Dari persidangan ini, mulai terlihat sikap berat sebelah (partial) atau diskriminatif. Saya mulai membayangkan, bakal kejutan demi kejutan akan terus tejadi, pada sidang berikutnya. Dimana layangan surat SH. Sarundajang bisa mematahkan dominasi undang-undang, dengan tanpa dilampiri bukti keberadaannya disuatu tempat.

Pemeriksaan Korban gagal dihadirkan untuk diperiksa pertama, dengan alasan keluar Negeri (sesuai surat keterangannya, sedang melakukan tugas kenegaraan ke Jepang tertanggal 11 Januari 2011, tanpa diperlihatkan atau diminta bukti SPPD, Surat Tugas Negara, Izin Menteri Dalam Negeri, Pasport dan Visa oleh Majelis Hakim).

Keikutsertaan SH. Sarundajang dengan Menteri Pertahanan, tak jelas kompetensinya. Sehingga alasan ini jelas tidak beralasan hukum. Anehnya, majelis hakim tidak menanyakan bukti terkait ikutsertaanya SH. Sarundajang dengan Menteri Pertahanan, sebagai bukti keberadaan Korban disuatu tempat secara patut sesuai undang-undang. Keganjilan sikap hakim ini, makin menguat dugaan akan adanya permainan lanjutan.

Padahal bila Korban tidak hadir, sepatutnya pemeriksaan tidak dapat dilanjutkan, sebagaimana amanah KUHAP. Anehnya, pemeriksaan bukannya ditunda sampai korban sebagai saksi diperiksa pertama, langsung dilanjutkan ke pemeriksaan saksi a Charge. Saya mengingatkan LBH, namun mereka diam saja.

Pemeriksaan sidang pertama oleh Majelis Hakim PN. Manado yang tidak sesuai prosedur tertib acara, karena LBH diam, saya coba bersabar ikutin persidangan untuk membaca adanya dugaan bakal ada skenario sesat. Setingan pertama : Pertama dipaksa diperiksa saksi a charge (memberatkan) dipersidangan. Berikut uraiannya :


a. Saksi Boy Watuseke

Agenda pemeriksaan pertama terhadap KORBAN sebagai saksi, bukannya ditunda untuk memenuhi pemeriksaan sesuai ketentuan KUHAP pasal160 ayat (1) b, namun dipaksa dilanjutkan kepemeriksaan saksi a Charge.

Pada pemeriksaan pertama dihadirkan 3 orang saksi : Pertama, pelapor bukan korban, Boy Watuseke, SH. Boy kemudian dicecar dengan pertanyaan tentang kompetensi dan alasan melapor ke Polisi. Jawabannya, tanpa surat kuasa, dan merasa Gubernur sudah malu, sehingga dia melapor.

Dijelaskan pula, posisi dia ketika itu sebagai Kepala Biro Hukum Ktr. Gubernur sehingga berinisiatif sendiri untuk melapor. Dimana dia melaporkan pada bulan Maret 2007. Namun bukti laporan pada bulan Maret tidak ada. Sehingga kesaksiannya bertentangan dengan berkas perkara LP polisi tertanggal 1 April 2008 yang diberikan dipersidangan.

Usai melapor, “dia berkoordinasi dengan Gubernur,” jelasnya. Walau Gubernur tidak menyuruhnya melapor, karena menurut perasaannya, Gubernur sudah malu, maka dia bertindak.

Atas keterangannya menyangkut keabsahan laporan Polisi berdasarkan berkas perkara yang dibuat penyidik LP/541/IV/2008/SPK/Poltabes – Mdo tertanggal 1 April 2008, saya terdakwa melakukan cross eximination tentang kebenaran LP tersebut diatas.

Hakim meminta saksi Boy Watuseke maju kedepan untuk melihat dan memastikan apa LP/541/IV/2008/SPK/Poltabes – Mdo, adalah laporannya. Namun Boy tidak mengakui dan menolak laporan polisi tersebut, sebagai laporannya. Sehingga ketika itu, Majelis Hakim ketua meminta JPU untuk menghadirkan saksi verbalism untuk mengkomfrontir kebenaran bantahan saksi Boy Watuseke.

Boy kemudian menerangkan bahwa kejadiannya, terdakwa Henry John masuk menerobos masuk ketika gubernur sedang berbicara dan mengatakan : Program WOC tidak benar….. dan sarat KKN …., bagaimana kalimat selanjutnya tidak dapat diteruskan, namun disela hakim, sama dengan BAP ? ya jawabnya.

Boy mengatakan, Terdakwa mengeluarkan kata-kata sambil menuding Gubernur yang dilakukan tanpa menggunakan alat bantu, sehingga menyebabkan acara terhenti beberapa saat. Dan akhirnya Terdakwa dikeluarkan oleh peserta.

Boy juga menjelaskan bahwa kejadian tersebut berlangsung di Lt 2, kantor Bappeda yang dihadiri sekitar 100 orang, dengan sejumlah wartawan yang turut hadiri pada acara tersebut.

Namun ketika ditanyakan, mana bukti undangan, notulen rapat serta daftar hadir, tak dapat ditunjukkan pelapor bukan korban. Alasannya, dia hanya sebagai undangan, yang tidak berkompeten dengan sejumlah bukti atas acara tersebut.

Lantas bagaimana Boy berani melaporkan kejadian tersebut tanpa alat bukti, justru mengundang pertanyaan dan misteri adanya suatu design tertentu untuk tujuan tertentu dibalik laporan tanpa didukung alat bukti surat, sebagai rekaan pikirannya saja.

Dari laporan Polisi yang tidak memiliki cukup bukti itu, kini mulai terkuak dugaan adanya rekayasa. Ketika itu, hakim ketua sempat menyatakan kepada jaksa penuntut umum menghadirkan penyidik untuk didengar keterangannya, terkait laporan tanpa bukti.

Hakimpun, tidak aktif meminta alat bukti ditunjukkan walau saya sebagai terdakwa sudah mendesak meminta alat bukti tersebut untuk ditunjukkan. Maksudnya, agar wacana rekaan pikiran tidak menjadi atmosfir fakta persidangan.


b. Saksi Oscar Wagiu

Pemeriksaan kedua, saksi Drs. Oscar Wagiu. Menerangkan pada acara sosialisasi dan rapat koordinasi WOC, dia datang sebagai undangan. Dan mengenal terdakwa baru pada tahun 2007.

Ketika diminta untuk menunjukkan undangan maupun notulen rapat serta daftar hadir, Oscar pun tak dapat menunjukkannya. Alasannya, dia hanya diundang melalui Hand Phone.

Oscar kemudian menceritakan bagaimana Terdakwa masuk menerobos ketika gubernur sedang berbicara, dan langsung berteriak sambil menuding bahwa Program WOC … merugikan rakyat Sulut, selanjutnya tidak jelas dan tidak terang kalimat copi paste yang sama sekali satu dengan lainnya.

Menurutnya, terdakwa berteriak-teriak tanpa menggunakan alat bantu. Akibat kejadian tersebut, menurut Oscar acara terhenti sekitar 25 atau 20 menit, dan saat itu dia melihat Korban merasa malu.

Namun ketika ditanya majelis hakim apakah Korban menyatakan bahwa dia malu, Oscar menyatakan tidak. Namun, dia bisa membaca dari raut wajah Gubernur. Setelah itu kemudian Terdakwa dikeluarkan oleh peserta yang mengikuti acara tersebut.

Oscar juga menerangkan jabatannya, ketika itu, sebagai Ka. Biro Keuangan Pemprov. Sulut, sehingga muncul pertanyaan agar benar ada alat bukti dari buku APBD, maka ditanyakan menyangkut alokasi anggaran WOC apakah tertata di APBD.

Pertanyaan ini untuk menemukan alat bukti lewat cacatan dalam alokasi APBD agar diketahui acara ini benar ada dan bukan rekayasa atau rekaan pikiran. Oscar kemudian menerangkan untuk makan minum tertata di APBD.

Ketika dicecar sehubungan dengan bukti adanya catatan kata WOC pada APBD, untuk mengetahui adanya WOC sudah ada sejak tahun 2007 dengan maksud dapat diperlihatkan Buku RAPBD sebagai alat bukti, namun hakim menyela ini bukan kasus korupsi. Padahal essensi pertanyaannya, agar ditemukan kebenaran sebuah fakta kegiatan sosialisasi WOC. Dan terbukti tidak dapat ditunjukkan. Namun mengapa hakim mencoba mengaburkan kearah korupsi ?.

Usai saksi memberi keterangan, Hakim ketua bertanya apakah benar ?. Saya menjawab tidak benar. Hakim kemudian menyatakan, kok tidak benar ?, dengan nada tinggi hakim menyatakan kepada panitera, Tulis ! !. Sungguh sebuah pernyataan memihak.

c. Saksi Meiky H. Koessoy, ST.,MSi.

Pemeriksaan Ketiga, Saksi Herman M. Koessoy, ST, MSi. Mengatakan mengenal Terdakwa, karena beberapa kali datang di Kantor Bappeda. Namun tidak sering, tapi sewaktu-waktu.

Bahwa pada suatu acara sosialisasi dan rapat koordinasi WOC, Terdakwa mengikuti acara tersebut bersama wartawan-wartawan lainnya. Dan semua peserta tak terkecuali wartawan, masuk tanpa diseleksi oleh panitia.

Ketika usai Gubernur memberikan presentasi tentang WOC, terdakwa mengajukan pertanyaan, saat ruang kesempatan bertanya dibuka. Dan menyatakan, bahwa program WOC dan Pemda …..tidak benar …..tidak jelas dan terang, apa yang dimaksudkan Meiky.

Dan acara terhenti saat terdakwa bertanya, kemudian Tedakwa dikeluarkan oleh bagian pengamanan Bappeda, setelah melihat suasana sudah gaduh. Herman kemudian menjelaskan kehadiranya sebagai panitia pada acara tersebut.

Ketika ditanya apakah sebagai panitia dia dilengkapi dengan kelengkapan menyangkut ikatan hukum agar keabsahan sebuah kegiatan itu legal, Herman menyatakan bahwa kepanitiaannya dilengkapi SK panitia lokal berdasarkan turunan KEPPRESnya.

Namun ketika diminta untuk ditunjukkan bukti SK panitia lokal maupun Keppresnya, Herman tak dapat menunjukkannya. Bahkan undangan, daftar hadir, maupun notulen rapat, tak bisa ditunjukkan, dengan alasan telah pindah ke Dinas Kimpraswil.

Herman juga menceritakan kejadian tersebut terjadi di Lt 3 Bappeda Prov. Sulut. Artinya berbeda dengan keterangan Boy bahwa kejadiannya di Lt 2. Demikian juga dijelaskan ketika itu, dihadiri sejumlah wartawan dari berbagai media.

Namun ketika diminta beritanya sehubungan dengan kejadian tersebut, saksi tidak dapat menunjukkan berita dimaksud. Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan apakah acara WOC benar-benar ada pada bulan Februari 2007, karena itu tuduhan ini, hanya merupakan rekaaan pikiran untuk suatu maksud Rekayasa yang bisa diduga untuk membungkam saya, agar tidak terus mengendus penculikan dan pembunuhan DR. Ir. Oddie Manus, MSc.

Dari keterangan ketiga saksi yang tidak bersesuaian satu dengan lainnya, baik bentuk kejadian, tempat termasuk bukti surat laporan Polisi yang tidak diakui pelapor. Bahkan tak ada satupun bukti menunjukkan adanya kegiatan WOC dibulan Februari 2007.

Entah itu bukti undangan, notulen rapat, berita, cacatatan WOC dalam APBD, SK Panitia lokal maupun Keppress.

Karenanya, berbagai keterangan yang tidak benar tersebut, telah mengundang banyak pertanyaan yang sepatutnya perlu dicari dalam pemeriksaan selanjutnya, sehingga kebenaran materil dapat ditemukan secara obyektif.

Usai penyampaian keterangan oleh Herman M. Koessoy, hakim bertanya kepada saya Terdakwa, apakah benar yang disampaikan saksi ?. saya menjawab tidak benar !. Hakim kemudian berkata, kok semua tidak benar !. Ini orang Bappeda loh, tandas hakim ketua. Saya kemudian mulai berpikir dan mencermati ada yang tidak benar dalam proses pemeriksaan tersebut. Semuanya tidak benar kok hakim ingin memaksakan saya harus mengatakan benar !. Dua (2) kali sikap yang melanggar pasal 158 KUHAP dilakukan.

Persidangan ditingkat pengadilan dalam prosesi pemeriksaan pertama ini, nampaknya mulai tidak sehat. Pertama menelikung sidang, kedua tidak menanyakan bukti keberadaan korban, ketiga mengistimewakan korban, dan keempat membuat pernyataan memihak.

Foto : para saksi-saksi

Scane walk out sidang











Bab 2

Pemeriksaan Sesat Kedua




Walau pemeriksaan pertama sebelumnya telah terjadi secara lain, atau tidak lagi sesuai tertib acara sebagaimana diatur menurut KUHAP, namun kali ke-2, Korban masih diusahakan untuk diperiksa dipersidangan, mungkin untuk memenuhi sarat pasal 185 ayat (1) KUHAP.

Maka diagenda pemeriksaan kali ini, Rabu, tanggal 19 Januari 2011, memasuki panggilan ke-2, ternyata KORBAN SH. Sarundajang mangkir lagi, dengan mengirim secarik surat keterangan tertanggal 18 Januari 2011, tidak dapat mengikuti sidang karena alasan tugas kenegaraan ke Pnom Phen.

Lagi-lagi kali ini, tanpa diperlihatkan surat panggilan, tanda terima surat, Surat Tugas dari Negara, SPPD, Izin Menteri dalam Negeri, Pasport maupun Visa, sebagaimana layaknya orang keluar Negeri.

Bahkan Hakim tidak berupaya menanyakan tentang bukti pendukung lainnya tentang kebenaran Korban berada disuatu tempat. Hakim benar-benar tidak aktif meminta bukti-bukti dan menggantungkan semua informasi dari jaksa penuntut umum.

Kembali saya mengingatkan kepada majelis hakim tentang pernyataannya, untuk menghadirkan saksi verbalism untuk mengkomfrontir tentang Surat Laporan Polisi yang tidak diakui saksi Boy Watuseke.

Namun Hakim Ketua Armindo Pardede, menyela bukan jatah kamu, nanti kami bantu. Demikian pula, saksi Ir. Xandramaya Lalu kembali tidak dapat dihadirkan dipersidangan, tanpa memperlihatkan atau dibacakan selembar surat keteranganpun. Sidang kemudian ditunda.

Sehubungan dengan keterangan surat SH. Sarundajang yang menyatakan keberangkatannya ke Pnom Phen, dari informasi yang saya dapatkan dari Imigrasi Bandara Soekarno – Hatta, benar nama SH. Sarundajang ditemukan ke Pnom Phen pada tanggal 19 Januari 2011 dengan pesawat Malaisya Airlines kode MH 710 dan kembali pada tanggal 23 Januari 2011 dengan pesawat Garuda Airline kode GA 825.

Namun ketika dikonfirmasi ke Malaysia Airlines, oleh salah seorang stafnya disana dijelaskan penumpang bernama SH. Sarundajang tidak terdaftar pada pesawat MH 710 dimaksud. Artinya, pihak Imigrasi sudah memberikan informasi yang tidak benar.

Sementara dengan pesawat Garuda kembali dari Kuala Lumpur ke Indonesia pada tanggal 23 Januari 2011, benar tercatat penumpang bernama Sinyo Harry Sarundajang dengan nomor tempat duduk 02 F didampingi Sonny Nender -mantan bandar judi Amussement pasar ’45- pada tempat duduk 02 E.

Sehingga dari keterangan Kantor Imigrasi Bandara Soekarno – Hatta bila disesuaikan dengan suratnya, apakah ke Pnom phen dan atau dari Kuala Lumpur, belum dapat menguatkan surat keterangan surat Sarundajang, dan patut diduga Keterangan Palsu.

Foto : 1. Scane Komentar Budiman Rekayasa SHS

2. Foto pegawai MalaisyaAirlines









Bab 3

Periksa Formil Walk Out






Sidang ke-7 Rabu tanggal 26 Januari 2011, berlangsung melalui pemeriksaan formil ala PN. Manado gaya peradilan penjajah Belanda dab Komunis, dilangsung secara otoriterian oleh Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Armindo Pardede, SH. MAP.

Korban SH. Sarundajang tidak hadir, dengan alasan bertemu dengan Menteri PU, sesuai surat yang dibacakan ketua majelis hakim Armindo. Namun alasan formil sebagaimana surat sebelumnya, tanpa selembar bukti Surat Keterangan atau yang sama sifatnya sebagai lampiran, benar tidaknya alasan tersebut. Tiga kali kewajiban secara negative (negative wettelijk) sesuai azas hukum, tidak pernah dilakukan secara aktif oleh Hakim, untuk mencari bukti/ alasan mengapa Korban tidak mengikuti sidang.

Sidang yang sudah menelikung ketentuan tata cara yang diatur sesui pasal 160 ayat (1)b,

Kali ini sebagaimana amanah pasal 159 ayat (2) KUHAP, dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan. Juga diabaikan.

Dan dalam surat SH. Sarundajang tertanggal 26 Januari tersebut, selain menyatakan tidak dapat hadir karena ada pertemuan dengan Menteri PU, pada point ke-3 meminta agar BAPnya dibacakan saja.

Atas permintaan surat Korban SH. Sarundajang, tertanggal 26 Januari 2011 agar BAPnya dibacakan, Hakim Ketua menuruti permintaan surat tersebut. Dengan membaca KUHAP pasal 162 ayat 1, 2, sebagai alasan dasarnya, Hakim Ketua mempersilahkan membacakan BAP saksi KORBAN dengan mengeksploitir sidang pemeriksaan formil yang tidak sesuai undang-undang.

Bahwa terkait dengan alasan yang dijadikan dasar pemaksaan pembacaan BAP, nampaknya sudah disetting. Pasalnya terlihat dari indikator adanya surat Sumpah janji dihadapan penyidik Poltabes Manado. Namun adalah lebih fatal lagi, dan sangat bertentangan dengan pasal yang dijadikan pijakan Majelis Hakim, pasal 162 KUHAP, tidak ada bukti selembarpun, baik berupa Surat Tugas dari Menteri Terkait apalagi dari Presiden sebagai pemegang kekuasaan otoritas Negara, yang membuktikan Gubernur SH. Sarundajang sedang melakukan TUGAS KENEGARAAN, termasuk tidak menghadirkan Presiden dan Menteri untuk klarifikasi. Sehingga penerapan pasal ini adalah tidak sesuai atau sebagai penerapan hukum yang salah yang bertentangan dengan undang-undang.

Sehigga adalah sesuatu yang aneh dan ganjil, kalau surat SH. Sarundajang dapat mematahkan otoritas undang-undang pasal 159 ayat (2) KUHAP. Dan atas tindakan hakim tersebut, kami menolak pembacaan BAP. Namun anehnya, ketua majelis hakim yang memiliki “kekuasaan” tetap bersikeras dan meminta jaksa segera membacakan BAP saksi korban. Kami-pun bertahan dengan sikap kami meminta tetap menghadirkan saksi korban untuk diperiksa dipersidangan, sebagaimana diamanat undang-undang pasal 185 ayat (1) KUHAP, untuk pemeriksaan langsung.

Atas sikap Hakim ketua yang tidak adil, diskriminatif dan otoriter tersebut, sempat terjadi ketegangan yang patut dicurigai bahwa agenda sidang ini telah disetting. Telah ada yang mengatur. Mempertimbangkan tidak akan ditemukan kebenaran materil dalam sidang formil macam ini. Kami memutuskan keluar. Walk out.

Pilihan kami keluar, karena hakim Armindo memaksakan kehendaknya. Apalagi jelas sekali diatur dalam undang-undang yang dimaksudkan pemeriksaan dilakukan dipersidangan untuk menemukan kebenaran materil sesuai KUHAP pasal 185 ayat (1), keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan, dan bukan dibacakan. Lantas mengapa sebagai saksi korban tidak mau dihadirkan di Pengadilan ? ada maksud apa ?.

Kami menjadi bingung, ternyata intervensi surat keterangan Gubernur Sulut SH. Sarundajang lebih kuat dari Undang-Undang (KUHAP Pasal 159 ayat 2, pasal 185 ayat 1). KORBAN benar-benar diistimewakan ! . Dimana tidak sesuai pedoman Hakim yang harus melakukan fairness.

Proses persidangan berjalan tidak sesuai tata tertib acara sidang, dengan melakukan perubahan undang-undang ala PN. Manado menjadi acara sidang pemeriksaan secara formil dengan hanya membacakan BAP korban untuk kebutuhan formil majelis hakim PN. Manado.

Betapa majelis hakim PN. Manado, tidak lagi berpegang teguh pada kemurnian pelaksanaan tugas dan tanggungjawab sebagai penegak dan penjaga hukum dan keadilan yang memberi kepuasan pada pencari keadilan dan masyarakat. Sehingga jelas sekali telah melanggar kode etik sebagaimana sepatutnya Hakim Berperilaku Adil.

Padahal dengan menggebu-gebu, Hakim Ketua selalu menyatakan tidak ada yang dapat mengintervensi dan mempengaruhi jalannya sidang, “termasuk Sarundajang,” tegasnya.

Fakta berbalik, perintah surat bisa mengalahkan otoritas Hakim ketua dan Undang-Undang.

HAKIM TAKUT ? entahlah. Padahal, sesuai amanah KUHAP pasal 159 ayat (2), menegaskan, Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.

Artinya, jelas sekali, pada pasal ini, ada HAK atau WEWENANG Hakim Ketua, harus menghadirkan, setelah peran Jaksa Penuntut Umum (3 kali) gagal. Sehingga, ruang pesan atau amanah wewenang hak Hakim Ketua tidak boleh diabaikan.

Bahwa KORBAN tidak berhasil didatangkan pada panggilan ke-3, tidak semestinya batas upaya ke-3 Jaksa Penuntut Umum menjadi akhir dari pemeriksaan KORBAN. Artinya, masih ada wewenang Hakim. Lantas dimana peran dan hak hakim sesuai amanah KUHAP pasal 159 ayat (2). Apalagi kompetensi KORBAN menjadi petaruh utama wibawa hukum Negara, agar tidak membangun kesan hukum telah terjadi pilih kasih dan dipermainkan yang “ mengaku” sebagai saksi KORBAN.


ROH SETIAP WARGA SAMA DIMATA HUKUM, rontok di PN. Manado.

Bahwa fakta persidangan selama ini yang melibatkan pejabat Negara setingkat Menteri dibawahnya, tidak ada dan belum pernah terjadi adanya alasan tugas Negara menjadikan mereka mengabaikan persidangan dan undang-undang. Di Kota Manado lain. Apa sudah ada Negara Manado ?.

Menteri Menkopolhukam, Menteri Olaraga dan Pemuda, Sekneg Patta Radjasa pada persidangan Aktivis Bendera, toh dapat hadir, walau hanya dengan kapasitas sebagai saksi bukan KORBAN.

Sehingga penjabaran KUHAP pasal 160 ayat 1,2 ini, belum pernah diinterpretasikan secara lain untuk kepentingan dan alasan yang tidak jelas, apalagi untuk tidak patuh atas perintah undang-undang.

Kualitas KORBAN Gubernur hanya perpanjangan pemerintah pusat didaerah. Bertugas didaerah, bukan mengurus persoalan Negara. Sehingga bisa diduga Gubernur Sulut hanya beralasan menghindari persidangan ?. Rasanya kita butuh fatwa MA untuk problem mangkirnya Gubernur Sulut. Agar wibawa Hukum ditangan Hakim jelas !.


Perdebatan Rekayasa

Mengenai informasi ketidak benaran atas pertemuan dengan menteri PU, sempat terjadi perdebatan dengan ketua majelis hakim, Armindo Pardede, atas pernyataan saya bahwa surat tersebut hanya merupakan rekayasa, namun anehnya Hakim mengatakan tidak ada rekayasa.

Atas pembelaanya tersebut yang semakin kuat betapa sikap hakim begitu berat sebelah, dan mengistimewakan Korban, maka saya bertekat untuk membuktikan keyakinan saya atas informasi yang saya peroleh bahwa SH. Sarundajang tidak pernah bertemu dengan Menteri PU pada tgl 26 Januari 2010.

Untuk membuktikan rekayasa yang menjadi perdebatan saya dengan ketua majelis hakim, dari konfirmasi saya ke Departemen PU, oleh pihak Humas, tidak ditemukan adanya agenda pertemuan resmi antara Menteri PU dengan Gubernur SH. Sarundajang.

Namun saya bersikeras untuk meminta keterangan tertulis dari pihak Humas dan meminta bertemu dengan Ka. Biro Humas Departemen PU. Saya pun bertemu dan dijelaskan tidak ada pertemuan pada tanggal 26 Januari.

Hanya saja nanti pada tgl 27 Januari 2011, ada pertemuan tidak resmi sehingga tidak ada yang mengikuti pertemuan tersebut, dimana hanya Menteri dan wakil Menteri dan didampingi, oleh Humas. Jadi tidak ada wartawan ketika itu.

Kali ini pun pada panggilan ke-3, usai pembacaan BAP Korban, dijelaskan saksi Ir. Xandramaya Lalu tidak dapat hadir karena sakit oleh JPU, namun tidak ada selembar surat yang diperlihatkan bahkan dibacakan oleh majelis hakim. Jelas tidak fair.

Untuk pemanggilan kali ketiga menjadi klimaks diskriminasi hakim Armindo Pardede Cs, mempertontonkan secara telanjang mata dan berani mematahkan amanah undang-undang, saksi korban tidak diperiksa dipersidangan. Hingga melahirkan walk out.

Foto : 1. Scane koran (SHS dan Xandra batal bersaksi

2. SH. Sarundajang

















Bab 4

Settingan Sesat Keempat






Setelah pemeriksaan Korban SH. Sarundajang sebagai saksi pada panggilan ke-3 gagal, dimana klimaks prosesi persidangannya hanya berupa pembacaan BAP, kali ini terhadap saksi fakta yang sangat penting pada panggilan keempat diagendakan lagi.

Agenda pemeriksaan saksi ke-empat Rabu, 2 Februari 2011, Ir. Xandramaya Lalu, lagi-lagi mangkir dengan alasan keluar daerah, tanpa memperlihatkan dan membacakan surat keterangannya, termasuk bukti Surat Tugas dan SPPD.

Hakim pun kali ini berlaku tidak adil, tidak menanyakan adanya bukti-bukti tentang keberadaan saksi, sama seperti sebelumnya, tak pernah surat maupun bukti-bukti itu ditanyakan, sebagai hakim pidana yang seharusnya secara aktif menemukan kebenarannya. Sikap hakim betul-betul berat sebelah, tidak sesuai kode etik dan pedoman Hakim.

Lantas mengapa hingga terjadi pemanggilan keempat ?. Ada apa kemudian bila memasuki pemanggilan ke-empat tidak dilakukan perintah penahanan oleh hakim, karena sebagai saksi BAP, jelas telah mempersulit pemeriksaan dipersidangan.

Pada kesempatan itu, saya terdakwa meminta memeriksa kembali surat keterangan untuk menemukan kepastian dan kebenaran keterangan yang dikirimkan KORBAN Drs. SH. Sarundajang.

Hal tersebut saya lakukan, karena saya dan teman memperoleh informasi tidak ada agenda pertemuan Menteri PU dengan Gubernur pada Rabu 26 Januari 2011 di Manado maupun Jakarta. Namun hakim ketua menyatakan kan sudah dibacakan minggu lalu.

Tapi saya bersikeras meminta meneliti kembali, karena ada kebohongan, hakim akhirnya memberikan kesempatan memeriksa surat-surat tersebut.

Usai memeriksa, saya mengkomplein keterangan palsu tersebut, dan meminta pertimbangan, agar KORBAN harus dihadirkan kembali, karena telah melakukan pembohongan/ dusta. Dan penting didengar keterangan Korban sesuai azas hukum.

Sebagaimana adanya hak hakim ketua yang belum dipergunakan untuk persidangan. Namun anehnya, tidak diterima Hakim Ketua, dengan alasan BAP sudah dibacakan.

Atas sikap tersebut, kembali saya nyatakan kepada majelis hakim :

a. Meminta, Ir. Xandramaya Lalu saksi BAP harus dihadirkan, karena merupakan salah satu panitia local (saksi penting ) yang harus bisa menunjukkan bukti-bukti berupa SK atau Keppres atau surat-surat terkait dengan kegiatan WOC dibulan Februari 2007, sehingga kita tidak bermain dalam wacana persidangan rekaan pikiran orang.

Adapun maksud permintaan saya, agar misteri REKAYASA tersebut, bisa terungkap. Dan menemukan siapa dalang dan motifasi persekongkolan dari tuduhan yang tidak benar.

b. Kali kedua (2), saya meminta menghadirkan saksi verbalism, atas dasar janji haklim ketua dan sesuai keterangan saksi Boy Watuseke, yang tidak mengakui Laporan Polisi No. Pol. : LP/541/IV/2008/SPK/Poltabes-Mdo, tertanggal 01 April 2008, sebagai laporannya.

Maksudnya, agar misteri LP harus dikonfrontir, untuk mengetahui siapa pelapor sebenarnya, dan siapa perekayasa peristiwa atas tuduhan tindak pidana tersebut. Apakah melibatkan penyidik atau konspirator lainnya.

Anehnya, sikap Hakim ketua berubah, tidak menggubris permintaan saya, sesuai pernyataan Hakim ketua sendiri pada sidang ke-6 akan membantu menghadirkan saksi verbalism. Tiba-tiba berubah, tidak menggubris permintaan saya untuk menghadirkan saksi verbalism. Terkesan bukti adanya Laporan palsu hendak ditutup-tutupi dan melindungi oknum yang telah melakukan rekayas laporan.

Malah Hakim Ketua memerintahkan JPU Claudia Lakoy, SH segera membacakan BAP saksi Ir. Xandramaya Lalu. Karena sikap Hakim Ketua yang misterius, berat sebelah dan tidak adil tersebut, kembali kami memilih walk out. Menolak dan tidak menerima pembacaan saksi BAP Ir. Xandramaya Lalu.

Sidang ditangan JPU & Hakim, benar-benar sangat otoriter dan mengistimewakan pihak Korban, sehingga kami tidak dianggap lagi dalam persidangan. Padahal, sudah pada panggilan ke-4 namun masih saja tidak dilakukan upaya hukum paksa, atau penahanan malah BAP dibacakan.

Tujuan mencari kebenaran dan keadilan di PN. Manado, menghadapi tirani. Benar-benar menghadapi tembok.

Padahal dasar permintaan kami berpedoman sesuai KUHAP. Sebagaimana amanat KUHAP pasal 160 ayat (1) point c, menegaskan, Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, Hakim Ketua sidang WAJIB mendengar keterangan saksi tersebut.

Foto : 1. Scane Koran Komentar Walk out

2. scane koran jemput paksa tergantung hakim



Bab 5

Saksi Verbalism Tidak Diperiksa






Berdasarkan keterangan saksi Boy Watuseke yang diperiksa pertama atau bertentangan dengan pasal 160 ayat (1) b, dalam pemeriksaan dipersidangan yang menolak laporan polisi No. Pol.: LP/ 541/ IV/ 2008/ SPK/ Poltabes-Mdo, tertanggal 1 April 2008, telah sempat dinyatakan oleh hakim ketua agar Jaksa menghadirkan saksi verbalism.

Dan atas fakta hukum tersebut, berulang kali kami mintakan dipersidangan, hakim ketua menyatakan kepada jaksa penuntut umum agar menghadirkan saksi verbalism, pada sidang berikutnya.

Hingga kemudian memasuki sidang kelima (5) Rabu tanggal 19 Januari 2011, kembali kami meminta untuk menghadirkan saksi verbalism, namun oleh ketua hakim majelis Armindo Pardede, SH,. MAP, mengatakan, sabar ini bukan jatah kamu, nanti kami bantu.

Selanjutnya sidang pemeriksaan keempat, kembali kami meminta menghadirkan saksi verbalism, namun permintaan ini tidak digubris. Bahkan terkesan hakim ketua mulai berubah pikiran. Entah settingan sudah termakan skenario Makelar Kasus.

Bahkan hakim ketua memaksakan pembacaan BAP saksi Ir. Xandramaya Lalu. Namun saya terdakwa melakukan interupsi untuk meminta agar saksi Xandramaya Lalu harus dihadirkan dipersidangan dan menolak pembacaan BAP.

Demikian pula, saya kembali menyatakan meminta menghadirkan Korban SH. Sarundajang yang tidak pernah diperiksa. Dan yang ketiga, saya meminta agar saksi verbalism dapat dihadirkan untuk diperiksa dipersidangan, guna dari ketiganya dapat diperoleh kebenaran materil.

Namun semua permintaan saya terdakwa tidak digubris hakim ketua. Bahkan hakim dengan kerasnya meminta agar jaksa penuntut umum segera membaca BAP Xandramaya Lalu. Atas tindakan tidak adil dan berat sebelah yang kesekian kalinya, kembali saya melakukan walk out. Hakim sudah benar-benar kena!, duga saya.

Foto : Scane hanry peuru tinggalkan sidang lagi


















Bagian Delapan ;

Telikungan Ala Peradilan Sesat






Pada tgl 4 Februari 2011, saya terkejut dengan membaca berita di harian Komentar, tentang telah dilangsungkan agenda pemeriksaan TERDAKWA Rabu 2 Februari 2011. Dimana dalam pemberitaan tersebut, pada agenda pemeriksaan saksi Ir. Xandramaya Lalu, Hakim Ketua juga telah memerintahkan pembacaan BAP terdakwa. Padahal disamping itu, masih belum dilaksanakan agenda sidang pemeriksaan saksi verbalism, saksi meringankan dan baru ke agenda sidang Terdakwa. Apa bisa 1 hari sidang langsung 4 agenda sidang ?. Apa ada selama ini sidang borongan ala hakim Armindo ?.

Bahwa hari Rabu, 2 Februari 2011 itu, merupakan agenda pemeriksaan saksi BAP Ir. Xandramaya dari pihak KORBAN, sebagaimana juga dijelaskan oleh Humas PN. Manado (Tribun Manado Selasa 1/2).

Karena peradilan sesat yang terus berlangsung, dimana pemeriksaan Ir. Xandramaya Lalu hanya dibacakan BAPnya, kami walk out. Dan saat itu, Rabu (2/2) saya langsung mengadakan konferensi pers di kantin PN. Manado, mengenai prosesi sidang yang menyimpang dan sikap hakim yang terus berat sebelah, yang menunjukkan sikapnya bertentangan dengan ketentuan 1. Berperilaku Adil dalam penerapan poin (4), tentang Kode dan Pedoman Perilaku Hakim tahun 2009.

Dan selama ini, terkait dengan agenda sidang pemeriksaan terdakwa, saya tidak pernah dipanggil secara resmi dalam bentuk apapun baik lisan apalagi tulisan oleh penuntut umum untuk pemeriksaan Terdakwa, ataupun diberitahukan lewat persidangan sebelumnya.

Sehingga saya menjadi kaget mendengar kabar lewat media, telah diagendakan sidang pembacaan tuntutan pada sidang berikutnya. Padahal belum ada sidang yang melakukan pemeriksaan Terdakwa. Termasuk agenda sidang saksi verbalism yang akan dikonfrontir atas keterangan Boy Watuseke, SH saksi A Charge yang menyatakan tidak melapor dan menolak mengakui surat laporan yang ditunjukkan dipersidangan. Juga belum dilakukan pemeriksaan saksi meringankan yang telah dipersiapkan.

Kalaupun tanpa melalui surat panggilan, maka menurut tertib acara sesuai KUHAP, sidang ditutup dulu, baru kemudian ditetapkan sidang untuk agenda sidang selanjutnya pada hari yang lain, dan bukan pada hari yang sama.

Dari sini semakin jelas telikungan penyesatan Hakim Ketua atas kepatutan penetapan agenda pemeriksaan Terdakwa, yang sepatutnya tidak boleh disamakan harinya saat itu juga dengan agenda pemeriksaan saksi dari pihak Korban.

Pun kalau Terdakwa tidak datang, maka perlu dilakukan pemanggilan secara sah untuk didengarkan keterangan Terdakwa dimuka persidangan. Saya menduga, hakim sengaja berbuat demikian agar tidak terbongkar borok-borok rekayasa para Mafia Hukum didepan persidangan. Sehingga patut diduga telah terjadi konspirasi dengan melakukan rekayasa pemeriksaan menyimpang dari tata cara persidangan.

Apalagi, belum melalui mekanisme pengajuan saksi verbalism maupun saksi meringankan. Sehingga jelas arogansi yang patut diduga, telah dimuati scenario Rekayasa, untuk menciptakan PERADILAN SESAT dan target hasil sidang sesuai pesanan kepentingan.

Kini jelas sudah, dugaan sebelumnya ada REKAYASA, terbukti, REKAYASA TELAH MERAYAP KE RUANG SIDANG. Hakim telah melakukan persidangan sesat. Tidak memeriksa Korban. Lebih sesat lagi, tidak melakukan pemeriksaan Terdakwa. Sehingga tertib acara sidang menjadi semakin tidak jelas, bahkan menuju ke PERADILAN SESAT ternyata bukan bualan ada juga di PN. MANADO.

Betul-betul spektakuler, tidak memeriksa saksi verbalism, saksi meringankan dan Terdakwa langsung menyimpang/ by pass kesidang Tuntutan. Artinya, dalam sehari Majelis hakim telah menelikung 3 agenda sidang yang di by pass.

Bahkan bukti-bukti yang diminta Terdakwa dalam persidangan berupa daftar hadir, notulen rapat, SK Panitia local, Keppres No 23 tentang pembentukan panitia Nasional WOC tahun 2007 dan berita tentang WOC, tidak pernah digubris Hakim. Ada apa hakim tidak mau meminta bukti-bukti tersebut. Apakah hakim sengaja ingin menutupi kebohongan ini ?.

Namun proses peradilan sesat ala Armindo Pardede, SH,.MAP di PN. Manado, sebenarnya bukan barang baru. Bahwa Armindo juga sempat melaksanakan proses peradilan masal. Artinya, bukan hanya ada kawin masal, namun peradilan masalpun pernah dilaksanakannya yang kurun hampir 3 tahun ini, belum juga ada putusan. Bahkan vonisnyapun mandek ditangan Armindo Cs.

Peradilan massal tersebut dilakukan terhadap 15 orang yang didakwa sebagai koruptor. Dan baru empat (4) koruptor asal kabupaten Talaud : Wilson Tine, ST, ME (5 thn), Toni Assalui, Oscar Lindo, dan Nimatula Birahi masing divonis 2,5 tahun pada tahun 2010 dan kini meringkuk dipenjara Malendeng dan penjara Talaud.

Sementara yang sisanya sekitar 11 orang : Abson Maengga, Corry Tumimbang, Jackmond Amisi, Tjandra Bayang, Donald Palar, Hendry Palar, Wenny Palit, Ferry Larinda, Muhamad Rusdi, Denny Tongkeles dan PPK Bapak Mandiri, sudah 2 tahun lebih berjalan ini senyap di PN. Manado.

Ditengarai proses sidang ini sengaja dihentikan dan didiamkan. Menurut sumber, diduga para terdakwa telah diperas miliaran rupiah, hingga sidang 2 tahun lebih ini, sengaja dihentikan.

Foto : Scane koran

Sidang























Bab 1

Terdakwa Tidak Diperiksa






Bila sebelumnya sidang sudah berjalan menyimpang tidak memeriksa Korban SH. Sarundajang sehingga tercipta peradilan sesat, maka kalau Terdakwa tidak periksa, sudah menjadi patut dimaklumi. Mungkin sidang seperti ini menjadi trend Hakim Armindo sebagai terobosan sidang modern di Indonesia.

Bahwa kontroversi tidak dilakukan pemeriksaan terhadap Korban dan Terdakwa, adalah bertentangan dengan Audio Alterampartem (proses persidangan harus mendengarkan dua (2) belah pihak. Demikian pula azas pemeriksaan secara langsung tidak dilakukan. Namun kuasa ditangan Hakim peradilan sesat, menjadi sangat menentukan.

Hal tersebut tak dapat dibantah, karena fakta sidang sebelumnya, telah terjadi empat kali sidang tanpa dihadiri terperiksa. Apalagi hanya soal tidak memeriksa Terdakwa, gampanglah disiasati.

Pertama tanpa memeriksa Korban, SH. Sarundajang, kedua tanpa memeriksa saksi sesuai berkas Ir. Xandra maya Lalu, ketiga tanpa memeriksa saksi Verbalism, dan keempat tanpa memeriksa saksi meringankan.

Dimana upaya pemanggilan untuk pemeriksaan korban SH. Sarundajang sebagai saksi yang “konon” mempunyai gawean mencari keadilan di PN. Manado, sebanyak 3 (tiga) kali akhirnya kandas. Sementara saksi Xandramaya Lalu 4 (empat) kali gagal juga.

Kalau yang lainnya yaitu saksi verbalism dan saksi meringankan, termasuk terdakwa, anggaplah hanya kucing garong kali, jadi tidak dipanggil dan tidak juga diperiksa tak apalah. Mungkin menurut hakim ketua Armindo Pardede, Efran Basuning dan Willem Rompis, merekalah yang menentukan kepatutan sidang di negeri ini.

Entah negeri ini dipandang sebagai negeri anata beranta, sehingga hakim mengabaikan sidang-sidang tersebut, walau bertentangan dengan tata cara sidang yang telah diatur menurut undang-undang. Entah karena suap menghadang. Wallahualam ? !.

Dengan proses sidang yang terus ditelikung kearah jalan sesat, terakrobati lagi oleh Mafia Peradilan secara telanjang mata melakukan langkah zig-zag dengan melakukan by pass proses persidangan rekayasa ke-agenda sidang Pembacaan Tuntutan, tanpa melakukan pemeriksaan kepada Terdakwa, atau telah bertentangan dengan pasal 189 ayat (1) KUHAP, kini menjadi preseden buruk bagi peradilan di Manado khususnya, Indonesia umumnya.

Jadi jelas ini merupakan peradilan diskriminatif. Dimana menurut ketentuan umum Bab 1 pasal 1 butir 9, menegaskan, mengadili adalah merupakan serangkaian tindakan hakim untuk menerima memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas jujur dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Lantas, ada apa dibalik langkah misterius majelis hakim hingga harus mengabaikan tata cara dengan tanpa melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa, saksi verbalism dan saksi meringankan ?. Lalu mengapa melakukan tindakan mengistimewakan korban SH. Sarundajang, hingga menunjukkan sikap memihak dan tidak dilakukan pemeriksaan korban ?. Ada maksud dan tujuan apa majelis hakim menciptakan peradilan sesat macam ini ?. Apakah majelis hakim sudah disuap ?.

Apalagi, pada episode sidang by pass pembacaan BAP saksi Ir. Xandramaya Lalu, sidang berlangsung secara otoriter. Padahal sebagaimana asas hukum butir h pada poin 1. Penjelasan Umum KUHAP, dijelaskan Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.

Demikian pula, saat terdakwa ke Jakarta menjenguk anak sakit yang telah dilakukan pemberitahuan secara patut, lagi-lagi dilakukan siasat sidang penetapan penahanan tanpa dihadiri terdakwa.



















Bab 2

Rentetan Peradilan Sesat






Klimaks rekayasa persidangan yang penuh dengan intrik dan trik penyesatan ala Ketua Majelis Hakim Armindo Pardede, SH, MAP Cs ini, terus melahirkan kontroversi penyesatan demi penyesatan dengan agenda sidang rekayasa/ inprosedural atau bertentangan dengan KUHAP.

Dimana dilahirkan proses sidang menyimpang berupa sidang baca BAP ke baca BAP. Yaitu mulai dari baca BAP saksi Korban, SH. Sarundajang, baca BAP Saksi fakta Ir. Xandramaya Lalu dan baca BAP Terdakwa Ir. Henry John Ch. Peuru, dan terus bermuara keagenda by pass/ telikungan sidang pembacaan Tuntutan.

Mencermati fenomena rekayasa sidang baca BAP ala Ketua Majelis Hakim Armindo Pardede, SH,.MAP, yang dimuati dengan serial kisah pemaksaan kehendak demi pemaksaan, saya tidak akan patah arang untuk berjuang.

Saya kemudian mengkalkulasi rentetan kejahatan hukum yang dilakukan oleh Armindo Cs, antara lain sejak proses sidang yang berjalan tidak sesuai dan penuh dengan rekayasa dan penyimpangan, yaitu pertama, pada sidang pertama, bukannya memeriksa saksi Korban, namun sidang pertama memeriksa saksi a charge atau bertentangan dengan KUHAP pasal 160 ayat (1) b.

Kedua, pada pemeriksaaan pertama, bukan saksi korban, Ketua Majelis Hakim Armindo Pardede, SH,. MAP dua (2) kali memberikan pernyataan sepihak : “Kok semua Tidak benar ! dengan nada geram, Tulis,” tegasnya dengan nada keras kepada Panitera ! yang jelas telah melanggar tertib acara tentang kepatutan independensi hakim yang diatur sesuai pasal 158 KUHAP.

Ketiga, tiga (3) kali saksi korban tidak hadir untuk pemeriksaan dipersidangan, tanpa memberikan bukti alasan ketidak hadiran saksi korban, yang selalu mengaku keluar negeri untuk tugas kenegaraan, apakah berupa surat tugas dari Presiden, Menteri Dalam Negeri, SPPD, Menteri Terkait, visa maupun pasport. Sehingga perlakuan istimewa hakim Armindo Pardede, jelas bertentangan dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim C. 1. Berperilaku Adil poin 4.

Keempat, tidak pernah dilakukan pemeriksaan, sehingga kami harus menolak pembacaan BAP, termasuk melakukan walk out untuk pemaksaan pembacaan BAP dengan berdalih sesuai aturan pasal 162 ayat (1 dan 2) KUHAP.

Kelima, tidak pernah memeriksa atau menunjukkan bukti alasan sakit (surat sakit) saksi fakta Ir. Xandramaya Lalu yang walau telah dipanggil sebanyak empat kali, namun tetap inkar hingga dilakukan pembacaan BAPnya, sehingga kami walk out lagi.

Keenam, telah tiga (3) kali kami meminta pemeriksaan saksi verbalism yang telah dijanjikan akan dihadirkan untuk dilakukan konfrontir atas surat laporan polisi yang tidak diakui/ ditolak oleh pelapor bukan korban, sebagai bukan laporannya, sebagaimana diatur pada pasal 160 ayat (1) c KUHAP. Akhirnya tidak diperiksa.

Ketujuh, demikian pula tidak dilakukan pemeriksaan saksi meringankan yang telah kami persiapkan dari Tim Pencari Fakta Korban Pembunuhan Penculikan Kekerasan dan Teror (TPF BULIKT’S), sebagaimana diatur pula pada pasal 160 ayat (1) c KUHAP.

Kedelapan, tidak pernah dilakukan pemeriksaan kepada Terdakwa atau menghilangkan alat bukti yang sah sebagaimana amanah undang-undang KUHAP pasal 184 ayat (d) dan (e). Anehnya disimpangkan ke-agenda pembacaan Tuntutan. Dimana akhirnya tertunda-tunda, karena atas proses persidangan sesat ini, saya laporkan kepada ketua PN. Manado.

Atas delapan akumulasi rekayasa penyesatan di PN. Manado ala Armindo Pardede, SH,.MAP, setelah melaporkan kepada Ketua PN. Manado, yang belum ditanggapi, saya langsung melapor dan meminta pemeriksaan pihak Pengadilan Tinggi Manado, atas sikap hakim yang berat sebelah, berpihak tidak adil dan tidak jujur.

Buntutnya, sekalipun telah menyimpang, peradilan sesat kembali terjadi dengan melahirkan sidang penetapan penahanan tanpa kehadiran terdakwa. Apa Armindo sudah menerima Suap ? ? . Walahualam.



















Bab 3

Melapor Ke PT. Manado





Merasakan adanya rancangan rekayasa sidang yang sangat tidak jujur dan berat sebelah serta sangat diskriminatif tersebut, maka saya kemudian melakukan protes dan membahasnya dengan pihak LBH Manado.

Kami memutuskan untuk tidak akan mengikuti sidang yang ditetapkan secara sepihak pada minggu depan. Sambil akan mempelajari dan melihat reaksi atas putusan kedepannya yang perlu kami ambil.

Dari keputusan tersebut, saya kemudian memutuskan menindaklanjuti dengan membuat surat protes dan meminta pihak Pengadilan Tinggi Manado untuk melakukan penelitian dan pemeriksaan atas jalannya sidang yang bersifat berat sebelah dan menyimpang tersebut.

Pada hari pertama memasukkan laporan pengaduan mengenai penyimpangan proses peradilan di PT. Manado dengan judul surat : Melawan Peradilan Sesat di PN. Manado, setelah diterima bagian pengawasan, saya kemudian diterima dan dimintai keterangan oleh salah seorang Hakim Tinggi.

Kemudian saya susulkan surat yang sama ditambah surat permintaan pergantian Ketua Majelis Hakim Armindo Pardede. Surat-surat ini berkali-kali saya kirimkan, agar laporan saya diperhatikan baik oleh ketua PN. Manado maupun pihak PT. Manado.

Dimana selama itu, sidang tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Dimana kemudian mencuat polemik surat panggilan sidang, yang tidak pernah saya terima dan atau dilayangkan kepada saya secara patut sebagaimana prosedur tata cara pemanggilan yang diatur sesuai KUHAP pasal 145. Padahal ketika itu saya pun mengikuti sidang perdata rekayasa II.

Dalam perjuangan saya untuk mencari keadilan baik di PN. Manado maupun di PT. Manado, total surat yang saya layangkan, 3 lembar surat, barulah respon atas laporan saya dijawab pihak PT. Manado. Sementara ketua PN. Manado, hanya mengatakan akan melakukan konsultasi dengan pihak PT. Manado.

Setelah hampir sebulan laporan tersebut saya layangkan, barulah saya dipanggil via SMS oleh pihak PT. Manado, bahwa akan dilakukan pemeriksaan oleh 3 orang Majelis Hakim Tinggi PT. Manado.

Kemudian saya mendatangi PT. Manado, dan saya diperiksa oleh 3 orang Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Manado, masing : Hakim Tinggi Andreas Don Rade, SH.,MH, sebagai ketua didampingi anggotanya Guntur P.J. Lelono, SH,.MH, dan Susanto, SH didampingi Panitera Pengganti Hj. Marie Ismail.














Bab 4

Minta Penggantian Hakim





Merasa adanya peradilan sesat yang mengarah adanya upaya rekayasa proses peradilan di PN. Manado. Apalagi sumber informan saya, menyebutkan adanya suatu pertemuan orang-orang tertentu yang telah mengatur jalannya sidang.

Namun kebenaran informasi tersebut masih belum dapat dipastikan keabsahannya. Informasi tersebut disampaikan di ruang makan Hotel Kawanua, pada saya bersama sahabat-sahabat wartawan lainnya.

Mendengar adanya scenario tersebut, maka saya pun memutuskan untuk mengambil langkah tertentu, berupa permohonan penggantian ketua majelis hakim. Apalagi, setelah adanya ancaman, saya merasa sudah tidak aman dan tidak kondusif lagi.

Dan saya anggap ini begitu penting, didalam mencari keadilan di Pengadilan sebagai tiang utama dalam penegakkan hukum dan keadilan, agar berjalan secara obyektif, adil dan jujur serta tidak berat sebelah dapat dicapai.

Belum ada jawaban atas surat pertama, saya menyusulkan surat berikutnya sebanyak 2 kali, kepada ketua PN. Manado dan ditembuskan ke PT. Manado, dibarengi pula dengan menanyakan langsung kepada ketua PN. Manado.

Konfirmasi kali kedua, ketua PN. Manado tidak berada di PN. Manado, karena sedang mengambil cuti. Pertanyaan berikutnya, saat ketua PN. Manado Edy Sudharmono kembali hadir, menyatakan akan dikonsultasikan dengan pihak PT. Manado.

Foto : Scane Koran tuntut ganti hakim


Bab 5

Ancaman Mafia






Sejak laporan tersebut saya masukkan ke PT. Manado, saya diancam oleh sekelompok orang baik berupa sms maupun telepon. Bahkan SMS tersebut bukan saja diarahkan kepada saya, namun juga diarahkan kepada istri saya di Jakarta. Rupanya teror sengaja ditebar keseluruh keluarga.

Kepada istri saya di Jakarta, SMS dari nomor tidak dikenal, berbunyi rencana pembunuhan. Atas ancaman SMS tersebut, kemudian istri saya menginformasikan kepada saya, dan saya sarankan segera sampaikan ke LPSK. Istri sayapun langsung melaporkan ke LPSK tentang adanya ancaman tersebut.

Sementara anak saya Risa Christie mahasiswi Fakultas Hukum UNSRAT, pun didatangi oleh orang yang tidak dikenal di Bitung ketika sedang berlibur pada temannya disana. Dia ditanyai beberapa hal yang sifatnya menekan. Berbau ancaman.

Atas ancaman yang menimpa keluarga kami, keluarga temannya yang kebetulan keluarga teman saya juga, kemudian mewanti-wanti agar anak saya tidak keluar sembarangan. Dan mereka melakukan pengawasan yang cukup ketat.

Sambil menunggu pemeriksaan di PT. Manado, bukan saja dirongrong ancaman via SMS, namun tekanan fisik pun mulai dirancang. Di Tomohon, ketika saya sedang bersama-sama teman-teman, usai di SMS, kami didatangi oleh sekelompok orang berkendaraan sebuah mobil kijang dan 2 kendaraan bermotor, namun kami dapat menghindar lari lewat belakang toko.

Mereka memburu saya hingga ke Kota Tomohon sekitar jam 23.00 wita malam. Perburuan tersebut, bukan hanya ke Tomohon, namun hingga ke Kelurahan Tara-tara Kota Tomohon. Mereka mengira saya menginap dirumah kepala Perwakilan Tabloid Buser Sulut Bertje Rotikan.

Gelagat ancaman yang membuat suasana keamanan saya menjadi tidak kondusif lagi, saat pemeriksaan juga saya beritahukan kepihak pemeriksa Majelis Hakim Tinggi PT. Manado, dan dicatat baik SMS maupun nomor HP asal SMS ancaman tersebut.

Sumber saya menyebutkan bahwa ancaman tersebut diduga terkait dengan laporan saya ke PT. Manado, serta adanya informasi saya akan segera ke Jakarta untuk melaporkan kasus penyimpang sidang tersebut, termasuk adanya agenda aksi yang akan saya lakukan di Jakarta, yang menurut info tersebut bisa mengganggu agenda ujian Doktor SH. Sarundajang di UGM. Entah siapa yang menghembus isu-isu buruk tersebut, tak jelas sumbernya. Atau memang munculnya ketakutan tersebut karena perbuatan mereka sendiri.

Foto : PT. Manado.
















Bab 6

Berhenti Sekolah Karena Ancaman





Melihat dan merasakan adanya ancaman yang terus memprovokasi proses persidangan, saya kemudian melakukan tindakan ekstra hati-hati, apalagi sebelumnya, saya telah mengalami renteten rekayasa yang selalu dijadikan alasan dipolisikan, bila saya salah melangkah sedikitpun.

Sayangnya rasa was-was yang saya alami, bukan hanya mengitari semua kegiatan saya, namun lebih dari pada itu, telah menohok hingga mengganggu ketenangan kehidupan keluarga saya. Istri-pun walau tinggal di Jakarta, mengalami teror SMS, akan dibunuh.

Atas ancaman SMS tersebut telah dilaporkan ke LPSK dan Majelis Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Manado. Kami memberikan lengkap dengan materi sms dan nomor hand phone sumber sms.

Demikian pula, ancaman ini telah diterima anak wanita saya mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangie Manado. Dia diancam berupa investigasi tertentu yang mengaku dari wartawan, saat liburan bersama temannya di Bitung.

Akibatnya, keluarga yang juga kebetulan teman saya dimana dia berlibur, menjadi was-was dan selalu melakukan pengawasan ekstra hati-hati. Mereka dicegah untuk keluar terlalu jauh atau keluar tanpa rombongan atau tanpa orang tua.

Saya-pun dalam kesibukan dalam meghadapi sidang yang sedemikian berat dan harus penuh awas dan ekstra hati-hati baik dipersidangan maupun diluar sidang, rasanya terlalu sulit melindungi dan mengawasi anak wanita saya : Risa Christie.

Melaporkan kepada Polisi atas berbagai ancaman yang ada, kami sudah pesimis, soalnya, sudah lumayan banyak laporan yang kami sampaikan atas ancaman teror hingga ketindakan kekerasan sekalipun, tak satupun yang ditindaklanjuti. Jadi kami harus mencari jalan keluar sendiri, untuk sementara waktu. Entah apakah Polisinya bagaimana, kami tidak tahu.

Apalagi menyangkut keamanan anak wanita saya yang sedang kuliah di Fakultas Hukum UNSRAT Manado. Kami tidak mau lagi kecolongan atas peristiwa yang dilakukan kaki tangan Sarundajang yang membawa dan mengancam ketiga anak kami kerumah dinasnya.

Sebagai anak wanita, tentunya kami begitu khawatir, sehingga harus memutuskan dengan berat hati akan keselamatannya, walau harus menghentikan kuliahnya sekalipun. Hal tersebut, kemudian saya konsultasikan tentang kekhawatiran saya dengan istri dan oma opanya.

Mencermati kondisi yang demikian buruk dan menegangkan, saya kemudian juga harus bijak membicarakan dengannya untuk menunda kali kedua kuliahnya, apakah dia rela atau tidak karena menyangkut masa depannya.

Hasil pembicaraan saya dengannya, pilihan terbaik akan berhenti kuliah, untuk menghindari resiko ancaman, yang bukan tidak mungkin bisa terjadi, mengingat apa yang dialami sebelumnya, dimana mereka bertiga sempat dibawah (“sandera”) dan diancam dirumah Gubernur, walau dengan berat hati mengingat masa kuliahnya yang duduk ditingkat akhir.

Dia juga memang merasa takut atas kemungkinan yang lebih buruk terjadi dan tak diingini. Dimana Risa tidak mau menerima resiko yang sama atau lebih berat dengan adiknya Prasetyo yang saat ini karena ancaman dirumah Gubernur, menjadi sakit : Tekanan Mental !. Yang saat ini harus berhenti sekolah. Sehingga dengan berbagai pertimbangan atas kemungkinan serta resiko yang bisa saja terjadi, kami harus memutuskan kuliahnya dihentikan.

Memang ada pemikiran untuk memilih pindah kuliah, namun soal pembiayaan yang besar, menjadi persoalan baru yang cukup berat bagi kami. Apalagi terus dilindas dan ditindas serta dikriminalisasikan oleh Mafia Hukum dan Mafia Peradilan Sulut.

Dari berbagai pertimbangan dan alternatif yang telah kami pikirkan bersama, maka pilihan penundaan kuliah sementara waktu menjadi pilihan kami. Dan tempat yang paling aman adalah keluarga. Jadi dia harus diberangkatkan ke Kota Tangerang Selatan berkumpul bersama adik-adiknya.

Dengan terpaksa dia harus menunda kuliahnya. Berat rasanya harus meninggalkan dunia kampus dan rekan-rekan kuliahnya, namun apa boleh buat, semua harus dijalani sebagai bagian dari perjuangan bersama. Risa yang menjadi takut karena ancaman yang juga menyadari kondisi kami yang mulai terseok-seok baik dari kondisi ekonomi keluarga maupun ketenangan keluarga, akhirnya mengambil pilihan berat : Meninggalkan bangku kuliahnya, berangkat dan berkumpul bersama adik-adiknya di Serua Ciputat Kota Tangerang Selatan.

Sayapun mengurusnya berangkat ke Jakarta, meninggalkan dunia mudanya di Kampus. Yah, bagi saya, ini bagian dari pengorbanan keluarga untuk sebuah perjuangan besar yang kian mendorong agar saya terus berjuang dan berjuang.

Merekapun merasa bisa memaklumi apa yang saya yakini dan apa yang saya perjuangkan demi keadilan dan kebenaran yang menimpa keluarga kami. Walau begitu berat berbagai tekanan dan resiko yang harus kami pikul.

Bahwa semua yang menimpa keluarga saya, bukan sesuatu yang harus disesali, tetapi menjadi bagian dari perjuangan bersama yang makin memotivasi saya dan keluarga untuk terus berjuang dan berjuang sampai kapanpun dan dimanapun. Walau karena ancaman tersebut, sekolah anak harus dihentikan.

Kini, sampai buku edisi revisi ini diluncurkan, dua anak saya : Risa dan Prasetyo, pendidikannya menjadi berantakan. Keduanya harus berhenti sekolah. Risa berhenti karena ancaman, sementara adiknya berhenti sekolah karena mengalami sakit : Tekanan Mental yang sedang dalam penyembuhan. Tinggalah adik bungsu mereka yang sekolah dan baru lulus sekolah dasar di SDN Serua Neg. 1. Kota Tangerang Selatan.

Sebagai anak tertua, Risa bahkan selama saya dipenjara, juga menjadi tulang punggung keluarga. Dia berbisnis lewat BB, setelah memperoleh hasil penjualan buku edisi pertama yang cetakannya dibuat tergesa-gesa.

Foto Risa



















Bab 7

Diperiksa Hakim Tinggi




Selama menunggu jawaban penggantian ketua majelis hakim, saya juga terus melakukan konfirmasi atas surat laporan saya ke PT. Manado, menyangkut prosesi peradilan yang tidak benar dan menyimpang.

Sampai suatu waktu dihari Kamis April 2011, saya di SMS oleh seorang staf PT. Manado dibagian pengawasan untuk mengambil surat panggilan pemeriksaan atas laporan saya, dengan judul Melawan Peradilan Sesat di PN. Manado.

Disampaikan pula, surat tersebut terkait dengan pemeriksaan yang akan dilangsungkan pada hari Senin. Apakah akan diantar atau dikirim langsung.

Melalui SMS saya katakan nanti saya ambil besok. Tepatnya usai makan siang saya pergi mengambil surat panggilan tersebut. Dimana surat tersebut ditandatangani ketua Majelis Hakim Tinggi yang akan memeriksa adalah Andreas Don Rade, SH., MH.

Hari Senin, saya mendatangani PT. Manado, pada jam 8.00 wita, dibagian pengawasan, kemudian diantar kelantai 2 tempat diadakan pemeriksaan.

Disana telah lebih dulu sampai hakim Armindo Pardede, SH., MAP, sebagai ketua majelis hakim yang saya lapori. Saat saya sampai, beliau baru keluar dari ruangan salah seorang hakim, bersama Hakim Tinggi Susanto, SH.

Setelah itu saya dipanggil masuk untuk didengar keterangan saya. Dihadapan Majelis Hakim Tinggi Andreas Don Rade, SH., MHum, sebagai ketua didampingi anggotanya Guntur P.J. Lelono, SH,. MH, dan Susanto, SH didampingi Panitera Pengganti Hj. Marie Ismail.

Pada pemeriksaan tersebut, ditanyakan seputar kronologis hingga terjadinya rekayasa tindak pidana tersebut. Demikian pula menyangkut komplein adanya pasal sesat 335 yang didakwakan tidak sesuai BAP ditingkat penyidik.

Bahkan soal ketidakhadiran Korban SH. Sarundajang, yang selama mengirim surat keterangannya, selalu tidak dimintai bukti SPPD, Surat Tugas Negara, Surat Izin Mendagri, Paspor maupun Visa, sebagai bukti dimana keberadaan korban.

Juga dimintai tanggapan soal apa yang dimaksud diskriminatif yang tertuang dalam surat laporan saya, yang dijelaskan bahwa setiap warga sama dimata hukum menjadi tidak berlaku karena Korban tidak dihadirkan dalam persidangan dan diperlakukan sangat istimewa.

Pemeriksaan tersebut, ditanyakan pula soal siapa pelapor dan Korban di BAP keberapa dan darimana berkas perkara diperoleh. Saya kemudian menjelaskan berkas perkara saya peroleh dari majelis hakim yang saya minta dipersidangan.

Sementara soal BAP korban sesuai berkas perkara Korban SH. Sarundajang, diperiksa kedua pada jam 14.00 wita, setelah pelapor bukan korban Boy Watuseke diperiksa pertama pada jam 12.00 wita.

Juga saya jelaskan berkas penyidik yang berlepotan tip eks termasuk keberadaan cap bulat lonjong pada RESUME yang biasa dipakai secara internal oleh Polisi. Termasuk seluruh BAP yang menerangkan Korban Saksi-saksi maupun Tedakwa yang didengar keterangannya sesuai pasal 310 dan 315 menjadi lain pasal 335.

Sementara dalam persidangan Korban tidak diperiksa pertama sesuai pasal 160 KUHAP, demikian juga pernyataan hakim : kok semua tidak benar !, sebagai suatu pernyataan berbau keberpihakan atau bersifat berat sebelah.

Dijelaskan pula ketidak hadiran seorang saksi BAP Ir. Xandramaya Lalu sebanyak 4 kali, tidak pernah diperlihatkan dan dibacakan surat keteranganya termasuk surat sakit atau izin lainnya. Adalah aneh langsung dibacakan BAPnya dipersidangan, sehingga kami memilih walk out untuk kali kedua.

































Bagian Sembilan ;

Sakit Anak Kambuh




Masih dalam proses pengaduan di PT. Manado, tiba-tiba saya dikejutkan dengan informasi dari Jakarta, tentang kambuhnya sakit mental anak saya. Dia telah bertindak diluar control kesadarannya.

Bahkan suatu waktu pernah dikeroyok sekelompok pemuda yang tidak tahu kondisi mentalnya. Tindakan lain yang juga telah sangat membahayakan dirinya, pernah melompat dari lantai 3 gedung sekolahnya.

Cerita melompat dari lantai 3 gedung sekolahnya, pun baru saya ketahui saat menemui Guru pembinaan Siswa Ibu Ika Kusumastuti, Skom, ketika membicarakan keinginan sekolah anak saya, yang selalu ditanyakan kepada saya sejak dia berhenti sekolah. Dimana Ibu Ika menyatakan peristiwa itu didengar dari teman-temannya yang menyebabkan hidungnya berdarah, namun tak diketahuinya apakah terbentur sesuatu dia tidak tahu persis. Karena Prasetyo menyatakan tidak apa-apa, sehingga dia tidak begitu khawatir.

Karena tindakannya sudah sangat membahayakan dirinya, keputusan dokter dari RSCM, untuk dilakukan rawat inap. Apalagi, dia sering keluar rumah tanpa batas baik pagi, siang, malam bahkan subuh dini hari.

Sebelumnya juga mengalami hal yang sama. Sakit anak saya, merupakan dampak dari tekanan dan ancaman yang dilakukan SH. Sarundajang dan kaki tangannya beberapa waktu lalu di Rumah Dinasnya kompleks Bumi Beringin, termasuk dampak beberapa tekanan lainnya yang berhubungan dengan serentetan rekayasa oleh Mafia Hukum.

Bermula dari upaya damai yang saya tolak terus, ke-3 anak saya ternyata diincer untuk dipengaruhi agar bisa meluluhkan hati saya untuk berdamai dengan SH. Sarundajang. Melalui Jefry Tampomalu, kaki tangannya menemukan keberadaan anak saya.

Jefry sendiri mengakui kepada saya, bahwa dia tidak mengetahui maksud dari Steven Liow, SSos untuk mendekati anak-anak saya, yang akhirnya diketahui sempat dibawah oleh Steven dan Novel kerumah Dinas Gubernur Sulut SH. Sarundajang.

Disana ketiga anak saya dibujuk rayu, bahkan diminta secara tidak etis untuk memisahkan kami. Merekapun sempat diancam, dan dikatakan akan terjadi sesuatu terhadap ayah mereka apabila ayah mereka tidak mau berdamai.

Dampaknya, salah seorang anak saya yang cukup pendiam, mengalami sakit : Tekanan Mental. Ada sekitar 3 kali tekanan yang terjadi padanya, pertama saat pengepungan dan menyeret saya di rumah didesa Boyong Atas, kedua dipindahkan dari SMA Neg. Amurang ke SMU Neg I Manado, ketiga dibawah dan diancam di Rumah Dinas Gub. Sulut Bumi Beringin.

Maka pilihan saya, harus ke Jakarta menyelamatkan anak saya atas dampak rekayasa tindak pidana yang dilakukan Mafia Hukum Sulawesi Utara, yang telah 2 kali dialami anak saya. Kejadian tersebut, juga telah saya konsultasikan dengan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Manado yang telah memeriksa saya.

Dari saran Ketua majelis Hakim Tinggi Andreas Don Rade, SH., MH, dipersilahkan untuk melihat anak saya dulu. Demikian juga diminta untuk membuat surat ke PN. Manado, atau kalau kamu tidak sungkan temui ketua majelis hakim dan atau memberitahukan kepada pengacara mengenai keberangkatannya ke Jakarta.

Pilihannya, saya menuruti saran pak Andreas dan langsung membuat surat dan menyerahkan kepada panitera Pengganti Joppy Singal, tembusan ketua PN. Manado, Majelis Hakim Tinggi dan ketua PT. Manado. Sekaligus memberitahukan ke Ketua Majelis Hakim Armindo Pardede, SH., MH.

Joppy sendiri tidak mau menerima surat tersebut, entah mengapa. Dari sini, saya makin melihat dan merasakan sikap berat sebelah. Saya juga menemui dan melapor langsung ke ketua majelis hakim Armindo Pardede, SH., MAP. Sama seperti sikap panitera pengganti, Hakim Armindo nampak acuh ta acuh.

Sambil mengatakan sesuatu yang tak begitu kedengaran, dia terus meninggalkan saya begitu saja. Entah mungkin dia marah karena saya melaporkan perbuatannya hingga menciptakan persidangan yang penuh keganjilan ke PT. Manado, entahlah.

foto : Steven Liow, Novel, Gubernur dan rumah Gubernur.

















Bab 1

Konsultasi Anak Sakit




Mendengar kabar dari istri saya bahwa anak saya sakit mentalnya kambuh lagi, yang meminta agar saya segera datang ke Jakarta sesuai hasil konsultasinya dengan dokter, saya katakan akan melakukan konsultasi dengan Majelis Hakim Tinggi yang sedang memeriksa saya.

Istri saya juga menceritakan bagaimana tingkah lakunya yang tidak dapat dikontol, karena selalu keluar setiap hari tanpa pemberitahuan tanpa memandang waktu, mulai pagi, siang, sore, malam bahkan hingga waktu dini hari.

Sudah begitu barang yang dibawah keluar selalu hilang atau diberi orang. Bahkan karena ulahnya yang tidak terkontrol, dia sempat dikeroyok oleh beberapa pemuda dan telah dilaporkan ke Polsek Ciputat.

Karena situasi yang telah membahayakan dirinya dan orang lain, anak saya dimasukkan ke RSCM bagian psykiatri Remaja dan Anak. Untuk itu, istri saya meminta agar saya harus segera datang, sesuai permintaan dokter.

Semua kejadian ini saya sampaikan dan konsultasikan dengan Ketua Majelis Hakim Tinggi Andreas Don Rade, SH., MH. Dimana saya juga menerangkan sakit yang menimpa anak saya, sejak dia dibawah kerumah Dinas Gubernur SH. Sarundajang.

Dari konsultasi tersebut, kemudian disarankan untuk membuat surat resmi dan diberikan kepada Ketua Majelis Hakim PN. Manado, atau kalau kamu sungkan, beritahu ke pangacara kamu.

Sayapun memilih membuat surat yang ditujukan kepada Majelis Hakim tembusan ketua PN. Manado, Ketua PT. Manado dan Majelis Hakim Tinggi Manado, termasuk melaporkan secara langsung kepada ketua majelis hakim Armindo Pardede, namun diacuhkan.
































Bab 2

Koreksi BAP PT. Manado





Setelah beberapa hari sebelumnya saya berkonsultasi dengan Hakim Ketua Majelis Tinggi PT. Manado, untuk permohonan penundaan sidang karena sakit anak saya kambuh lagi, disamping dia menyetujui permintaan saya, pak Andreas juga meminta untuk melakukan koreksi ulang atas hasil pemeriksaan oleh 3 orang Majelis Hakim Tinggi PT. Manado.

Sebab menurut pak Andreas, akan segera dikirim ke Jakarta. Jadi, harus dilakukan koreksi ulang. Pengoreksiannya dilakukan pada hari Jumat, dimana pada hari Jumat itu juga saya masukkan surat pemberitahuan penundaan sidang ke majelis hakim PN. Manado, ditembuskan kepada ketua PN. Manado, ketua Majelis Hakim Tinggi PT. Manado dan ketua PT. Manado.

Saya melakukan koreksi kepada panitera Hj. Marie Ismail hingga sore hari, karena ada beberapa yang tidak sesuai pemeriksaan. Setelah dikoreksi, baru kemudian saya menanda tangani BAPnya, dihadapan Majelis Hakim Tinggi PT. Manado. Berikut hasil koreksinya atas cacatan lain yang salah :

  1. Perubahan kalimat : Korban diperiksa pertama sebagaimana ditulis Panitera Pengganti, tidak sesuai pemeriksaan yang benar diganti : Korban diperiksa kedua Sabtu Jam 14.00 Wita setelah pelapor diperiksa pertama jam 12.00.

  2. Perubahan kalimat : Penyerahan berkas perkara oleh pengacara tidak sesuai pemeriksaan, tidak sesuai pemeriksaan yang benar diganti : Diserahkan oleh Majelis Hakim melalui Panitera Pengganti.

  3. Atas jawaban tidak benar menjawab pertanyaan hakim : Dimasukkan tanggapan hakim, Kok tidak benar, sebanyak 2 kali atas saksi Oscar dan Meiky.

Setelah ketiga keterangan tersebut dicantumkan dalam BAP, baru kemudian saya tanda tangani BAP didepan Majelis Hakim Tinggi PT. Manado, Bapak Andreas Don Rade, SH., MH, sebagai ketua didampingi anggotanya Susanto, SH didampingi Panitera Pengganti Hj. Marie Ismail.

Dalam lembaran Berita Acara Pemeriksaan, disetiap lembaran kertas BAP tersebut tidak dilakukan pemarafan.

























Bab 3

Menjenguk Anak Sakit







Pada hari sabtu, tepatnya pukut 14.00 wita, siang saya kemudian berangkat ke Jakarta, menumpang pesawat Lion Airlines untuk melihat kondisi kesehatan anak saya, setelah memperoleh izin dari Ketua Majelis Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Manado.

Sarannya, agar segera memasukkan surat pemberitahuan penundaan kepada Ketua Majelis Hakim Pengadilan Manado. Surat pemberitahuan penundaan tersebut, kemudian saya sampaikan pada hari Jumat kepada panitera pengganti Joppy Singal, SMh dan Ketua Majelis Hakim Armindo Pardede, SH,. MAP.

Saya harus berangkat, karena menurut istri saya, berdasarkan konsultasi dengan dokter psykiatri di RSCM Prasetyo sangat cemas dan membutuhkan kehadiran saya.

Tiba sore hari menjelang malam di Jakarta, saya kemudian menelepon istri yang saat itu sedang menjenguk anak saya di RSCM. Pasalnya, anak saya hanya bisa dijenguk sore hari sekitar jam 17.00 hingga jam 19.00 Wita.

Setelah berbincang beberapa saat, dia memberikan hand phone kepada anak saya, dan memberitahu ini dari papa. Saya pun berbicara banyak dengan dia walau sedikit ngelantur, dan saya juga menyampaikan kepadanya bahwa saya sudah di Jakarta.

Saya menanyakan perkembangannya, dan dia mengatakan baik walau agak kurang terarah. Dia bahkan meminta saya agar segera melihatnya, namun oleh ibunya, papa belum bisa datang, karena jam besuk sudah habis, jadi tidak mungkin datang.

Ibunya pun menyampaikan kepadanya kalau besok baru bisa. Akhirnya dia menyatakan, “papa kan besok datang mau keluarkan Tyo kan ?,” tandasnya. Saya kemudian menyampaikan kepadanya besok papa pasti datang, tapi soal keluar harus bicara dan konsultasi dulu dengan dokter.

Besok siangnya, saya datang ke RSCM, untuk mengunjungi dia sambil mampir dulu ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Disana disamping istri saya juga sudah janjian dengan mereka, saya juga ingin menyampaikan dan berkonsultasi soal proses persidangan yang berat sebelah dan menyimpang.

Di LPSK, kami menemui Ibu Lili Siregar, pak Basuki dan Bambang, mereka kemudian menanyakan perkembangan anak kami Prasetyo, serta bagaimana kondisi yang sebenarnya sehingga bisa masuk rumah sakit.

Istri saya kemudian menceritakan bagaimana dia masuk, karena ulahnya yang sudah tak dapat dikontrol, sehingga dokter menyarankan untuk rawat inap. Alasannya, tindakan Tyo sudah mengarah kepada tindakan yang membahayakan dirinya dan orang lain.

Dimana sering keluar rumah tanpa waktu, mulai pagi siang, malam bahkan tengah malam dini hari. Akibatnya dia pernah dikeroyok sekelompok pemuda. Bahkan pernah melompat dari lantai 3 disekolahnya, walau itu diatas pasir.

Sementara mengenai keluhan saya atas proses persidangan, mereka menanggapinya dengan membuat rencana untuk mengunjungi Manado dalam beberapa hari untuk melakukan peninjauan sesuai agenda kerja mereka terkait dengan rentetatan rekayasa kasus yang saya hadapi.

Sorenya saya menemui anak saya, dan berbicara banyak dengan dia. Tyo kelihatan begitu bahagia atas kedatangan saya. Istri saya menceritakan, bahwa menurut dokter Tyo sangat membutuhkan saya dan selalu merasa khawatir soal saya di Manado.

Kami pun membuat janjian dengan dokter untuk pertemuan konsultasi dengan dokter terkait sakit anak saya. Dalam perjanjian pertemuan, disepakati kami akan bertemu besok sekitar jam 11.00 siang di RSCM.

Keesokannya, kami melakukan konsultasi sekitar jam 11 siang. Dokterpun menceritakan pemicunya terkait dengan kasus yang saya hadapi, serta bagaimana Tyo yang benar-benar membutuhkan kehadiran saya.

Tyo nampak gembira dan sangat bahagia atas kedatangan saya, bahkan setelah beberapa hari saya kunjungi, perkembangan kesembuhan nampak begitu cepat. Seolah kedatangan saya adalah obat yang ampuh. Dia benar-benar kembali bergairah.

Kami benar-benar tidak menyinggung soal persidangan yang saya jalani agar tidak menimbulkan kekhawatiran terhadap situasi perkembangan mentalnya. Saya benar-benar memilih berbicara disekitar kegiatannya, kami benar-benar focus dan berkonsentrasi sepenuhnya untuk penyembuhan sakitnya.

Hari-hari berikutnya, saya lebih banyak berkonsentarasi menemuinya, sehingga beberapa kali ajakan pertemuan dengan beberapa teman, tidak dapat saya penuhi, karena anak menjadi focus perhatian saya.

Foto : RSCM









Bab 4

Tekanan Pemicu





Sebagaimana pemeriksaan terdahulu yang pemeriksaannya dilakukan oleh Dr. Lena, dijelaskan masih terkait dengan peritiwa yang saya hadapi. Demikian juga pemeriksaan sebelumnya oleh Dokter Windarto di BSD, menerangkan dan bahkan menegaskan, bahwa sepatutnya anak-anak tidak boleh dilibatkan.

Dan karena kami ingin mengetahui persis penyebab sakit mental yang anak kami hadapi, apalagi ketika itu saya didesak dengan adanya situasi yang sangat memerlukan rekam medis anak saya, kami meminta tolong dokter untuk memberikan rekam medisnya.

Bahkan dorongan tersebut, dilakukan oleh pihak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Maka adalah kebijakan Dokter Lena, kemudian dikonsultasikan dengan beberapa dokter terkait pemeriksaan anak saya.

Hingga tibalah suatu waktu, kami dipanggil sekeluarga oleh Dokter Lena dan tim yang berjumlah sekitar enam orang untuk dimintai keterangan dan dilakukan pemeriksaan secara tim dari RSCM.

Tim dokter dipimpin oleh Dr. Surilena, SpKJ didampingi Dr. Ika W. SpKJ (K) Ka. Divisi Psikiatri Anak & Remaja Departemen Psikiatri FKUI/ RSCM, Dr. Wahjadi, SpKJ (K) Staff Departemen Psikiatri Divisi Forensik FKUI/ RSCM didampingi 3 dokter anggota lainnya, yang kemudian mengeluarkan Rekam Medis.

Demikian pula berdasarkan konsultasi dengan Dokter Surilena dan Dokter Imelda dijelaskan sebagai pemicunya adalah peristiwa yang menimpa mereka, yang mengalami interogasi dan tekanan lainnya.

Foto : SHS dan Bumi beringin

























Bab 5

Mendampingi Anak Sakit





Setelah berkonsultasi dengan dokter Imelda, dijelaskan bahwa anak saya membutuhkan pendampingan saya, apalagi dia terlihat sangat dekat ayahnya walau kadang jumpa karena sering ditinggali saya berlama-lama.

Kahadiran saya dinilainya sangat membantu dan memberikan reaksi yang cukup cepat untuk proses penyembuhan sakit Tyo. Diceritakan pula, bahwa Tyo sering menyebutkan tentang kekhawatiran terhadap saya di Manado.

Hal tersebut diceritakan pula oleh istri saya, bahwa kekhawatirannya terhadap keberaadaan saya di Manado yang mungkin akan dipenjarakan lagi oleh SH. Sarundajang, sangat membekas dari ingatannya ketika mereka diancam dirumahnya.

Pertemuan dengan Sarundajang dirumah dinasnya yang dibawa (“sandera”) oleh Mafia Hukum Sulut tersebut, merupakan salah satu pemicu yang mengakibatkan anak saya mengalami sakit tekanan mental.

Demikian pula penangkapan yang dilakukan di desa kami Boyong Atas Kec. Tenga Kab. Minahasa Selatan beberapa waktu lalu, diketahuinya dilakukan oleh Gubernur sebagaimana pengakuan sebagian masyarakat disana.

Bahkan kemudian ketika Prasetyo masih sekolah di SMU Negeri Amurang, dia dipindahkan lagi oleh Mafia Hukum tersebut ke SMU negeri 1 Manado, walau faktanya Tyo lulus ketiga terbaik di SMU Neg 1. Manado.

Sehingga karena 3 kali tekanan dan ancaman yang lebih menonjol diterima dibanding adik dan kakaknya, sementara dia cukup pendiam dibanding saudara lainnya, intensitas tekanan lebih terhadap Tyo hingga harus menerima akibat buruk tersebut.

Apalagi dia tahu persis semua rancangan yang terjadi kepada saya ayahnya, makanya dia menjadi sangat khawatir dengan posisi saya yang berada dan menghadapi persidangan di Manado karena berhadapan langsung dengan Gubernur, orang yang pernah mengancam mereka.

Atas dasar kekhawatiran tersebut, kondisi psykologisnya, sangat membutuhkan pendampingan saya, sampai dia yakin tidak ada yang perlu dikhawatirkannya. Bahkan pemulihannya, diarahkan kepada kesiapan mental untuk menghadapi situasi jelek sekalipun.

Hal ini yang menjadi target pengobatan oleh dokter Imelda, terkait dengan sakit anak kami. Karena itu, saya juga mengganggap penting kehadiran saya, apapun resikonya, demi menyelamatkan sakit anak saya akibat kekejaman dan kebiadaban Mafia Hukum, termasuk peradilan sesat di PN. Manado.
















Bagian Sepuluh ;

Klimaks Kebiadaban Penahanan






Memasuki minggu kedua mendampingi anak saya di Jakarta, saya dikagetkan dengan adanya keputusan majelis hakim tentang penetapan penahanan terhadap saya, Kamis 24 Maret 2011 sebagaimana diberitakan Koran Metro (25/3) yang menurut saya sebagai skenario kebiadaban rekayasa penahanan tanpa alasan hukum.

Apalagi bila dibandingkan dengan peradilan korupsi kontroversi ala Armindo Pardede, SH,.MAP terhadap sekitar 11 terdakwa korupsi proyek bencana alam Kab. Talaud, yang bersidang selam 2 tahun lebih baru di vonis 1 tahun penjara, yang tidak ditahan selama persidangan.

Kuat dugaan, kasus korupsi Kab. Talaud sudah didiamkan, karena telah menyedot dana suap sekitar miliaran rupiah. Tentunya, hakim yang demikian ini akan sangat dan telah memperburuk citra hakim di Indonesia, bila dugaan itu benar.

Soal penetapan penahanan saya, nampaknya sudah disetting. Karena alasan Jaksa telah memanggil hingga 4 kali, yaitu tanggal 17, 24 Februari, 3 dan 24 Maret 2011, adalah tidak benar, sebagaimana diberitakan dibeberapa media lokal di Manado, karena hanya merupakan kamuflase pesanan. Dimana dasar penuh kebohongan itu, merupakan konspirasi tipu daya yang sudah terbaca dari beberapa indikator sebelumnya.

Kontradiktif sekali dibandingkan dengan saksi Ir. Xandramaya Lalu yang juga dipanggil 4 kali tidak datang termasuk Korban SH. Sarundajang yang sudah 3 kali dipanggil tidak mau datang, bahkan tidak diperiksa dipersidangan, malah tidak dilakukan penahanan ?. Padahal mereka dengan sangat jelas telah mempersulit pemeriksaan. Ada apa ?. Jelas ini diskriminatif dan merupakan rekayasa dari majelis hakim yang diketuai Armindo Pardede, SH,.MAP.

Apalagi fakta persidangan peristiwa WOC bulan Februari 2007 tidak ada (null void) dan memiliki bukti selembarpun. Termasuk keterangan saksi yang tidak bersesuaian keterangan saksi dengan keterangan saksi lainnya. Dimana hanya merupakan rekayasa yang sengaja didesign untuk membungkam saya.

Sehingga atas tindakan majelis hakim tanpa dasar dan alasan hukum sesuai undang-undang, jelas merupakan tindakan biadab yang tidak patut dan bertentangan sesuai KUHAP pasal 158. Sehingga patut diduga telah terjadi penyuapan. Karena sudah melanggar Kode Etik dan Pedoman Hakim yang sepatutnya berlaku adil dan jujur dan tidak mengistimewakan salah satu pihak.

Bahwa ketentuan yang telah dilanggar, sesuai pasal 21 ayat 4b, penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal : tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.

Dasar lain yang menjadi dasar perintah penahanan atau penahanan lanjutan terhadap tersangka atau terdakwa, bila diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. Sementara sangkaan ini adalah sangkaan rekayasa yang dilakukan Mafia Hukum. Apalagi, alasan pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP, hanyalah produk manipulasi fakta hukum yang tidak ada sesuai pemeriksaan penyidik Polisi (tidak ada dalam BAP).

Sementara, saya telah memberikan surat pemberitahuan penundaan sidang secara resmi dan sah diketahui dan seizin Ketua Majelis Hakim Tinggi Andreas Don Rade,SH,.MAP, termasuk dengan pihak pengacara LBH Manado, yang juga telah mengizinkan saya berangkat ke Jakarta. Tidak melarikan diri menurut manipulasi Penuntut Umum.

Apalagi, tidak ada petunjuk adanya kegiatan Rapat dan kegiatan WOC dibulan Februari tahun 2007. Dimana tidak satupun alat pembuktian maupun unsur menurut hukum pembuktian yang dapat dihadirkan oleh saksi-saksi. Lantas syarat melakukan tindak pidana maupun bukti yang cukup tidak ada, apa yang menjadi dasar untuk menahan seseorang ?. Apa hakim sudah buta ?. Apakah karena penyuapan ?.

Sementara pasal 335 ayat 1 ke-1 KUHAP yang dijadikan alasan penahanan oleh penuntut umum Rielke Palar, SH, kepada beberapa wartawan (berita Manado.com), merupakan pasal hasil manipulasi fakta hukum yang diduga telah terjadi transaksi surat dakwaan ala Cyrus Sinaga. Dimana Rielke Palar, SH, juga terkait dugaan pemerasan kebeberapa terpidana antara 2 juta, 5 juta hingga 25 juta rupiah kepada terpidana Narkoba.

Kemudian pasal sesat 335 yang tidak sesuai BAP/penyidikan sebagai manipulasi fakta hukum atau tidak sesuai tindakan yang dituduhkan, anehnya dijadikan dasar penahanan, maka patut diduga telah terbangun rekayasa atau didesign konspirasi sesat ala Cyrus Sinaga untuk suatu maksud “misterius” tertentu.

Mengapa hakim mengambil alasan dengan menggunakan pasal MANIPULASI ?. Padahal tidak sesuai berkas perkara dari BAP penyidik, yang merupakan satu kesatuan dari alat bukti untuk diperiksa dipersidangan sesuai undang-undang. Apakah telah terjadi penyuapan ?. Sehingga dapat diduga, majelis hakim telah main sabun.

Bahwa Hakim pengadilan negeri dapat melakukan penahanan sesuai pasal 26 ayat (1) guna kepentingan pemeriksaan, sudah tidak tepat. Karena proses pemeriksaan dipersidangan telah dilakukan secara menyimpang tidak sesuai tata cara sebagaimana menurut KUHAP.

Bahkan tentunya menjadi termalukan lagi, bukan saya proses pemeriksaan tidak sesuai tertib acara KUHAP, tanpa memeriksa saksi Korban, saksi verbalism, saksi meringankan dan juga Terdakwa, dan langsung by pass ke sidang Penuntutan, namun dasar penahanan pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP, tidak sesuai BAP, atau telah dimanipulasi fakta hukumnya. Butakah mata hakim tanpa melihat dan membaca BAP berkas perkara yang berkali-kali saya sentil saat pembacaan eksepsi saya ?. Ataukah pura-pura buta karena SUAP ?

Merasakan prosesi persidangan yang menyimpang, manipulatif dan telah dibawa kejalan yang salah dengan melahirkan penahanan secara sewenang-wenang tidak sesuai undang-undang, jelas merupakan prosesi mafia KEBIADABAN PERADILAN SESAT.

Sehingga bukti ketaatan hukum melalui konsultasi dengan ketua Majelis Hakim Tinggi PT. Manado, dan sesuai anjuran memberi pemberitahuan melalui surat untuk melakukan penundaan sidang dengan alasan yang jelas ke PN. Manado, tidak dianggap.

Padahal surat penundaan dilampiri surat keterangan doker RSCM, sudah dilayangkan ke PN. Manado, termasuk pemberitahuan secara lisan via hand phone ke LBH Manado, sesuai anjuran Hakim Tinggi PT. Manado.

Saya juga telah menyampaikan kepada Ketua LBH Manado, bahwa saya akan kembali sekitar 1-2 minggu kedepan, namun berdasarkan konsultasi dokter maka saya memutuskan harus mendampingi anak saya hingga dia benar-benar baik.

Dan atas dasar itu pula saya kemudian menyurat lagi untuk menunda persidangan beberapa waktu kedepan. Bersamaan dengan itu pula, pemberitahuan dari pihak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pun telah dilayangkan ke PN. Manado, ditembuskan kepada saya sebagai klien LPSK.

Sehingga alasan penahanan patut disamakan dengan tindakan biadab, selain tanpa alasan dan dasar hukum, juga telah dilakukan sidang rekayasa secara berulang-ulang (mencincang). Atas informasi penetapan penahanan tersebut, saya mencoba mengecek kebenaran atas informasi tersebut ke pihak LBH Manado. Dan kontak pun saya lakukan dengan ketua LBH. Manado Maharani Carolina Salindeho, SH, Mercy Umboh, SH maupun Neni Rachmawati, namun hand phone mereka tak dapat dihubungi.

Penetapan penahanan oleh majelis hakim PN. Manado yang menangani perkara tersebut, dibacakan pada hari Kamis, 24 Maret 2011, tanpa pemberitahuan kepada saya. Bahkan pihak LBH. Manado tak menyampaikan kepada saya, dimana telah menghadirkan Neny Rachmawati, SH, pada persidangan yang menetapkan penahanan saya.

Hal tersebut, saya ketahui setelah mendapat kabar dari teman-teman wartawan maupun teman dekat saya tentang adanya penetapan penahanan tersebut. Namun lebih misterius, informasi yang diberikan Herman Manua lewat kontak hp 085240723322, orang dekat SH. Sarundajang, bahwa saya sudah diputuskan untuk perintah penangkapan.

Sebelumnya, seumur-umur Herman yang dulu paling aktif melobi perdamaian atas nama Gub. Sulut ini, tidak pernah lagi kontak dengan saya sejak saya menolak upaya damai yang dibawahnya.

Namun kagetnya, tiba-tiba menelepon menanyakan tentang keberadaan saya dimana, serta menanyakan sidang dimulai kapan. Herman ini bahkan selama ini tidak pernah mengikuti sidang. Anehnya, tiba-tiba mengontak saya ingin melihat sidang saya.

Beberapa jam kemudian, Herman menelepon lagi, namun tidak bisa saya layani karena sedang wawancara. Beberapa kali terus saja dia menelepon. Tak lama kemudian dia SMS saya ada informasi penting. Lantas dia telepon lagi, bahwa saya diperintahkan ditangkap.

Herman yang pernah meringkuk di Rumah Tahanan Polsek Tikala karena perbuatan cabul anak dibawah umur ini, dijerat dengan pasal 81 undang-undang perlindungan anak, begitu getol menelepon saya akan ditangkap.

Entah apa maksudnya, Herman yang bisa lolos dari jeratan hukum, karena diduga telah menyuap aparat kepolisian Tikala tersebut, terpaksa kembali saya tegaskan padanya, diculik saja saya tidak takut apalagi hanya ditangkap. “Trims informasinya,” tandas saya, yang kemudian menutup pembicaraan.

Foto : Scane Manado. Com

Foto dalam tahanan
















Bab 1

Konfirmasi Surat Sarundajang






Karena sikap berat sebelah Hakim yang cenderung memberikan perlakuan khusus kepada “katanya” saksi korban SH. Sarundajang, saya bertekat membuktikan keterangan palsu dengan melakukan konfirmasi Surat Sarundajang ke Jakarta, baik menyangkut Surat keterangan ke Jepang, SPPD, Surat Tugas Negara. Izin Mendagri, Paspor maupun Visa, yang tidak pernah ditunjukkan dipersidangan.


Pertama, saya mendatangi beberapa instansi dibandara Internasional Internasional Sukarno Hatta, antara lain : Imigrasi, Malaisya Airlines dan Garuda Airlines. Berikut hasil konfirmasi saya :

  1. Surat keterangan ke Pnom Phen, ketika dilakukan konfirmasi kepihak Imigrasi Bandara Soekarno – Hatta, dinyatakan nama SH. Sarundajang ditemukan ke Kuala Lumpur dengan maskapai Malaysia Airlines dengan pesawat Kode MH 710 pada tgl 19 Januari 2011, dan kembali dari Kuala Lumpur tgl 23 Januari 2011 dengan pesawat Garuda GA 825.

  2. Hasil konfirmasi ke pihak Malaysia Airlines, oleh stafnya dikatakan bahwa pada tgl 19 Januari 2011 di pesawat MH 710, tidak ada penumpang bernama Sinyo Harry Sarundajang sebagaimana isi surat pihak Imigrasi (rekaman konfirmasi).

  3. Saya pun melakukan konfirmasi tentang surat SH. Sarundajang tentang pertemuan dengan Menteri PU pada tgl 26 Januari 2011. Oleh pihak Humas PU, dinyatakan tidak ada pertemuan tersebut.

  4. Bertemu dengan pihak Sekneg Biro Hukum dan Perundang-undangan yang memberikan surat Keppres mengenai dimulainya dan terbentuknya panitia Nasional kegiatan WOC pada tanggal 15 November tahun 2007.

Karena fakta diskriminatif, berat sebelah, tidak adil dan menyimpang ini, usaha saya walau belum sepenuhnya terlengkapi –keburu ditangkap- akhirnya bisa menemukan beberapa penyimpangan dan kebusukan.

















Bab 2

Menepis Penundaan Sidang






Setelah mendengar adanya putusan sidang penetapan penahanan dari Herman Manua yang menelepon saya usai sidang dilangsungkan di PN. Manado, tak percaya mengontak pengacara dari LBH. Manado, masing-masing Carolina Salindeho, Mercy Umboh dan Nenny Rachmawati, namun ketiga hand phone mati alias tak dapat dihubungi.

Demikian pun sampai beberapa hari pun tak ada jawaban. Saya kemudian memperoleh informasi dari Opa Liong Kawatak, bahwa benar saya sudah ditetapkan penahanannya oleh PN. Manado, didengar dari anak-anak Mahakeret.

“Jangan dulu pulang, berjuang trus di Jakarta,” tandasnya mengingatkan saya. Demikian lewat FB-pun heboh saya telah ditetapkan penahanan sebagai DPO, menjadi pemberitaan dibeberapa media harian lokal di Sulut.

Saya pun mendapat berita-berita dari beberapa media On line yang antara lain dari Pasific.com. Dan kemudian saya mencoba mengontak ketua LBH, setelah seminggu baru hand phone dapat dihubungi. Dan dia memberi saran agar dibicarakan dengan Rilke Palar. Namun saran tersebut saya tolak. Dan bertekat akan melawan atas putusan tanpa alasan dasar hukum yang jelas tersebut.

Soalnya, alasan tidak mengikuti sidang, adalah alasan yang dicari-cari dan telah disetting sebagai suatu rekayasa besar dan luas yang telah melibatkan banyak pihak, hanya karena kepentingan “Misterius”.

Disamping itu, dasar penahanannya dengan menggunakan pasal sesat 335 ayat (1) ke-1 KUHP yang tidak pernah saya diperiksa dan didengar keterangannya terkait pasal tersebut baik atas BAP saya maupun BAP kelima saksi lainnya.

Dan adapun keberadaan di Jakarta, sudah disampaikan secara resmi lewat surat pemberitahuan penundaan terkait sakit anak saya. Bahkan dilampiri surat lainnya yang sah tentang keberadaan saya di Jakarta. Baik Surat dari Dokter yang mengobati sakit anak saya di RS Cipto Mangunkusumo, maupun Surat dari LPSK yang menerangkan keberadaan saya yang sangat dibutuhkan untuk mendampingi anak saya terkait dengan dibutuhkan perhatian pemohon (Henry Peuru) yang anaknya mengalami stress dan kondisi mental menurun yang dalam perawatan khusus di RSCM.

Dalam penjelasan surat tersebut, juga diterangkan posisi keluarga kami yang dalam perlindungan LPSK, terkait dengan rekayasa hukum dan beruntunnya ancaman yang dilakukan oleh Mafia Hukum Sulut.

Sehingga alasan bahwa telah dilakukan pemanggilan oleh pihak jaksa penuntut umum yang menyatakan keberadaan saya tidak jelas, adalah tidak benar dan sama sekali sebagai pembohongan yang manipulatif. Apalagi, telah tiga kali surat saya layangkan untuk menunda persidangan.

Lantas alasan dan dasar apa yang dipakai majelis Hakim, hingga harus menahan saya. Dibanding dengan saksi korban SH. Sarundajang yang hanya mengirim surat tanpa bukti dimana keberadaannya, yang terjadi sampai 3 kali. SApalagi tidak pernah menghadiri sidang. Demikian pula saksi Ir. Xabdramaya Lalu yang telah dipanggil hingga 4 kali malah tidak mau hadir dengan alasan sakit tanpa surat sakit.

Dari sini jelas peradilan sesat PN. Manado jelas telah diatur dan disetting oleh Mafia Kasus yang berkonspirasi dengan Mafia Peradilan. Sudah begitu, ditindaklanjuti dengan penangkapan ala Teroris oleh Polda Sulut dan Polres Jakarta Pusat, tanpa surat penangkapan yang sepatutnya diberikan kepada keluarga.

Maka penetapan penahanan lewat suatu sidang yang penuh rekayasa tersebut, menjadi patut dipertanyakan peradilan macam seperti ini, selain dapat disimpulkan sebagai kebiadaban peradilan sesat yang penuh rekayasa dan manipulatif, juga sangat merusak dan telah menciptakan preseden yang buruk atas penegakan hukum di Indonesia.





























Bab 3

Melapor Ke-MARI & KYRI






Karena putusan penetapan penahanan misterius yang sangat diskriminatif tidak fair dan berat sebelah serta tidak mempunyai alasan hukum yang sah, saya memutuskan untuk melakukan langkah perlawanan untuk keadilan atas sikap majelis hakim yang selama ini memang sudah menyimpang dan penuh rekayasa.

Sementara sahabat-sahabat saya yang bersimpati dengan perjuangan saya, ketika mendengar keputusan penahanan sesat tersebut, kemudian menyarankan, agar pantang surut dan lakukan perlawanan terhadap kelaliman dan kediktatoran konspirasi Mafia hukum, Makelar kasus dan Mafia peradilan.

Maka langkah pertama yang saya tempuh, langsung mengambil keputusan untuk segera melaporkan ke pihak Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI.

Tak terkecuali ke-Sekertariat Negara untuk melaporkan ke Presiden, saya datangani. Dimana tujuan perjuangan saya, agar ketimpangan dan kriminalisasi hukum yang dilakukan kepada saya sebagai rakyat kecil, memperoleh perhatian mereka.

Beberapa surat tersebut telah saya layangkan, sambil menunggu jawaban untuk tindak lanjut peradilan sesat yang terjadi tidak sesuai undang-undang tertib acara yang telah diatur dalam KUHAP termasuk potensi tindakan Mafia Hukum dan Makelar kasus disekitar rekayasa kasus saya.

Bahkan untuk lebih memahami dan mendalami kepatutan tindakan hakim yang sedemikian ini, saya sempat menceritakan secara serius dengan pihak Humas Mahkamah Agung RI. Dimana tanggapannya, “masa sich ada peristiwa seperti itu sekarang ini ?,” cetusnya, sambil menyatakan tak yakin.

“Emang masih ada yang bisa melakukan seperti itu ?,” tanyanya. Saya kemudian menjelaskan, fakta ini saya alami sendiri dan bukan dari cerita orang atau tentang orang lain yang bisa saja fitnah. “Ini fakta saya. Bung Indonesia itu bukan Jakarta doang,” tandas saya.

Saya kemudian menjelaskan kepadanya, jangan melihat Indonesia dari Jakarta, dimana orang bisa begitu bebas menyuarakan pendapatnya. Indonesia itu luas, terdiri dari berbagai daerah yang terletak nun jauh, dimana karena letaknya yang jauh seperti tak terjangkau hukum. Tak heran didaerah, banyak ketimpangan dan penyelewengan.

Hampir 5 tahun saya berjalan bolak balik mencari keadilan dari Sulawesi Utara hingga ke Jakarta, semua abu-abu. Dimana upaya hukum ini, saya lakukan secara bertingkat sesuai tahapan pelaporan secara prosedural. Maksudnya, agar saya tidak dituding main lapor sembarangan. Hal ini juga untuk menguji prosedur sistem di Negara kita, apakah sudah berjalan secara patut dan bertanggungjawab atau tidak.

Dan upaya mencari keadilan di Indonesia ini, saya lakukan dengan memanfaatkan berbagai Media Cetak dan Elektronik yaitu Radio dan TV, serat media alternatif Internet maupun dunia maya lainnya, termasuk organisasi profesi : PWI-Reformasi, Komite Wartawan Reformasi Indonesia, tak terkecuali Dewan Pers dan LBH Pers.

Maksudnya, agar seluruh perjuangan dan suara hati atas pelanggaran HAM yang terjadi pada saya dan keluarga, akan bisa didengar oleh Pemerintah Pusat dan Lembaga Pengawas hukum terkait lainnya, termasuk organisasi profesi dimana saya bergelut berlindung dan membangun solidaritas.

Pun telah saya laporkan keberbagai Lembaga Negara seperti Presiden, DPR RI, Komisi III, Makamah Agung, Komisi Judisial, Kejaksaan Agung RI, Komisi Kejaksaan RI, Mabes POLRI, KOMPOLNAS, Satgas Mafia Hukum, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), KOMNAS HAM, Komisi Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), termasuk Lembaga Non Pemerintah, seperti LBHI, LBH Manado dan Kontras.

Namun semua upaya saya hampir tak berarti. Kenyataannya dunia hukum kita dan organisasi terkait lainnya, mudah dibeli. Orang berkuasa dan punya duit hampir tak tersentuh hukum. Institusi yang kita laporkan, akan menjadi dan atau lebih percaya, kepada orang berduit dan punya kekuasaan. Mereka bisa memanipulasi fakta sesuai permintaan pemesan.

Tak patah arang walau mereka sebejad dan sekejam itu, justru makin membuat tekat saya menggebu-gebu berjuang bagi keadilan rakyat kecil untuk memperlihatkan kepada jurnalis Indonesai dan dunia, kehormatan dan harga diri orang kecil tak bisa dibeli dan dibungkam.

Bahwa dari perjalanan perjuangan ini, membuat saya semakin mengerti betapa kerusakan struktur manajemen hukum dan peradilan kita sudah sedemikian buruknya. Namun, panggilan pengabdian nurani inilah yang terus memberikan semangat untuk terus berjuang menyuarakan keadilan bagi rakyat tertindas dan dimangsa hukum.

Dari peristiwa yang saya rasakan dan alami ini, semangat itu bergelut gemuruh menyulut semangat melawan ketidak adilan yang telah dirusak mafia hingga memperdayai sistem dan menindas rakyat kecil.

Rona pesona perjuangan para aktivis di Jakarta yang berbicara lantang tentang idealisme untuk memberikan tempat bagi rakyat kecil kaum duafa serta orang tertindas, membuat tingkat perjuangan saya hingga Jakarta, ternyata hanyalah bualan kosong.

Bagaimana peran dan amanah moral Lembaga Swadaya Masyarakat dibangun, ternyata ujungnya, hanya memanfaatkan penderitaan orang. Ketika laporan datang, yang terjadi akan senyap dan membisa. Keluh kesahnya hanya bisa diam dan terpaku. Mereka hanya memanfaatkan penderitaan orang. Kena !. Perjuangan yang hanya dimanfaatkan, akhirnya menggiring saya harus berjuang sendiri dengan mereka yang tersisa.

Foto : Dewan Pers

Kontras

LBH Jakarta



























Bab 4

Reaksi Sahabat dan Lawan







Persidangan yang dilakukan pada Kamis tanggal 24 April 2011, tak ada komunikasi bahkan konfirmasi dari pihak LBH Manado, apakah akan dilangsung persidangan tanpa kehadiran saya. Padahal Ketua LBH Manado, seminggu lalu baru menanyakan kedatangan saya ke Manado.

Namun saya sampaikan tunggu 1 atau 2 minggu ini, karena anak saya masih membutuhkan kehadiran saya. Hal ini menurut dokter, kondisinya terkait dengan kekhawatiran anak saya terhadap keberadaan saya di Manado.

Sidang sesat yang akan melahirkan kejutan dan misterius ini, tertangkap dari munculnya telepon misterius Herman Manua dipagi hari, yang menanyakan soal persidangan saya. Serta menanyakan keberadaan saya untuk melihat persidangan saya.

Herman yang tak pernah hadir dipersidangan dan tak pernah kontak dengan saya, tentunya mengundang tanya. Belum berapa lama, Herman mengontak lagi, namun saya katakan maaf saya masih wawancara. Tapi hpnya terus berbunyi.

Tak sabar menunggu jawaban saya, SMSnya masuk lagi, ada informasi penting. Lalu dia kontak lagi, dan langsung menyatakan bahwa sudah ada keputusan pengadilan akan menangkap saya. Saya jawab trima kasih informasinya, sambil menutup pembicaraan.

Orang Sarundajang ini nampaknya, begitu senang mendengar saya akan ditangkap lagi. Tak puas dia menelepon lagi. Mengatakan hal yang sama. Saya jawab, jangankan ditangkap diculik saya tidak takut. Dari getolnya Herman, mulai jelas analisa saya bahwa ada scenario dibalik keputusan penetapan penahanan.

Lain Herman, lain pula Sutojo, Hen jangan pulang, kamu akan ditangkap, termasuk opa Kawatak. Dia menyatakan dari orang Kampung Mahakeret, katanya sudah mendengar akan ditangkap. Demikian beberapa sahabat yang lainnya, menyatakan tidak usah pulang.

Namun Billy Johanes, menyatakan kamu harus lawan, jangan dulu pulang kalau tanda-tanda perjuangan belum ada jawaban. Jadi kamu harus berjuang. Sementara Baroleh menyatakan via FB, hanya satu kata LAWAN !. Demikian juga teman-teman FB lainnya, hanya satu kata, LAWAN !.

Bahkan sampai ada yang menyatakan bahwa ini permainan Mafia Hukum dan Markus, jadi harus terus dilawan untuk membuka sepak terjang Mafia Hukum dan Makelar Kasus ini. Jangan ada kata mundur selain satu kata, Lawan !.

Cuman ada seorang sahabat saya, lewat FB juga menyatakan, Hen saya baca dikoran sudah ramai tentang kamu akan ditangkap. Jadi kalau kamu pulang langsung ke Malendeng (penjara disana).

Jadi dia minta pulang jo iko sidang bae-bae. Tapi saya bilang sidangnya, sidang penuh intrik dan rekayasa. Bahkan pengacara saya bilang pulang jo kong bicara dengan Rilke bae-bae. Tapi saya tegaskan, tidak. Karena saya akan buat perlawanan !.

Mendengar pendapat mereka, saya katakan saya akan lawan mereka !, dan tidak akan pernah mundur atas kekejaman dan kebiadaban Mafia Hukum dan Makelar Kasus di PN. Manado. Hen kamu lawan tembok kata Arthur Antonius, berdamai jo. Saya jawab, damai dengan Tuhan ya. Tapi kalau damai dengan iblis dan kejahatan maaf banyak jo.




Bagian Sebelas ;

Kebusukan Konspirasi Mafia Peradilan





Ketika terjadi proses sidang sesat penetapan penahanan saat saya masih mendampingi sakit anak saya yang kambuh karena kriminalisasi penyanderaan dan pengancaman yang dilakukan terhadap anak saya hingga sakitnya dan kambuh lagi, saya hanya bisa tabah dan tetap bersabar. Padahal saya berfikir, peraturan dibuat dengan maksud untuk tidak saling memangsa. Faktanya, saya terus terusan dimangsa oleh Mafia Hukum Sulut yang bengis, biadab dan kejam di Sulut dan PN. Manado.

Penetapan penahanan yang diduga berbau penyuapan tersebut, kemudian melahirkan reaksi perlawanan dalam bentuk pelaporan keberbagai lembaga hukum yang terkait dengan pengawasan hukum bagi hakim-hakim nakal.

Sementara menyadari putusan penetapan penahanan sesat yang akan sulit dihadapi secara patut karena berhadapan dengan Mafia Hukum Sulut yang berkuasa dan punya banyak duit, maka buku sebagai alternatif perjuangan, harus saya realisasikan untuk perjuangan.

Maka materi nota pembelaan persiapan pembelaan dipersidangan, kemudian dibedah menjadi beberapa bab dengan menambahkan beberapa kejadian yang berhubungan dengan peristiwa yang kami alami, dan disusun secara sistemik apa adanya.

Dengan hanya memiliki kesempatan sekitar seminggu lebih, akhirnya buku tersebut dapat saya selesaikan. Sampai tengah malam saya menyelesaikan lay out buku, subuhnya saya ditangkap dirumah Jl. Aria Putra No. 23 E Serua Ciputat, oleh sekitar 6 orang Polisi berpakaian preman, yang dikomandani oleh Kasat cybercrime Polda Sulut : Sudjarwoko, tanpa didahului dengan surat pemberitahuan dan atau surat panggilan, termasuk tanpa diberikan surat perintah penangkapan.

Anehnya, kejadian itu, diplintir oleh beberapa media lokal Sulut bahwa saya ditangkap ditempat persembunyian di Bogor. Salah satu wartawan yang meliput di PN. Manado, menyatakan pada saya, bahwa informasi tersebut disampaikan Jaksa Penuntut Umum Rilke Palar, SH, yang begitu hebat melakukan keterangan palsu.

Penangkapan tanpa menyerahkan surat perintah penangkapan kepada keluarga, lagi-lagi diaktori oleh Polda Sulut dibantu pihak Polisi Poltabes Jakarta Pusat dari unit IV yang dikomandani Kompol Sutrisno. Alot proses permintaan surat penangkapan, karena tidak dicantumkan alasan penangkapan.

Padahal alasan penundaan sidang oleh saya, telah diberikan secara patut dengan melampiri surat dari Cipto Mangunkusumo dan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Namun permintaan surat penangkapan, tak juga diberikan kepada saya dan istri sebagai pemberitahuan secara patut kepada keluarga. Mungkin karena pihak Polres Jakarta Pusat tak mau terlibat dan cuci tangan.

Penangkapan ini dilakukan secara tidak patut karena bertentangan dengan KUHAP. Apalagi tanpa didahului dengan mekanisme surat panggilan secara resmi sesuai aturan menurut undang-undang.

Selanjutnya, setelah saya ditahan di Rutan Malendeng, saya dikriminalisasikan dengan 1 pernyataan dusta/ keterangan palsu tidak mengikuti sidang, padahal saya berada dalam tahanan. Entah maksudnya apa. Bahkan lebih dramatis dan kejam sidang berikutnya, saya dipaksa mengikuti sidang dengan hanya berpakaian celana pendek dan baju kaus.

Upaya ini, diduga sengaja diciptakan untuk membuat agar saya tidak dapat membuat Nota Pembelaan, karena pengacara dari LBH Manado telah saya berhentikan. Keputusan saya karena mereka tidak melakukan pembelaan secara benar dan tidak patut.

Indikasi penyiasatan, agar bukti surat-surat tak dapat ditunjukkan dipersidangan. Namun untungnya ibu mertua saya yang siap sedia terus dapat membawa bukti surat-surat dan Nota Pembelaan yang saya titipkan kepada ibu. Sehingga saya dapat membacakan Nota Pembelaan dengan menyodori bukti-bukti surat adanya rekayasa. Sehingga skenario busuk, bengis dan kejam mereka gagal.

Namun Mafia Peradilan nekat menciptakan kebusukan demi kebusukan termasuk melahirkan surat putusan manipulatif dengan segerobak pertimbangan hukum manipulatif. Bahkan kebusukan bujuk rayu selama sidang berlangsung, berkali-kali dilakukan kepada saya di Rutan.

Seorang yang ditemani temannya dan mengatasnamakan Gubernur SH. Sarundajang : ibu bernama Carla Tambunan, mendatangi saya dengan tawaran yang tak tanggung-tanggung akan memberi sejumlah dana milliayaran asal damai. “Bilang saja berapa yang bapak minta,” tandasnya kepada saya. Namun tawaran tersebut tetap saya tolak. Kok menawarkan damai saya malah diminta berapa yang saya mau !.











Bab 1

Dugaan Konpirasi Rekayasa Penahanan




Bahwa selama proses pemeriksaan dipengadilan, jaksa penuntut umum tidak mampu menghadirkan alat bukti secara sah sebagaimana diatur sesuai undang-undang. Sehingga patut diduga adanya upaya Jaksa untuk melakukan siasat atau rekayasa dipengadilan sebagaimana awal dilakukan melalui rekayasa manipulasi fakta hukum ditingkat Surat Dakwaan.

Demikian pula kemudian pada pemeriksaan lanjutan, adanya kemungkinan keraguan hakim yang akhirnya berkonspirasi melahirkan berbagai rangkaian rekayasa agar manipulasi fakta hukum dengan sejumlah alat bukti yang sah menurut undang-undang dapat dimanipulasi.

Bahwa kemudian terjadi rekayasa keterangan saksi melalui saksi a charge didepan pengadilan, yang tidak mampu dibuktikan oleh jaksa penuntut umum apakah benar ada korban yang telah dicemarkan nama baiknya atau telah dilakukan suatu perbuatan tidak menyenangkan kepada korban dimaksud, sebagaimana keterangan saksi a charge.

Bahwa kemudian adanya pengakuan saksi a charge Boy Watuseke dan Oscar Wagiu mengakui ada undangan dalam bentuk SMS, maupun pengakuan saksi Melky Koessoy adanya SK panitia lokal dan Keppres, namun tidak dapat ditunjukkan didepan pengadilan, sehingga patut dipandang sebagai hanya merupakan kesaksian yang dilahirkan dari pendapat atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, sebagaimana sesuai pasal 185 ayat (5) KUHAP, bukanlah keterangan saksi. Atau patut diduga sebagai Testimonium De Auditu yang diperoleh dari aktor intelektual dader.

Bahwa demikian pula sebagaimana dijelaskan pada berita acara pemeriksaan (BAP) bahwa ada acara rapat WOC dibulan Februari tahun 2007, tidak mampu atau tidak dapat ditunjukkan oleh jaksa penuntut umum atau saksi a charge bahwa benar ada peristiwa RAPAT sosialisasi WOC berskala nasional, melalui petunjuk berupa surat undangan, notulen rapat, daftar hadir, materi rapat dan pimpinan rapat. brosur terkait dengan kegiatan nasional sebagai petunjuk adanya rapat di Kantor Bappeda pada bulan Februari tahun 2007.

Bahwa demikian pula sebagaimana dijelaskan pada berita acara pemeriksaan (BAP) bahwa ada acara rapat WOC dibulan Februari tahun 2007, tidak mampu ditunjukkan oleh jaksa penuntut umum atau saksi a charge kebenaran adanya kegiatan rapat WOC dibulan Februari tahun 2007, berupa SK panitia lokal, Keppres, sebagai petunjuk bahwa benar ada kegiatan WOC.

Sehingga keterangan saksi patut dipandang sebagai bukan keterangan saksi sebagaimana pasal 185 ayat (5) KUHAP sebagai kesaksian yang dilahirkan dari pendapat atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, atau patut diduga sebagai testimonium de auditu dari actor intelectual dader sebagai atasannya.

Bahwa demikian pula saksi a charge Boy Watuseke, Oscar Wagiu dan Melky Koessoy yang menyatakan dihadiri oleh puluhan wartawan, namun tidak dapat ditunjukkan bukti adanya peristiwa rapat acara WOC, apalagi peristiwa terjadinya perbuatan tindak pidana pencemaran nama baik dan atau perbuatan tidak menyenangkan, berupa berita-berita dari media cetak lokal dan nasional dan media lektronik TV, radio maupun media online/ internet. Sehingga dapat dipandang sebagai keterangan sesuai pasal 185 ayat (5) KUHAP.

Dan atas keterangan saksi tersebut diatas, saya Terdakwa kemudian menunjukkan sebagai keterangan palsu atau telah terjadi rekayasa, dengan sejumlah alat bukti Surat. Uraiannya : 1. Berita-berita dari print out media internet, yang membuktikan tidak adanya WOC dibulan Februari 2007 melainkan acara WOS. 2. Berita persentasi WOS dibulan April 2007 yang ditolak dan digantikan menjadi WOS. 3. Adanya brosur WOS bulan februari tahun 2007. 4. Keppres No. 23 tentang pembentukan paniytia Nasional tahun 2009 yang diterbitkan pada tanggal 15 November tahun 2007.

Bahwa demikian pula penangkapan yang dilakukan POLDA Sulut didampingi Polres Jakarta pusat tanpa alasan, dan kemudian baru saya ketahui saat ditahan di Rutan kelas IIA Manado, bahwa alasan penetapan penahanan dengan pasal manipulasi/ rekayasa 335. Serta alasan melarikan diri, sebagai suatu siasat rekayasa.

Bahwa atas tudingan dan alasan yang sangat manipulatif tersebut, sebenarnya penundaan sidang telah saya lakukan berdasarkan hasil konsultasi dan anjuran izin dari ketua Majelis Hakim Tinggi Andreas Don Rade, SH,.Mhum, yang juga dibuktikan dengan surat dari LPSK yang menjelaskan sedang mendampingi anak yang sakit terkait dengan ancaman yang dilakukan dirumah Gubernur SH. Sarundajng, termasuk saya pun melampirkan surat keterangan saksit dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).












Bab 2

Penangkapan Ala Teroris III






Sebagaimana dalam penjelasan Undang-Undang Repoblik Indonesia No. 8 tahun 1981, Pembangunan hukum dibidang acara pidana, bertujuan agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajiban hukumnya.

Sementara dipihak aparat penegak hukum, agar pelaksanaan hukumnya sesuai fungsi dan wewenang masing-masing kearah tegak mantapnya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Repoblik Indonesia sebagai negara hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Sehingga asas yang mengatur perlindungan keluhuran harkat dan martabat manusia antara lain : penangkapan, penahanan penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang.

Namun penangkapan yang dilakukan kepada saya Ir. Henry John Ch. Peuru pada hari Selasa, tanggal 25 April 2011 pada jam 04.00 Wita subuh selagi kami sekeluarga sedang tidur, oleh delapan (8) oknum Polisi 5 oknum berpakaian preman dari Polres Jakarat Pusat yang sempat saya ketahui namanya bernama Eddy dan Agung didampingi 1 oknum dari Polda Sulut dan 2 orang dari Polsek Serua.

Penangkapan benar-benar dilakukan ala Teroris yang 8 oknum Buser Polres Jakarta Pusat yang didampingi Polsek Ciputat dan dikomandani oknum Kompol Sudjarwoko dari Polda Sulut, yang beberapa tahun silam pernah terkait pemerasan tersangka Narkoba, bukan kali pertama ditangkap ala Teroris, namun telah dilakukan untuk yang ketiga kalinya.

Tak jelas standar operasional prosedur dan kepatutan penangkapan sebagaimana diatur sesuai tata cara hukum acara pidana yang harus dipatuhi oleh aparat negara sebagaimana yang diamanahkan Undang-Undang pasal 18 ayat (1) dan (3) KUHAP, dimana kami keluarga tidak diberikan surat perintah penangkapan.

Padahal, saya telah meminta surat penangkapan dan alasan penangkapan. Sebab saya ke Jakarta melihat anak sakit, telah dilakukan secara patut melalui surat pemberitahuan penundaan sidang dan atas saran dan izin ketua majelis hakim tinggi Andreas Don Rade, SH,. MHum. Namun surat yang saya minta tak diberikan pihak Polres Jakarta Pusat dan Polda Sulut.

Selanjutnya, saya dipaksa naik mobil avanza dan dibawa ke Polres Jakarta Pusat dan dibawa diunit IV Reskrim Polres Jakarta Pusat yang dikomandani Sutrisno. Entah memang Polisi tak mempunyai standar etiket dan sopan santun dalam melakukan penangkapan, entahlah.

Atas perbuatan penangkapan secara sewenang-wenang dan tidak patut tersebut, istri saya kemudian melaporkan ke Propam Mabes Polri untuk kali yang ke- 19. Hingga buku ini dicetak, belum ada tanggapan atas tindakan Polisi yang telah berkali-kali melakukan kriminalisasi kepada saya dan keluarga.

Esoknya, Rabu tanggal 26 April saya masih tetap ditahan Polres Jakarta Pusat atau telah melewati 1 hari sepatutnya seseorang ditahan sebagaiaman diatur sesuai undang-undang pasal 19 ayat (1) KUHAP. Kemudian pada tgl 27 April 2011, saya dibawah ke Manado sekitar jam 5 subuh dan tiba di Manado sekitar jam 12 siang dan dijemput oleh beberapa perwira yang satunya saya kenal pernah menculiksaya bernama : Rewur.

Selanjutnya dari bandara Sam Ratulangie, saya dibawa ke Polda Sulut. Sekitar jam I siang, kemudian saya dibawa ke Kejaksaan Negeri Manado. Disana setelah menandatangani berkas yang saya sudah malas baca, kemudian dibawah ke Rutan Kelas II A Manado.



Foto : 1. Polsek Serua

2. Polres Jakarta Pusat





















Bab 3

Penahanan & Kekerasan






Baru seminggu saya ditahan di Rutan kelas II A Manado, saya dipukul oleh kepala urusan dapur Henry Tintingon. Pemukulan yang dilakukan Henry Tintingon dengan alasan saya memakai celana pendek mengikuti ibadah di Gereja.

Alasan yang tidak jelas tersebut, tentunya tidak dapat saya terima, karena beberapa tahanan yang lain memakai celana pendek ikut beribadah ke Gereja, namun tidak diperlakukan seperti yang dilakukannya kepada saya.

Atas tindakan pemukulan tersebut, kemudian keesokan harinya, ibu saya melaporkan ke Polda Sulut. Namun laporan atas tindakan kekerasan tersebut tidak digubris pihak Polda Sulut.

Dari sini saya mulai memahami, bahwa saya berhadapan dengan jaringan Mafia Hukum Sulut yang telah melakukan konspirasi secara luas dan bukan tidak mungkin bagian dari design untuk menekan saya dalam Rutan Kelas II A Manado.

Setelah beberapa waktu kemudian, kejadian pemukulan terjadi lagi pada beberapa tahanan yang dilakukan oleh Henry Tintingon, yang juga adalah pengurus Gereja di Rutan Malendeng. Akibatnya, sempat menimbulkan gejolak yang mengarah kepada tindakan balasan dari tahanan.

Namun kejadian keresahan tindakan kekerasan yang sangat dominan dilakukan Henry Tintingon kepada para tahanan, sempat mereda karena cepat dilakukan pencegahan. Namun sebab lain yang membuat meredahnya suasana tegang, karena adanya penggantian ka. Rutan.

Setelah sebulan kemudian, saya mulai memperoleh data dan informasi adanya penyimpangan yang terjadi dalam Rutan. Dimana salah satunya, kekerasan yang dilakukan oleh Henry Tintingon, adalah upaya menutup-nutupi adanya perlakuan istimewa terhadap seorang tahanan korupsi yang bukannya menghuni ruang tahanan, namun tinggal diruang Pastori Gereja. Diduga ruang Gereja telah dibisniskan.

Dan apabila dilakukan sidak oleh Kanwil ataupun dari pusat, buru-buru dilakukan pemindahan semua barang milik tahanan ke ruang tahanan. Dan perlakuan istimewa inilah yang menyebabkan sering terjadi kekerasan dalam Rutan, karena tahanan tidak diperbolehkan berkunjung ke Gereja pada jam-jam tertentu saat tidak adanya ibadah. Namun anehnya, dijadikan pertemuan khusus oleh pihak-pihak tertentu, walau bukan pada jam besuk.

Bahkan bukan saja bisnis ruang Gereja saja, yang terjadi, namun bisnis puluhan ribu bibit rica dan tomat ikut menghiasi Rutan yang menjadi semakin penuh masalah, konspirasi, kekerasan, pemerasan dan penipuan.















Bab 4

Sidang Pembacaan Tuntutan






Bahwa 3 hari sebelum sidang dilangsungkan - sebulan lebih dalam penahanan di Rutan Kelas II Manado, saya baru disampaikan surat panggilan sidang yang ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum Rilke Palar, SH untuk mengikuti sidang pembacaan Tuntutan pada tanggal 6 Juni 2011.

Bahwa dipersidangan setelah sidang dibuka ketua majelis hakim, jaksa penuntut umum kemudian membacakan Surat Tuntutannya yang diawali dengan nama dan alamat Terdakwa Ir. Henry John Ch. Peuru. Dimana terdengar adanya manipulasi bukan hanya pada surat dakwaan, namun pada surat tuntutan dari alamat sebenarnya di Serua Ciputat, dimanipulir menjadi alamat tetap Boyong Atas.

Selanjutnya dimulai dengan penjelasan sesuai fakta-fakta yang terungkap dipersidangan secara berturut-turut berupa keterangan saksi, petunjuk, surat, barang bukti dan keterangan terdakwa.

Keterangan saksi, dimulai dengan mencantumkan keterangan saksi korban SH. Sarundajang yang BAPnya dibacakan. Kemudian saksi Boy Watuseke yang diterangkan setelah disumpah, selanjutnya saksi menjawab pertanyaan-pertanyaan majelis hakim sebagai berikut :

Uraian ini sama seperti yang dijelaskan atas keterangan saksi Herman M. Koessoy dan Oscar Wagiu dan saksi Xandramaya Lalu yang BAPnya dibacakan. Setelah itu saksi menjawab pertanyaan-pertanyaan majelis hakim sebagai berikut : Bahwa benar di BAP, bahwa benar telah terjadi tindakan pencemaran nama baik, bahwa benar sedang diadakan rapat dinas mengenai sosialisasi pencanangan pelaksanaan WOC, bahwa benar sedang rapat Henry berteriak, bahwa benar dihadiri jajaran pemprov dan dinas-dinas beserta dengan para wartawan, bahwa benar saksi tidak tahu apakah terdakwa berselisih paham, bahwa terakhir terdakwa tidak membenarkan keterangan saksi.

Dan kelima keterangan saksi dari surat tuntutan jaksa penuntut umum, tidak jauh berbeda sebagai copi paste satu sama lain. Selanjut alat bukti petunjuk, dijelaskan antara keterangan saksi Drs. Sinyo H. Sarundajang, Boy Watuseke, Drs. Oscar Wagiu, Herman M. Koessoy dan Ir. Xandramaya Lalu terdapat persesuaian yang satu dengan saksi lainnya dan saling berhubungan, sehingga diperoleh petunjuk telah terjadi suatu peristiwa dan siapa pelakunya. Dan alat bukti Surat : Berkas perkara No. Pol.: Bp 144/IV/2008/Reskrim dari Poltabes Manado. Sementara barang bukti, dijelaskan tidak terdapat barang bukti (nihil).

Selanjutnya pada surat tuntutan terlihat keterangan manipulatif yang menguraikan keterangan Terdakwa dibacakan BAPnya, dengan penjelasan Terdakwa tidak mau memberikan keterangan secara langsung didepan majelis hakim, dan langsung terdakwa keluar ruangan sidang diikuti oleh penasehat hukum terdakwa.

Kemudian penuntut umum pada halaman menguraikan pembuktian unsur-unsur. Dijelaskan pula, adalah hal yang memberatkan : Terdakwa tidak bersikap sopan, bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, serta melahirkan kembali rekayasa berupa keterangan palsu : melarikan diri dari persidangan, dan hal meringankan tidak ada. Dan selanjutnya memberikan tuntutan antara lain, pada point menjatuhkan pidana terhadap terdakwa 8 (delapan) bulan penjara.

Sayangnya, uraian ini sangat manipulatif dan sangat berbeda dengan fakta persidangan yang sesungguhnya. Dimana alamat tetap saya di Serua Ciputat, diganti menjadi alamat tetap di rumah mertua desa Boyong Atas. Apakah didesa kecil nun jauh dari kota dengan jumlah 300 KK, ada atau bisa membuat usaha penerbitan pers tabloid Jejak dan media elektronik Jejakbulikts.com.

Mencermati surat tuntutan penuntut umum tersebut, menunjukkan bahwa sidang bersifat pasif, dimana komunkasi sidang hanya terjadi antara hakim dan para saksi. Sehingga jelas sekali tidak terjadi kroschek atau pendalaman keterangan saksi oleh penuntut umum, pengacara maupun terdakwa.

Bahwa sesuai fakta persidangan dipengadilan, baik penuntut umum, pengacara dan terdakwamengajukan pertanyaan. Lantas dimana jawaban pertanyaan penuntut umum, pengacara dan terdakwa yang terurai dalam surat tuntutan ?

Apakah dalam sidang saya terdakwa dan penasehat hukum diam saja, sehingga hasil cross examination tidak terungkap dipersidangan ?. Namun manipulasi hukum dan fakta persidangan oleh jaksa Rilke Palar, SH bukan barang baru, karena ternyata, Rilke diduga kuat bukan hanya melakukan rekayasa, melainkan sering melakukan pemerasan kepada beberapa tahanan.

Dimana yang menentukan untuk menemukan peristiwa dan siapa pelakunya haruslah melalui pemeriksaan dipersidangan, dengan sejumlah alat bukti yang ditentukan undang-undang pasal 184 ayat 1 KUHAP yaitu : a. Keterangan Saksi, b. Keterangan Ahli, c. Surat, d. Petunjuk, dan E. Keterangan Terdakwa. Atau sekurang-kurangnya minimal 2 alat bukti sebagaimana diamanahkan pasal 183 KUHAP.

Bahwa sebagaimana telah didakwakan Jaksa Penuntut Umum dengan pasal spektakulernya yang tidak sesuai BAP dengan telah melakukan manipulasi fakta hukum yaitu pasal 335 KUHP dan 310 KUHP, didalam pemeriksaan dipersidangan, hanya dapat mengajukan 1 alat bukti yaitu Keterangan Saksi. Itupun tidak utuh atau hanya saksi a charge, tanpa menghadirkan saksi korban SH. Sarundajang.

Demikian pula, adanya alat bukti Petunjuk yang tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti, sebagaimana diamanahkan pasal 188 ayat (2) KUHAP yang hanya diperoleh dari Keterangan saksi.

Sementara dengan syarat 2 alat bukti minimal pun tidak dapat dipenuhi Jaksa Penuntut Umum. Dimana rambu alat bukti agar bisa ditemukan peristiwa dan siapa pelakunya, atau sebagaimana dimaksud sesuai pasal 197 ayat (1) huruf d, dengan “fakta dan keadaan disini” ialah segala apa yang ada dan apa yang ditemukan disidang oleh pihak dalam proses, antara lain penuntut umum, saksi, ahli, terdakwa, penasehat hukum, dan saksi korban.

Merujuk pada pasal 197 ayat (1) huruf d, dimana Jaksa Penuntut Umum hanya menghadirkan saksi a charge settingan versi penyidik Polisi. Demikian pula tidak menghadirkan saksi ahli, terdakwa dan saksi korban. Jaksa penuntut umum yang diduga hanya merupakan rekayasa.

Dimana berdasarkan copian turunan berkas perkara yang diberikan majelis hakim atas permintaan saya dipersidangan, BAP penyidik atas semua saksi a charge yaitu pasal 310 dan 315 KUHP, BAP terdakwa pasal 310 dan 315 KUHP, sementara SH. Sarundajang di BAP dengan pasal 310 KUHP.

Namun sejak memasuki sidang mulai ditingkat surat dakwaan yang terus diakrobati hingga ke-surat tuntutan, pasal manipulatif menjadi semakin spektakuler mencuat pasla 335 ayat (1) ke-1 KUHP. Hinga jelaslah bagi saya bagaimana rekayasa dan manipulasi baik atas peristiwa maupun siapa pelakunya.


Bab 5

Pencabutan Kuasa LBH Manado






Memasuki agenda sidang pembacaan Nota Pembelaan pada tanggal 20 Juni ahun 2011, disamping menunggu Nota Pembelaan yang akan dibuat oleh LBH Manado, saya kemudian mencoba membuat sendiri pembelaan apa adanya secara perlahan-lahan, dengan menggunakan 2 referensi yaitu KUHP & KUHAP dan buku Hukum Acara Pidana dalam praktik karangan Darwan Prinst, SH tahun 2002.

Upaya saya membuat Nota Pembelaan sendiri, karena saya mulai curiga dan tidak percaya lagi atas tindak tanduk pengacara dari LBH Manado, yang tidak jelas dan maksimal membantu saya, dari pertimbangan atas beberapa kejadian sebelumnya.

Atas sepak terjang mereka, kemudian saya awas dan meminta agar Nota Pembelaannya dimasukkan kepada saya 3 hari sebelum sidang dimulai untuk dilakukan koreksi dan pemeriksaan. Hal tersebut saya lakukan untuk evaluasi akhir dan menilai apakah saya dapat memperoleh keyakinan, LBH yang katanya kumpulan aktivis yang sukarela membantu masyarakat kecil benar dan maksimal akan membantu saya, yang pernah bersama-sama perjuang untuk Reformasi di tahun 1998.

Setelah 3 hari mendekati waktu pembacaan Nota Pembelaan, pihak LBH Manado kemudian memasukkan draft Nota Pembelaannya. Dan dari hasil pemeriksaan saya, didapati fakta persidangan tidak sesuai hasil rekaman yang saya berikan kepada LBH Manado. Bahkan cenderung ke-versi penuntut umum yang tidak sesuai fakta persidangan.

Cacatan saya dalam pertimbangan pencabutan kuasa kepada LBH Manado, antara lain : 1. Saat eksepsi, tidak melakukan protes atas pasal manipulatif yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum mengenai paasal 335 KUHP yang tidak sesuai BAP. 2. Pada pemeriksaan dipersidang selalu berlaku pasif dan sesekali mengajukan pertanyaan ringan yang tidak prinsip, 3. Tidak mengajukan pertanyaan terhadap hal-hal yang tidak sesuai menurut undang-undang, 4. Tidak memberi tahu atau konfirmasi adanya agenda sidang penetapan penahanan, 5. Mengikuti sidang penetapan penahanan tanpa berkoordinasi dengan saya padahal saya sudah memberitahukan alasan penundaan yang telah diiyakan oleh LBH Manado, 6. Pada BAP yang mereka buat setelah saya koreksi, tidak memasukkan bukti-bukti berita dan surat lainnya yang telah saya berikan, 7. Fakta persidang tidak sesuai dengan hasil rekaman yang saya berikan berdasarkan permintaan LBH setiap selesai sidang, sebagaimana permintaan mereka.

Atas dasar dan alasan tersebut diatas, agar tidak masuk dalam settingan jebakan mafia peradilan berikutnya, maka saya tidak melibatkan LBH Manado dan mencabut kuasa yang telah saya berikan kepada LBH Manado. Biarlah saya berjuang sendiri.

Bahwa memasuki sidang pembacaan Nota Pembelaan, maka persiapan penyusunan pembelaan Nota Pembelaan telah saya susun sedemikian rupa apa adanya walau agak tergesa-gesa, namun itulah yang menjadi harapan saya dengan mengandalkan belajar otodidak secara kilat.

Ketika memasuki sidang yang telah ditetapkan dan sesuai surat panggilan kepada saya untuk persidangan pada tanggal 20 Juni tahun 2011, pagi harinya, saya memberikan surat pencabutan kuasa kepada LBH Manado. Mereka sibuk menanyakan mengapa sikap saya tiba-tiba berubah, namun saya tidak mau menjelaskan dan tetap memutuskan akan membela sendiri.

Sampai sore menjelang malam menunggu hingga kami akan kembali dan telah naik kemobil, sidang tak juga dilaksanakan. Entah mereka bingung tiba-tiba saya berubah sikap. Namun, ketika kami akan kembali ke-Rutan kelas II A Manado, saya dipanggil untuk mengikuti sidang.

Sidang dipimpin dan dibuka Hakim Tunggal Hakim Anggota Efran Basuning, SH,.LLM didampingi panitera pengganti Yoppy Singal, SMh. Walau jelas telah menyalahi undang-undang pasal 153 ayat (2)a KUHAP.

Dalam sidang tersebut, dijelaskan sidang tidak bisa berlangsung karena ada tamu dari Mahkamah Agung RI. Dan selanjutnya, dimintakan agar saya mempertimbangkan kembali keberadaan pengacara dari LBH Manado. Namun atas permintaan tersebut, saya menolak dan menegaskan akan melakukan pembelaan sendiri. Setelah itu sidang ditutup.




















Bab 6

Pemaksaan Sidang Pembelaan







Memasuki hari kedua dari sidang pada tanggal 20 Juni 2011 yang dipimpin hakim tunggal hakim anggota Efran Basuning, SH, LLM, atau tepatnya pada tanggal 22 Juni 2011, saya diberikan surat panggilan untuk mengikuti sidang pada tanggal 23 Juni 20011, atau sehari menjelang sidang tidak sesuai ketentuan pasal dimana dijelaskan agar menyampaikan surat pemberitahuan 3 hari sebelum sidang.

Pada agenda sidang pembelaan terdakwa, saya menolak hadir karena surat panggilan diberikan sehari pelaksanaan sidang akan dilangsungkan, karena jelas telah melanggar sebagaimana diatur pada pasal 146 KUHAP.

Disamping saya ingin membuktikan bahwa rekayasa surat panggilan selama ini terjadi merupakan rekayasa jaksa penuntut umum, saya juga menjelaskan belum menyediakan Nota Pembelaan disebabkan tidak ada pemberitahuan sesuai ketentuan KUHAP, sehingga belum dibawa oleh Ibu mertua yang membawa Nota Pembelaan.

Namun keterangan saya, atas pelanggaran hukum dan tidak adanya Nota Pembelaan, tidak digubris, malah mereka tetap bersikeras membawa saya untuk sidang pembelaan. Nampaknya design mereka akan berhasil. Mereka senang karena saya tidak mempunyai Nota Pembelaan.

Alasan saya juga menolak, disamping tidak sesuai ketentuan, juga karena surat pembelaan saya berada ditangan ibu mertua saya yang berada didesa Boyong Atas berjarak hampir 100 km dari Kota Manado, yang tidak saya sampaikan akan ada sidang, karena sampai melewati batas 3 hari penyampaian surat panggilan untuk sidang dihari H, tidak adanya pemberitahuan dari jaksa penuntut umum akan rencana adanya sidang.

Sehingga memasuki sidang tanggal 23 Juni 2011, saya menolak untuk menghadiri sidang. Disamping tidak sesuai ketentuan pemanggilan secara sah, saya juga memberi tahu bahwa Nota Pembelaan masih berada pada ibu dan tidak mengetahui adanya sidang. Maklum ibu saya berada sekitar hampir 100 Km dari Kota Manado.

Namun penjelasan saya tidak digubris dan tetap memaksa saya agar mengikuti sidang. Saya pun bersikukuh menolak mengikuti sidang karena tidak sesuai dengan tata cara sidang yang telah diatur undang-undang. Namun saya dipaksa, walau tidak mandi dengan memakai celana pendek dan pakaian kaus serta rambut yang tidak tersisir dan acak-acakan.

Mungkin mereka berbuat demikian dengan harapan memperoleh kesempatan design rekayasa lebih leluasa, karena saya tidak mempunyai Nota Pembelaan, sehingga dapat membuat putusan sesuai dengan settingan yang telah dipesan aktor intelektualnya.

Nampak tersirat dari wajah mereka scenario agar saya tak dapat membaca nota pembelaan berhasil. Dari indikasi siasat dan rekayasa bukti surat panggilan ini, kemudian saya mulai menemukan keganjilan atas manipulasi dan siasat dengan menggunakan surat panggilan sebagai rekayasa alasan penetapan penahanan pada sidang beberapa waktu lalu.

Sehingga untuk yang kesekian kalinya, sidang rekayasa yang penuh intrik dan manipulatif dilakukan lagi. Dimana saya dipaksa hadir tidak sebagaimana aturan yang telah ditentukan undang-undang. Saya dipaksa mengikuti sidang dengan celana pendek berkaus oblong dengan tangan kosong tanpa membawa Nota Pembelaan.

Bab 7

Nota Pembelaan






Dalam kondisi dipaksa mengikuti sidang yang tidak sesuai aturan dan tanpa Nota Pembelaan, di PN. Manado, saya tidak bisa berbuat banyak. Untung tak berapa lama kemudian, rasa was-was adanya rekayasa para Mafia bisa pupus, karena ibu mertua tiba-tiba muncul membawa surat-surat dan Nota Pembelaan.

Sidang dibawa tekanan dan ancaman, bisa berlangsung dengan pembacaan Nota Pembelaan yang akhirnya baru saya tanda tangani didepan majelisa hakim PN. Manado. Selama sekitar satu jam lebih tersebut berhalaman sekitar 34 halaman.

Pada Nota Pembelaan tersebut, pertama yang saya soroti adalah penangkapan ala teroris tanpa memberikan surat penangkapan kepada keluarga, yang berbau konspirasi otoriter dan tidak sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Demikian alasan penahanan dengan menggunakan pasal manipulatif penuntut umum, 335 ayat (1) ke-1 KUHP yang tidak sesuai BAP. Dimana hakim tidak mempertimbangkan berkas perkara pasal 310 KUHP dan pasal 315 KUHP. Namun lebih kepada pasal manipulasi yang tidak sesuai fakta hukumnya yang tidak sesuai tata cara perundang-undangan yang berlaku. Sehingga memberikan petunjuk bahwa proses sidang telah berlangsung melalui suatu settingan konspiratif.

Bahwa demikian pula alasan tidak mengikuti sidang, adalah tidak benar atau sebagai suatu pernyataan manipulatif, yang diduga kuat telah dipengaruhi penyuapan. Sebab saya ke Jakarta telah dilakukan pemberitahuan penundaan untuk melihat anak yang sedang sakit.

Dan pemberitahuan tersebut telah diizinkan sesuai konsultasi dengan ketua Majelis hakim Tinggi Andreas Don Rade, SH,.Mhu, yang memeriksa proses sidang rekayasa yang saya laporkan dipengadilan Tinggi Manado.

Demikian pula, alasan penundaan sidang dilampiri secara patut dan jelas dengan surat keterangan sakit dari dokter psykologis DR. Elena dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Termasuk surat dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK.

sidangan hal tersebut telah sehingga Padahal penundaan persidanga telah dilakukan secara patut dan sah dengan memberikan bukti surat sakit dan surat dari LPSK yang menyatakan soal dibutuhkan kehadiran saya terhadap anak saya yang berkaitan dengan kasus rekayasa III ini.

Saya juga menjelaskan kasus rekayasa ini bermula dari rasa kepedulian saya untuk mengungkap kasus penculikan DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc yang kemudian melahirkan rentetatan rekayasa yang didahului dengan penculikan penyekapan dan pemenjaraan.

Bahkan kemudian melahirkan tawaran damai berkali-kali. Sehingga mengundang pertayaan ada apa dibalik penculikan dan pembunuhan sadis Oddie Manus, hingga berbuntut ke pe nyanderaan anak saya ?. dan berulang-ulang saya uraikan ada apa denga Sarundajang ?.

Selanjutnya saya menyoroti soal penyimpangan dan rekayasa, antara lain 1. BAP yang cacat adaministrasi yang menjadi tidak patut dan tidak sah. 2. Pemeriksaan korban yang tidak patut setelah pelapor, 3. Surat dakwaan dengan pasal sesat 335 ayat 1 ke-1 KUHP, 4. Klaim pemanggilan yang tidak benar sebanyak 7 kali, 5. Klaim melarikan diri sebagai tuduhan yang tidak benar, karena justru telah dilaporkan penundaan secara sah.

Bahwa demikian pula saya menyoroti soal prosesi sidang yang berjalan tidak sesuai tata cara yang diatur menurut undang-undang yang merupakan persidangan sesat, karena didominasi dengan prosesi sidang pemeriksaan formil berupa pembacaan BAP Korban, SH. Sarundajang, pembacaan BAP Xandramaya Lalu dan pembacaan BAP Terdakwa. Sebagai sidang paling aneh yang ada di Indonesia.

Dimana sidang pemeriksaan formil ala PN. Manado tanpa dihadiri terdakwa selama 4 kali dengan sidang penetapan penahanan ala PN. Manado dengan menggunakan pasal sesat. Sehinggga tidak terjadi proses menemukan kebenaran mataril sebagaimana sepaptutnya untuk azas pemeriksaan secara langsung oleh pengadilan tindak pidana.

Kemudian keterangan saksi & pemeriksaan tidak lengkap. Dimana sidang berlangsung tidak sesuai azas pemeriksaan secara langsung, untuk menemukan kebenaran materil, namun lebih kepada prosesi sidang pemeriksaan formil ala PN. Manado yang tidak diatur tata caranya sesuai undang-undang,

Korban walau tiga kali tidak hadir dengan alasan tugas kenegaraan. Anehnya dipaksakan pembacaan BAP, dengan alasan dilayakkan sesuai pasal 162 KUHAP. Padahal kami telah menolak pembacaan BPsehingga karena hakim memaksakannya kami walk out. Juga menyinggung ketidak hadiran tanpa dasar dan alasan bukti yang jelas, berupa surat SPPD, Surat tugas Mendagri, Surat tugas Menteri pertahanan dan surat tugas dari presiden, serta bukti pasport dan visa. Dimana kewajiban hakim secara negative (negative wettelijk) sesuai azas hukum, tidak dilakukan secara aktif oleh hakim. Sehingga dasar pasal 162 KUHAP tidak dapat digunakan karena tidak adanya bukti yang menunjukkan adanya peran Korban telah melakukan tugas kenegaraan.

Sementara 3 saksi lainnya memberikan keteranga yang tidak bersesuaia satau dengan lainnya, anatara lain Boy menyatakan acara rapat di lt 2 Bappeda sementara Herman di lt 3 Bappeda, Boy dan menyetakan Henry berteriak tanpa alat bantu, sedagkan Herma menyatakan bertanya dengan melakukan alat bantu mic. Boy menyatakan diamankan peserta, sementara Hrerman menyatakan diamankan penagaman Bappeda. Oscar menyatakan dihadir 100 undangan, Herman menyatakan 50 s/d 60 peserta. Oscar menyatakan diundang lewat hand phne, sementara Herman menyatakan sebagai panitia dia punya SK Panitia lokal dan berdasarkan Kepperes. Juga dihadiri wartwan.

Demikian pula selama proses sidang dipengadilan berlangsung, tidak pernah dilakukan pemeriksaan Terdakwa dan Korban. Sehingga bertentangan dengan Audio Alterampartem (proses persidangan harus mendengar kedua belah pihak).

Juga selama proses persidangan tidak dilakukan pemeriksaan terhadap Terdakwa. Sehingga azas pemeriksaan secara langsung tidak dilakukan. Artinya sepatutnya, dalam pemeriksaan perkara pidana, Hakim seberapa boleh harus boleh berhubungan langsung dengan terdakwa, yang berarti Hakim harus mendengar sendiri terdakwa. Tidak cukup dengan adanya surat-surat pencacacatan yang memuat keterangan-keterangan terdakwa dimuka penyidik. Azas ini juga berlaku bagi saksi-saksi dan saksi ahli dan dari siapa akan diperoleh keterangan-keterangan yang perlu yang memberikan gambaran apa yang benar-benar terjadi.

lahirnya pasal sesat dalam surat dakwaan atau telah menjadi kabur karena tidak sesuai BAP penyidik Polisi, yang berulang-ulang kali saya tegaskan adanya pasal sesat 335 ayat (1) ke-1 KUHP.

Jadi Yudex Factie telah salah memeutuskan, karena tidak ada petunjuk alat-alat bukti terkait dengan adanya rapat dan adanya woc di bulan Februari tahun 2007. Hal 367 Mah Agung







Bagian Empat

Kwalitas Alat Bukti & Rekayasa





Bahwa sebagaimana ditentukan menurut udang-undang, untuk pemeriksaan dipersidangan, maka asas pembuktian yang harus dipenuhi adalah dengan mengajukan sejumlah alat bukti yang sah telah ditentukan sesuai pasal 184 ayat (1) KUHAP : a. Keterangan Saksi, b. Keterangan Ahli, c. Surat, d. Petunjuk, dan e. Keterangan Terdakwa.

Sementara dipersidangan yang diajukan jaksa penuntut umum, hanyalah Keterangan saksi yang tidak lengkap atau tidak utuh. Sementara sebagaimana diuraikan pada surat tuntutannya, telah diajukan tiga ( 3 ) alat bukti: Keterangan Saksi, Surat dan Petunjuk.

1. Keterangan Saksi

Bahwa sesuai fakta persidangan, selama proses pemeriksaan dipersidangan, yang diajukan dan diperiksa, hanyalah saksi a charge (saksi memberatkan) : Boy Watuseke, SH, Drs. Oscar Wagiu dan Melky Koesoy, ST. Sementara “KONON” korban SH. Sarundajang sebagai saksi tidak pernah diperiksa.

Sesuai fakta persidangan, keterangan saksi berdiri sendiri, demikian pula keterangan saksi satu dengan saksi lainnya. Uraiannya : 1. Menurut Boy Watuseke acara tersebut berlangsung di Lt 2 Bappeda. Sementara Melky Koesoy di Lt 3. Bappeda. 2. Menurut Boy Terdakwa berteriak tanpa alat bantu, lain dengan Melky yang menyatakan Terdakwa bertanya dengan alat bantu mic. 3. Boy dan Oscar menyatakan peserta sekitar 100 orang, sementara Melky menyatakan peserta antara 50 sampai 60 orang. Atau tidak memenuhi pasal 185 ayat (5) dan (6) huruf a.

Demikian pula, keterangan saksi tidak bersesuaian dengan alat bukti lainnya. Uraiannya : 1. Boy, Oscar dan Melky menyatakan dihadiri berbagai wartawan, namun tidak ada bukti berita, bahwa pernah ada peristiwa WOC dan kejadian yang disangkakan. 2. Boy, Oscar dan Melky menyatakan ada acara rapat WOC, namun tidak dapat ditunjukkan adanya undangan, daftar hadir, notulen rapat. 3. Boy, Oscar dan Melky menyatakan acara rapat WOC dibulan Februari 2007 dan ada SK dan Keppresnya, namun tidak dapat ditunjukkan SK Panitia lokal tahun 2007 dan Keppres tahun 2007 sebelum atau sekitar bulan Februari 2007, tidak memenuhi pasal 185 ayat (6) huruf b. Artinya, keterangan saksi tidak bersesuaian dengan alat bukti Surat yang sepatutnya dapat ditunjukkan terait benar tidaknya ada peristiwa atau acara WOC dibulan Februari tahun 2007.


2. Surat

Bahwa surat sebagai alat bukti yang diajukan jaksa, sesuai pasal 187 huruf a, tidak berkualitas sebagai alat bukti Surat, yaitu : 1. Karena cacat secara administratif telah mengindikasikan telah terjadi rekayasa. 2. Pengenaan dakwaan pasal 335 KUHP yang tidak sesuai BAP, mengindikasikan telah terjadi manipulasi fakta hukum. Uraiannya :

Bahwa berkas perkara yang dilimpahkan ke PN. Manado, Nomor : B-355/ R.1.10/ Ep.1/ 11/ 2010, oleh Kejari Manado yang ditandatangani Panannangan, SH, telah memberikan pertimbangan pada huruf a. Bahwa penuntut umum berpendapat dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan dengan dakwaan telah melakukan tindakan pidana dalam dakwaan kesatu pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP atau dakwaan kedua pasal 310 KUHP.

Dari pertimbangan tersebut diatas, jelas telah terjadi manipulasi fakta hukum. Soalnya, ketika dilakukan penyidikan pada dua (2) tahun lampau, BAP terkait dengan sangkaan tindak pidana pasal 310 KUHP dan pasal 315 KUHP.

Selanjutnya ketika memeriksa copian turunan berkas perkara, saya dapatkan adanya keganjilan atau telah terjadi manipulasi ditingkat Resume, yang ditandatangani penyidik pembantu dengan menggunakan cap bulat lonjong yang tidak biasanya dipergunakan. Dimana sumber saya menyatakan, cap tersebut hanya dipergunakan untuk kebutuhan secara internal Polisi dan bukan untuk kebutuhan eksternal, sehingga patut diduga RESUME tersebut RESUME REKAYASA, yang mencantumkan pasal 335 KUHP atau telah terjadi lain dari BAP atas semua saksi-saksi yang disidik.

Dari RESUME ini, mulai terbaca adanya dugaan rekayasa ditingkat penyidikan. Penelusuran berkas terus saya pelajari secara detil. Ditemukanlah, adanya keganjilan berkas perkara, terlihat dari surat-surat yang saya periksa satu persatu, berlepotan tip eks.

Seperti Laporan Polisi, tertanggal 1 Maret 2008 ditip eks menjadi 1 April 2008. Surat Perintah Penyidikan, No. Pol. : SP. Sidik/ 388/ I/ 2008/ Reskrim berkode bulan I, anehnya tertanggal 01 April 2008, yang kemudian dalam pemeriksaan dipersidangan, tidak diakui oleh saksi Boy Watuseke sebagai laporannya.

Demikian pula, BAP, Herman Meiky Koessoy, ST, MSi tertanggal 18 April 2008, Ir. Xandramaya Lalu, tertanggal 22 bulan April 2008, dan Drs. Oscar Wagiu pada tanggal 22 bulan April 2008, begitu ganjil dengan LP Polisi : LP/ 541/ III/ 2008/ SPK/ Poltabes Manado, tertanggal 01 April yang ditip eks tahun 2008, pun ganjil terlihat dari kode bulan III.

Bahwa dari turunan berkas copian lebih aneh lagi, Korban SH. Sarundajang, di BAP pada hari Sabtu tanggal 1 April 2008, kedua (2) jam 14.00 Wita, sesudah pelapor Boy Watuseke, SH di BAP pertama jam 12.00 Wita.

Bahkan sesuai pengakuan pengawas Kejati Sulut, Ibu Laura Rombot, SH, Korban baru diperiksa beberapa waktu lalu, saat saya menjalani pemerikaan di Kejaksaan Tinggi pada tgl 9 November 2010.

Bahwa sesuai RESUME penyidik Poltabes, dijelaskan tidak dilakukan penangkapan dan tidak dilakukan penahanan. Bukti sesuai keterangan Mabes Polri, sebagaimana laporan Poltabes Manado, terkait dengan kasus ini.

Terdakwa ditangkap dan ditahan dua (2) bulan dalam Rutan Poltabes Manado, Surat Penangguhan Penahanan, No. Pol. : Sp. Han/ 40.a/ IV/ 2009/ Reskrim), yang ditulis berdasarkan permintaan tersangka. Padahal tidak ada permintaan tersangka.

3. Petunjuk

Sesuai proses pemeriksaan dipersidangan yang penuh intrik dan rekayasa, dimana TERDAKWA tidak diperiksa, termasuk saksi verbalism dan saksi meringankan yang tidak diperiksa, dan oleh Ketua Majelis Hakim langsung menetapkan agenda sidang pembacaan Tuntutan. Sehingga berbuntut permintaan penggantian hakim dan pelaporan ke Pengadilan Tinggi Manado oleh TERDAKWA.

Dari fakta persidangan yang atas kisruh tersebut diatas yang kemudian dilahirkan lagi rekayasa jebakan dan melahirkan penetapan penahanan, dengan alasan manipulatif : melarikan diri sesuai surat tuntutan.

Bahwa alat bukti Petunjuk yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, adalah tidak dapat dijadikan alat bukti, karena tidak sesuai amanah dimaksud sesuai pasal 188 ayat (1) dan (2). Uraiannya :

1. Bahwa tidak ada petunjuk keterangan saksi yang merasa dirinya telah menjadi korban oleh perbuatan tindak pidana seseorang, yang diajukan dipersidangan. Dimana sesuai pasal 185 ayat (1) keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan.

2. Bahwa tidak ada petunjuk adanya laporan polisi yang sesuai keterangan saksi Boy Watuseke dipersidangan tidak diakuinya. Demikian pula surat BAP yang cacat administrasi yang diragukan keabsahannya, atau surat BAP pasal 310 KUHP dan 315 KUHP yang tidak sesuai atau tidak berhubungan dengan yang dimaksud sesuai surat dakwaan pasal 335 KUHP dan 310 KUHP oleh Jaksa Penuntut Umum.

3. Bahwa tidak ada petunjuk yang didapat dari TERDAKWA dipersidangan, karena Jaksa tidak pernah menghadirkan TERDAKWA untuk didengar dan diperiksa keterangannya dipersidangan. Dimana sesuai pasal 189 ayat (1) Keterangan Terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.



















Bagian Tiga

Sidang Sanggahan Jaksa





Pada tanggal 23 Juni saya dipaksa untuk membacakan nota pembelaan saya, seminggu kemudian jaksa penuntut umum memperoleh giliran membacakan repliknya pada sidang tanggal 30 Juni 2011.

Bahwa dalam replik jaksa pada pendahuluannya, dia menyoroti adanya rentetan rekayasa dan kriminalisa sebagai mengada-ada, dan mempertanyakan mengapa tidak melaporkan oknum-oknum yang menurut terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan tindak pidana yang antara lain menculik atau BARANGKALI membunuh atau mencemarkan nama baik terdakwa atau keluarganya.

Demikian pula dalam replik jaksa yang menyatakan telah melakukan kriminalisasi dan menuding saya sebagai telah melakukan atau menyebarkan fitnah kepada Gubernur SH. Sarundajang.

Sementara pada analisa faktanya, jaksa menyatakan, bahwa sebagaimana analisa fakta hukum menyatakan membuat versi berbeda dengan fakta persidangan, sehingga jaksa menolak uraian analisa fakta dari terdakwa.

Bahwa demikian pula pada analisa yuridisnya, yang atas unsur : 1. Barang siapa, 2. Dengan Sengaja, 3. Menyerang Kehormatan atau Nama Baik Seseorang, 4. Menunduh melakukan suatu perbuatan tertentu, 5. Dengan maksud yang terang supaya hal itu diketahui umum, atas semua unsur tersebut diatas, jaksa selalu menyatakan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan baik keterangan saksi, petunjuk serta keterang terdakwa sendiri yang telah dibacakan didepan persidangan.

Bahwa hanya dengan mengandalkan membaca BAP saksi korban SH. Sarundajang, membaca BAP saksi Xandramaya Lalu dan membaca keterangan Terdakwa, nyata jelas jaksa hanya mengandalkan sidang yang sangat fenomenal dan kontrofersial di Sulut khususnya dan Indonesia umumnya, berupa prosesi sidang pemeriksaan formil pembacaan dari BAP satu ke BAP lainnya. Atau jelas bertentangan dengan amanah pasal 1 butir 9 KUHAP, MENGADILI, adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di SIDANG PENGADILAN dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Bahwa sesuai pasal 1 butir 15 KUHAP, terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili disidang pengadilan, sehingga jelaslah bahwa keterangan Terdakwa yang dibacakan BAPnya, bukanlah alat bukti yang sah menurut undang-undang, sebagaimana dimaksud oleh jaksa penuntut umum yang tidak pernah diperiksa dipersidangan.

Bahwa sesuai pasal 185 ayat (1) KUHAP, keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan. Sehingga jelas saksi korban SH. Sarundajang dan saksi Xandramaya Lalu, yang tidak memberikan keterangan disidang pengadilan yang keteranganya dibacakan bukanlah merupakan alat bukti sebagaimana dimaksud menurut undang-undang.








Bab 1

Nota Pembelaan Tambahan




Kemudian atas tanggapan jaksa penuntut umu saya mengajukan Duplik atau Nota Pembelaan tambahan, atas tudingan fakta sidang yang tidak sesuai fakta sidang versi jakasa penuntut umum, saya menyatakan memback up dengan data rekaman suara dan gambar yang terjamin kualitas dan validitasnya.

Bahwa kemudian saya juga mengcam atas penetapan penahanan dengan pasal manipulatif dari jaksa penuntuit umum tanpa memperhatikan berkas perkara yang tidak pernah terungkap adanya pasal 335 KUHP.

Bahwa sebagaimana penjelasan jakasa tentang tidak melapor atas kriminalisasi dan kata BARANGKALI, saya uraikan atas peristiwa kasusu rekayasa III ini saja tertahan 1 tahun 8 bulan di Kejari, yang sepatutnya bertanyalah kepada diri sendiri mengapa demikian. Semnetara kata BARAGKALI, saya menduga dannya keraguan atau patuit diudga terlibat skenari rekayasa atau bagian dari suap. Dimana jelas melanggar kode etik peraturan Jeksa Agung RI No. : Per-06/A/JA/07/2007 tentang kode etik perilaku jaksa pasal 4 Bab IV b, tidak boleh merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara dan bertindak diskriminatif dalam bentuk apapun.

Saya juga menguraikan adanya fakta kebohongan yang dilakukan hakim dan jaksa. Yang mengecam pertimabanag penangkapan dan penahanan dengan pasal manipulatif 335 KUHP yang tidak sesuai BAP pasal 310 dan 315 KUHP.

Demikian adanya pernyataan Hakim ketua Armindo Pardede disidang tentang tidak adanya pembacaan BAP saksi Xandramaya Lalu, padahal kami walk out karena pembacaan BAP Xandramaya Lalu, dimana saya tegaskan dalam duplik saya, dengan bukti keterangan Humas PN. Manado Novry Oroh, SH sesuai berita media Tribun Sulut Rabu (2/2), bahkan begitu jelas diuraikan pula keterangan pembacaan BAP saksi Xandramaya Lalu, pada surat tuntutan No. Reg. Perk. : PDM-122/M.Nado/Ep.2/II/2010 dan Replik Jaksa No. 451/Pid.B/2010/PN.Mdo.

Dimana saya juga mengungkapkan kekagetan saya atas agenda menyimpang atau telah terjadi by pass sidang kesidang pembacaan tuntutan, padahal sdaya sebagai terdakwa belum poernah diperiksa dipersidangan, termasuk tidak memeriksanya saksi verbalism dan saksi meringankan dari TPF BULIKT’S.

Bahwa kekacauan prosedur sistem persidangan akhirnya menjadi tidak lwengkap dengan tanpa me.lakukan pemeriksaan saksi korban, saksi verbalism, saksi meringankan, serta tanpa memeriksa terdakwa, sebagai persidangan misterius yang patut dipwertanyakan.





















































Upaya Hukum Banding

Setelah putusan manipulatif oleh Mafia Peradilan, sesuai syarat hukum yang ditentukan undang-undang pasal 233 KUHAP ayat 1, saya kemudian memasukkan permohonan banding. Ketika itu, dikeluarkan surat perintah penahanan rumah oleh PT. Manado, namun anehnya selang sehari dilakukan penarikan surat dan dikeluarkan surat perbaikan/ pembetulan penahanan.

Ketika saya melakukan komplein, kepada Kasie. Pelayanan Rutan, dijelaskan bahwa hal tersebut atas permintaan Jaksa Penuntut Umum Rielke Palar, SH Kejari Manado,


“karena surat penahanan yang dikeluarkan PT. Manado salah tulis kata mereka,” jelas Kasie Pelayanan Rutan Bapak M. Simbolon disaksikan teman sesama tahanan kepada saya.

Disamping kejanggalan penarikan surat penahanan tersebut, surat penahanan perbaikan/ pembetulan tersebutpun bertentangan dengan undang-undang pasal 27 ayat 1 KUHAP bukan oleh Hakim Tinggi yang mengadili, melainkan oleh Panitera Sintje Sampelan, SH ttd Wakil Ketua Pengadilan Manado .

Demikian pula pada surat perpanjangan penahanan dilakukan oleh Panitera PT. Manado Sintje Sampelan, SH, bukan oleh Ketua Pengadilan Manado sebagaimana diisyaratkan Undang-undang pasal 27 ayat 2 KUHAP lagi-lagi ttd Wakil Ketua PT. Manado.

Surat vonis banding yang menguatkan putusan PN. Manado-pun, nampak sangat manipulatif yang menerangkan memori banding yang tidak sesuai dengan memori banding yang saya masukkan. Bahwa manipulasi seperti yang saya alami, juga pernah dialami 2 teman sesama tahanan. Yaitu Marlon Sumendap dan Iriantje B. Rumengan.

Demikian pula, memasuki upaya hukum Kasasi, saya terus dibujuk oleh Ka. Rutan kelas II A. Manado agar saya menerima putusan. Entah apa pedulinya mau mencampuri hak hukum saya. Sehingga itiket buruk untuk mempengaruhi hak orang lain ini, memunculkan dugaan adanya konspirasi pesanan dengan orang tertentu hingga ke Rutan.

Bahkan masa penahanan saya selama 41 hari dengan tanpa surat perintah penahanan, tak jua dikeluarkan oleh Ka. Rutan Julius Paat, walau saya lakukan permintaan kejelasan status penahanan berkali-kali kepada Rutan.

Sehingga atas perampasan kemerdekaan terhadap saya secara sewenang-wenang, saya laporkan ke Polda Sulut-pun, namun tak ada tindak lanjutnya. Hingga suatu waktu pada rapat antar kepala-kepala kamar Rutan kelas II A Manado, Ka. Rutan menyatakan, bahwa hasil koordinasi dengan ketua PN. Manado agar tetap menahan Henry Peuru.

Atas intervensi ketua PN. Manado tersebut, saya kemudian melaporkan sikap dan cara ketua PN. Manado kepengawasan PT. Manado. Selanjutnya saya diperiksa lagi oleh majelis hakim tinggi Manado. Bapak Andreas Don Rade, SH,. Mhum, Susanto SH sebagai anggota dan I Nyoman Adi Juliasa, SH,.MH.

Bahwa tak gentar dan pantang mundur walau diciptakan taktik gesekan agar saya dapat ditekan dan dibuat stress, namun saya tetap sabar dan tabah serta terus berjuang mencari keadilan, dan melakukan upaya hukum.

Adalah aneh kemudian setelah 41 hari ditahan tanpa selembar surat penetapan penahanan, saya diberikan copian surat penetapan penahanan atas sangkaan rekayasa pencemaran nama baik dari Pidana Khusus Mahkamah Agung R.I. Sampai saya dikeluarkan oleh pihak Mahkamah Agung Pidana Khusus, atas upaya saya dan istri meminta klarifikasi atas surat penetapan penahanan tersebut.

Namun ternyata, surat pengeluaran dari pidana khusus ini-pun masih saja mau disiasati agar saya tetap ditahan oleh pihak Rutan. Plh. Ka.Sie Pelayanan Rutan bahkan menyatakan pak Henry belum bisa keluar, karena masih terkait dengan kasus yang lain (kasus Rekayasa IV). “Loh, apa alasan dan hubungannya dengan kasus yang satu (1) hingga bapak harus menahan saya,” tanya saya. Pada persidangan ini, saya tidak ditahan tegas saya. Kok bapak mau mempersulit saya.

Pak Ferry lantas meminta untuk dikonsultasikan dengan Ka. Rutan Julius Paat, namun saya tolak, karena tidak ada sangkut pautnya dengan otorisasi dengan kompetensi undang-undang. Saya-pun kembali kekamar, dan menulis surat ke Ka.Kanwil atas waktu penahanan yang telah lewat waktu, sebagaimana yang telah ditentukan oleh pihak Mahkamah Agung RI, dan dibawa oleh ibu kekantor Kanwil Hukum dan HAM Sulut.

Upaya menghalang-halangi saya keluar kian membuat tandatanya besar, ada apa dengan sikap Rutan yang selama ini sangat misterius kepada saya selama ini ?. Adakah telah berkonspirasi dengan Mafia Hukum ?. Ibu saya, bukan saja membawa surat tersebut, namun ditungguinya hingga ada jawaban dari Kakanwil. Hingga akhirnya, pihak Kanwil menelepon ke-Rutan agar saya dikeluarkan, setelah ditahan secara sewenang-wenang dan dirampas kemedekaan saya selama 2 hari lagi.

Kasus rekayasa IV ini, pada hari Rabu, tanggal 28 Maret 2012, untuk kali ke-2 (dua), akhirnya divonis bebas lewat pembacaan pada sidang terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis Hakim Aris Boko, SH, setelah kasus Rekayasa II, diputus bebas murni (vrijsprak) di PN. Manado. Kembali saya menikmati putusan Hakim yang adil jujur dan berani : Bapak Aris Boko, SH Cs.

Namun, bagaimana Mafia Peradilan bermain dengan serentetan kasus rekayasa disemua tingkat Peradilan hingga ke Mahkamah Agung R.I, amat terlebih pada kasus Rekayasa III, semua akan terungkap pada kisah selanjutnya pada terbitan buku berikutnya yang berjudul : Melawan Putusan Manipulasi Jilid II.

























Bab 2

Kesempatan & Penghianatan







Atas rentetan kasus rekayasa yang menimpa saya, begitu banyak suka duka yang saya dan keluarga alami, entah penghianatan baik dari teman maupun keluarga hingga yang memanfaatkan kesempatan diatas penderitaan saya dan keluarga, terus mengitari perjuangan saya. Namun saya tak ambil peduli. Sebab saya yakin : Takut akan Tuhan, sebagai permulaan pengetahuan, menjadi bagian kekuatan iman saya, istri dan anak-anak saya.

Kalau teman keluarga bersifat seperti tersebut diatas, itu merupakan bagian dari hak dan pilihan sikap moral mereka bagaimana bertindak dalam iman dan perbuatannya didalam berkeluarga, bersahabat, bermasyarakat, dan berkeyakinan.

Semua yang kami rasakan begitu pedih, menyakitkan, puas dan bahagia. Dua fenomena rasa yang kontradiktif ini, bagian dari mahfum kami atas apa yang kami rasakan dan siapa yang menjadi penghianat atau yang memanfaatkan kesempatan untuk meraih keuntungan.

Dulu ketika kami berjuang begitu gigih dan semangat penuh solidaritas ungkapan itu dikobarkan. Namun ketika ancaman rekayasa itu datang, banyak teman akhirnya lari dan dan bahkan berhianat.

Hanya saja yang sangat memiriskan saya, ada kawan yang memanfaatkan keadaan untuk mencari keuntungan diatas penderitaan saya. Kami betul-betul jadi barang dagangan untuk kepentingan kelompok dan pribadinya.

Lebih sial dan tak bermoral, ada kawan yang sempat saya bantu hingga memperoleh pekerjaan, malah menjadi anjing mangasu. Bukan hanya berhianat, mencari keuntungan, bahkan lebih jahat lagi melakukan jebakan dan kekerasan fisik menjadi anjing pelacak dan pemangsa. Betul-betul jual diri membela yang bayar. Dimana air susu dibalas dengan air tuba.

Sementara buku yang dengan susah payah saya buat sebagai media perjuangan maupun yang sempat menjadi andalan ekonomi keluarga untuk menghidupi istri dan anak-anak saya di Jakarta, yang dibeli oleh orang dari Manado hingga hampir tak satupun disisakan, ,sampai hati hanya dibayar separuh. Diutangin.

Padahal usaha penerbitannya, dikumpulkan sedikit demi sedikit dengan susah payah oleh istri dan anak-anak saya. Mereka mengharapkan hasil penjualannya, dapat menunjang ekonomi keluarga baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk biaya pendidikan anak-anak di Jakarta.

Sampai buku edisi revisi ini diterbitkan, utang tersebut belum juga dibayar. Sementara menurut sumber saya, perbuatan tersebut sengaja dilakukan demikian oleh orang yang sangat berkepentingan, agar bisa mematahkan perjuangan saya dan dapat menghancurkan ekonomi keluarga saya. Indikasi ini saya perhatikan, atas pertanyaan Ibu Carla Tambunan yang setia mengunjungi saya, menawarkan perdamaian, selalu terselip pertanyaan , pak Henry siapa sich yang membiayai penerbitan bukunya ?.

Dan dari perjuangan yang saya hadapi dan jalani, semua berikhtiar dan terjebak kepada kepentingan pengabdian tanpa hati demi jabatan dan uang. Kerakusan hatinya menjadi segala-galanya. Sayapun akhirnya berjuang sendiri dalam penantian istri dan anak-anak yang mencintai saya dan saya cintai. Kami berjuang dalam kesederhanaan apa adanya.

Dasar kekuatan kami, dengan hanyan mengandalkan Tuhan dalam keyakinan kebenaran dan keadilan. Dimana acuan perjuangan saya adalah hati. Sebab hati yang gembira adalah obat yang manjur, yang menjadi bunga kekuatan perjuangan dan keutuhan keluarga.























Bab 3

Kebusukan Pasti Terbongkar






Bahkan kian terjawab dari 2 kali gubernur SH. Sarundajang, yang meminta damai secara langsung melalui kelompoknya yang pertemuannya berlangsung di lt. 18 Borobudur. Pertemuan pertama, SH. Sarundajang didampingi 3 orang wartawan dan 2 orang pejabat ditingkat Prov. Sulut. Sementara pertemuan kedua di lt 18 Borobudur.

Itupun, pertemuan bisa terjadi, setelah mereka melakukan dengan cara paksa melalui “penyanderaan” anak wanita saya tertua yang dibawa ke Jakarta, -walau dia sedang kuliah-, setelah didahului dengan upaya bujuk rayu membawa (“sandera”) ketiga anak saya dibawah dirumah dinas Gubernur.




Pengakuan Wagub. Sulut

Walau kebohongan demi kebohongan telah ditutup-tutupi dan bantahan demi bantahan dimediakan, akhirnya yang busuk pasti akan terbongkar juga. Dimana petunjuk lain yang kami peroleh dari pengakuan staff dan Wakil Gubernur Sulut Freddy Sualang, bahwa dia diminta untuk segera melaporkan tuduhan fitnah kepada saya setelah saya diculik dan disekap di Rutan Poltabes Manado.

“Kami sudah menangkap Henry,” tandas ajudan Gubernur kepada Freddy Sualang, segera laporkan fitnah,” tandasnya. “Namun permintaan tersebut, saya tolak,” ujar mantan Wakil Gubernur Sulut Freddy Sualang kepada tim saya ketika menjambangi dirumah kediamannya dibilangan Malalayang, tepatnya belakang RSUD. Malalayang, sebelum beliau ditahan dipenjara Tuminting.


Misteri Oknum Mabes

Skenario untuk membungkam langkah saya, ditengarai melibatkan oknum Mabes POLRI. Soalnya, upaya penculikan terhadap saya sudah melibatkan oknum Densus 88 POLDA Sulawesi Tengah. Artinya, kerja lintas POLDA sangat patut dipertanyakan.

Sehingga kian kuat dugaan pemanfaatan oknum Mabes yang bisa melakukan pengendalian lintas manajemen kepolisian, hanya dapat dilakukan oleh oknum tertentu yang sangat kuat baik kekuasaan maupun financial.


Vonis Bebas Rekayasa IV

Kasus rekayasa IV yang didesign oleh Mafia Hukum Sulut sebagai telah melakukan percobaan penganiayaan terhadap Polisi, pada hari Rabu, tanggal 28 Maret 2012, untuk kali ke-2 (dua), dipersidangan PN. Manado, akhirnya divonis bebas.

Pembacaan pada sidang terbuka untuk umum yang dilakukan secara maraton sejak saya masih dalam Rumah Tahanan hingga saya dikeluarkan dari Rutan Kelas II A oleh Ketua Majelis Hakim Aris Boko, SH, setelah kasus Rekayasa II, diputus bebas di PN. Manado, saya betul-betul menjadi legah, karena perjuangan panjang saya dengan sabar dan tekun dapat saya lalui. Dan yang amat penting, ternyata kembali saya menikmati putusan Hakim yang adil jujur dan berani : Bapak Aris Boko, SH Cs.


Sidang Rekayasa V Di Jakarta

Setelah melalui sidang yang keempat kalinya yaitu : Rekayasa I ditolak Wagub. Freddy Sualang, Rekayasa II bebas murni, perdata vonis NO, rekayasa III sidang rekayasa penuh kontroversial hingga ke Mahkamah Agung RI, rekayasa IV vonis bebas, kini saya harus menghadapi lagi kasus rekayasa ke-V berhadapan kali kedua dengan Gubernur Sulut SH. Sarundajang.

Kasus rekayasa yang akan segera disidangkan di PN. Jakarta Pusat ini, diawali dengan upaya damai yang diembeli ancaman rekayasa V, berdasarkan laporan polisi : LP No. 1154/ K/ IV/ 2009/ SPK tertanggal 19 April 2009, yang proses penyidikannya telah dilaksanakan pada hari Kamis tgl 9 Desember 2010 pada sekitar jam 11.30 Wib, oleh Kompol Dra. Suzana Dias dan AKP Armainy, SH. Dimana ketika itu saya dicecar dengan sekitar 20 pertanyaan. .

Namun selang setahun kemudian, berkas ini dikembalikan oleh pihak Kejati DKI kepada penyidik Polda Metro Jaya, pada tanggal 8 Juni 2011, dan baru dilakukan pemanggilan pemeriksaan tambahan pada tgl 8 Juni 2012 oleh Kombes Paimin, SH dan AKP Armainy, SH.

Proses pemeriksaan tambahan yang berlangsung pada hari Senin tanggal 11 Juni 2012 diruang II sat I Kamneg di Kantor Direktorat Reserce Kriminal Umum Polda Metro Jaya Jl. Sudirman No. 55 dilakukan oleh AKP Armainy yang hanya mengajukan 1 pertanyaan saja sesuai permintaan Penuntut Umum, tandas Armainy menjelaskan kepada saya mengawali pemeriksaan tambahan.

Pertanyaan yang diajukan, siapakah saksi meringankan yang mengetahui dan akan saudara ajukan. Saya langsung menjawab, Bapak Adnan Pandu Praja, SH., LLM anggota KPK. Sebab, “Pak Adnanlah yang memanggil saya pada acara dialog di TV One setelah kami laporkan semua rekayasa yang dilakukan kepada saya,” jelas saya.

Sehari setelah itu, saya bertemu dengan pak Adnan di DPR RI, usai rapat dengar pendapat dengan Komisi III. Sayapun mengutarakan tentang pengembalian berkas BAP dari Kejati DKI untuk pemeriksaan tambahan di Polda Metro Jaya, sekaligus memanggil anak saya yang sakit bertemu dengan pak Adnan, yang kebetulan hari itu mengikuti saya.

Atas pemberitahuan dan permintaan menjadi saksi, pak Adnan menyatakan kesanggupannya, sambil mendekat dan memeluk bahu anak saya : Prasetyo, -korban kebiadaban Mafia Hukum Sulut.


Dipimpong Penyidik Polda Metro Jaya

Setelah pemeriksaan tambahan yang diajukan Polda Metro Jaya, yang “katanya” dimintakan pihak penuntut umum Kejati DKI, namun hingga berjalan 6 (enam) bulan sejak dilakukan pemeriksaan tambahan, tak juga terdengar kabar beritanya untuk segera dilimpahkan.

Melihat dan mencermati posisi kasus yang digantung serta adanya upaya permintaan damai dari orang-orang tertentu, patut diduga ada upaya menghambat proses peradilan di PN. Jakarta Pusat.

Maka untuk memperoleh kepastian hukum atas perbuatan sangkaan palsu tersebut, saya coba menelusuri dimana hambatan yang sebesarnya. Maka Polda Metro Jaya saya datangi pada tgl 9 Desember 2012. Oleh Ibu Armainy dikatakan saya sudah limpahkan ke Kejati DKI, “tunggu saja, saya belum ada kabar” tandasnya.

Tak puas, Kejati DKI saya datangi, dibagian pidana umum khusus yang menangani pencemaran nama baik, tak ada kasus saya yang terdaftar. Mereka kemudian meminta mengecek kebagian umum. Namun nama saya, tak juga ditemukan. Akhirnya, mereka meminta agar mengecek waktu dan siapa jaksa yang menangani kasus saya untuk ditanyakan kebagian penyidik Polda Metro Jaya.

Sayapun kembali ke Polda Metro Jaya. Kembali menanyakan kebenaran status dan berkas kasus saya. Ibu Armainy menjawab, saya tidak pernah mengenal dan berhubungan dengan Jaksa saudara, nantilah saya periksa dulu berkasnya, karena saya masih menangani perkara lain. “Lihat saya sedang memeriksa,” tandasnya.

Pada tanggal 10 Desemberpun, mengalami hal yang sama dipimpong. Namun tak menyerah dan putus asa, pada tanggal 11 Desember 2012, kembali saya mendatangi Kejati DKI. Bagian Pidum khusus pencemaran nama baik saya tunggui. Mereka kemudian memeriksa, ternyata data saya sudah di P21, ujar seorang ibu wanita muda.

Oleh Emil Jaksa yang membawahi bidang tersebut, kemudian menyatakan bahwa Jaksanya adalah , saya kemudian mendatangi Jaksa Romi, namun dia tak berada ditempat.

Tapi saya tetap bertahan dan menungguinya. Samai pak Romi tiba saya, kemudian menanyakan perkembangan kasus saya. Romi kemudian menerangkan bahwa, saya adalah Jaksa pengganti. Dan setelah saya memriksa berkas saudara, saya menilai sudah patut di P21. “P21nya saya nyatakan pada tanggal 3 Oktober 2012,” tegasnya. Dan sampai saat ini seharusnya sudah dilimpahkan pihak penyidik Polisi. Jadi, “coba segera saja tanyakan ke Polda,” jelasnya.

Sayapun kembali ke Polda Metro Jaya dan menanyakan ke ibu Armainy serta menjelaskan bahwa pihak Kejati DKI telah memberi penilaian P21 pada tanggal 3 Oktober 2012, “tinggal Poldanya saja yang belum melimpahkan barang bukti dan tersangka,” jelas saya.

Nah, “bu dimana sih hambatannya,” tanya saya. Ibu kemudian menjelaskan bahwa mekanismenya hingga terlambat karena harus melalui Kanit dan Kasi kemudian baru disampaikan kemana gitu sudah saya tidak perduli karena terkesan sengaja digantun. Sampai ibu Armainy menyampaikan akan segera memamnggil saya untuk pelimpahan P21 tahap dua.

Bahwa dari perjuangan kami yang ditindas oleh Mafia Hukum yang lalim dengan melakukan politisasi kejahatan kriminal untuk menutupi segala kebusukan, kami yakin pada waktunya pasti akan tercium. Keyakinan iman kami inilah yang memampukan kami bisa bertahan.





















Bab 4

Misteri Dibalik Pembunuhan Biadab






Tragedi penculikan dan pembunuhan sadis kejam dan biadab yang menimpa anak pejuang purnawirawan TNI : DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc, hingga kini, masih menyimpan misteri dan pertanyaan luar biasa. Apalagi prosesi persidangannya telah mengulang peristiwa nista hukum ala Sengkon dan Karta.

Dimana selama proses sidang pembunuhan paling sadis dan biadab wakil ketua FKPPI di Sulawesi Utara yang mengendap lebih dari 5 tahun di Polres Tomohon ini, baru dinaikkan kepersidangan setelah memperoleh tekanan dari TPF BULIKT’S. Konon kabar, kasus ini bolak balik Polda Sulut – Polres Tomohon, yang menurut dr. Widya Manus anak tertua DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc (Alm), telah terjadi perubahan BAP yang diduga telah diutak-atik atau telah terjadi secara lain.

Perbedaannya, ketika dia memeriksa BAP hasil pemeriksaan oleh Kasatserce Polres Tomohon AKP Kahiking (Alm) dibanding dengan BAP yang ditangani penyidik lainnya setelah Kahiking dipindahkan. Dan persoalan tersebut sempat dibicarakan dengan Kahiking (Alm), sehingga walau Kahiking telah dipindahkan, mereka masih berkomunikasi, karena Kahiking ngotot mengusut kasus tersebut, hingga akhirnya Kahiking harus meregang nyawa, dengan alasan sakit jantung. Namun pihak keluarga Kahiking menerangkan tidak ada tanda-tanda penyakit jantung berkaitan dengan kematian Kahiking.

Bahwa kemudian kasus besar yang cukup menghebohkan rakyat Sulut ini, telah melahirkan prosesi Peradilan Sesat yang diduga telah memakan korban seorang dukun asal desa Tara-tara Tomohon yang tidak bersalah : Martinus Kaparang dijadikan sebagai tumbal, harus meringkuk 6 tahun penjara. Dimana berdasarkan kesaksian yang diyakini kakak dan adik Oddie Manus, Syane Manus dan Agus Manus, didepan persidangan, menegaskan kepada majelis Hakim, bukanlah Martinus pembunuhnya !.

Justru yang membuat kasus ini makin misterius, kasus pembunuhan paling biadab ini, hampir tidak satupun Media harian lokal di Manado Sulut, yang memberitakan peristiwa persidangan terdakwa Martinus Kaparang yang berlangsung di PN. Tondano tersebut. Sehingga diduga, telah terjadi konspirasi besar dengan Mafia Jurnalis.

Demikian pula keyakinan banyak kalangan di Sulut, hingga saat ini, kasus ini masih mengundang banyak pertanyaan dan misteri besar dibalik pembunuhan sadis dan biadab tersebut. Dan yang kian membuat penasaran banyak kalangan, dari penetapan 5 orang tersangka oleh penyidik gabungan yang terus berganti-ganti tersebut, baru 1 orang tersangka yang dinaikkan kepersidangan. Sementara 3 orang lainnya, sampai saat ini belum juga dinaikkan ke Pengadilan. Sedang seorang lainnya Nyonyo Supit (Alm) Ketua FKPPI telah meninggal, yang diduga juga meninggal secara tidak wajar.

Ditengarai, kasus ini, masih menyimpan banyak pertanyaan yang terus ditutup-tutupi. Apalagi ditengarai telah menyeret dan melibatkan kepentingan tertentu yang bisa membayar dan menyuap aparat kita yang kotor hingga dapat menjungkarbalikkan fakta dan mengotori serta membusukkan sistem kita yang sudah buruk ini. Dimana para profesional ini, dengan pintarnya terus mewaspadai, mencermati dan mendesign strategi membungkam dan kalau perlu menghilangkan bukti-bukti atau siapapun yang mendorong pengungkapan kasus kejahatan terbesar di Sulawesi Utara tersebut.

Sebelumnya, dibalik misteri pembunuhan paling kejam sadis dan biadab tersebut, pertama telah menimpa Wakil Gubernur Freddy Sualang yang getol meminta segera diungkap kasus pembunuhan tersebut, akhirnya berhadapan dengan settingan dan opini yang bergulir ditengah-tengah keluarga DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc, sebagai pembunuh, dan akhirnya berbuntut masuk kedalam penjara. Dimana Freddy Sualangpun pernah dibenturkan dengan saya, oleh ajudan Gubernur agar melaporkan saya (Rekayasa I) sebagai telah melakukan fitnah, namun ditolak Bapak Freddy. Sualang.

Selanjutnya, ketika saya mencoba menelusuri kasus pembunuhan ini, pun harus mengalami berbagai tindakan kejam dan biadab serta serentatan design tuduhan rekayasa hingga diculik disekap sekitar empat ( 4 ) kali ala teroris, yang melibatkan pasukan khusus anti Teroris Densus 88 asal Sulawesi Tengah.

Tak cukup melakukan kriminalisasi kejam dan biadab, saya sampai harus mengalami empat ( 4 ) kali masuk keluar penjara tanpa salah, hanya dengan tuduhan rekayasa dan berbagai tindakan manipulasi hukum oleh mafia Hukum dan Mafia Peradilan.

Tak cukup membungkam saya dengan tekanan dan penindasan sadis dan biadab, ketiga anak saya : Risa Christie (19 thn ), Prasetyo Peuru ( 15 Thn ) dan Moris Peuru ( 9 Thn ), pun dibawah (“sandera”) dirumah dinas Gubernur Sulut SH. Sarundajang. Disana, saya diburuk-burukan dan diancam agar saya mau berdamai dengan Gubernur SH. Sarundajang. Dimana tindakan biadab mereka terus berlanjut memaksa anak saya ikut ke Jakarta bersama para Mafia Hukum ini agar dapat memaksa saya bertemu dengan Gubernur SH. Sarundajang. Sungguh biadab Mafia Hukum ini melakukan penindasan terhadap anak-anak saya yang tidak tahu apa-apa, hingga 2 diantara anak saya harus mengalami penderitaan ketakutan karena ancaman dan menghentikan sekolahnya. Dimana anak wanita tertua saya Risa berhenti kuliah karena ketakutan, sementara adiknya Prasetyo, berhenti karena sakit : Tekanan Mental.

Sementara “Misteri” lainnya yang cukup mengundang pertanyaan yang paling ngotot mengejar upaya membongkar kasus pembunuhan paling biadab dari keluarga Oddie Manus, ikut menjadi korban rongrongan dan ancaman bahkan bernasib naas adalah keduanya adiknya laki-laki, yaitu : 1. Tony Manus, yang dipukul secara kejam, termasuk sekitar 2 kali dihadang dan diserempet mobil yang ditengarai hanya untuk membungkam kasus tersebut, 2. Adik laki-laki Agus Manus yang berupaya membongkar kasus tersebut hingga ke melapor ke BAIS dan BIN serta instansi lainnya di Jakarta bersama Tim TPF BULIKT’S pun harus mengalami nasib naas meninggal. Ada dugaan meninggal secara tidak wajar, 3. Anak tertuanya, yang 2 kali diserempet mobil, hingga 1 kali harus masuk kedalam selokan.

Sedangkan dari hasil proses penetapan tersangka yang sudah melalui rekonstruksi, dari 5 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, 1 orang telah meninggal, 1 orang yang diduga hanya kambing hitam atau bukan pembunuh sebenarnya telah dihukum 6 tahun penjara, sementara 3 orang tersangka lainnya, sampai saat ini belum dinaikkan ke Pengadilan. Disinilah keanehan dan misterinya yang masih tersimpan rapat dan rapi yang diduga melibatkan banyak pihak yang memiliki kekuasaan dan dana.

Misteri lainnya yang cukup mengundang pertanyaan, adanya saksi-saksi dan orang yang terlibat dalam penyelidikan pembunuhan DR. Ir. Oddie A. Manus, MSc, akhirnya meninggal secara misterius yang patut diduga sengaja dihilangkan untuk menghilangkan barang bukti dan petunjuk. Mereka yang meninggal secara misterius dan mengundang pertanyaan banyak pihak : 1. Kasatreserce Polres Tomohon yang sebelumnya dihentikan, meninggal mendadak, 2. Nyonyo Supit, saksi yang diduga sebagai saksi kunci, diduga meninggal secara misterius, 3. Ir. Xandramaya Lalu, yang berkompetisi dengan Oddie untuk meraih tampuk Kadis Perikanan dan Kelautan Prov. Sulut, diduga bergesekan dengan apa yang dialami Oddie Manus.


Foto : Point 1 dan 2. 1 halaman


Catatan :

1. Harus dimasukkan foto bersama Agus

2. Foto anak Oddie Manus dr. Widia Manus yang mengunjungi BULIKTS’S

3. Ada revisi tambahan pada


































































Lampiran 1


Gbr : TPF BULIKTS




























Lampiran 2


Gbr : WOS dan WOC



















Lampiran 3

Kronologis Rekayasa I & II


1. Diculik pada tanggal 3 Maret 2008 oleh enam (6) orang yang saya ketahui kemudian 4 oknum Polisi Poltabes Kota Manado berpakaian preman, sementara 2 orang lainnya tidak saya kenal diparkiran Motor Mantos Mall. Sementara yang memimpin penculikan tersebut saya ketahui kemudian adalah AKBP HR. Wibowo Kasatreskrim Poltabes Kota Manado

2. Tengah malam tanggal 3 Maret 2008, diinterogasi sebagai saksi penyelundupan senjata ke Poso, yang konon dilakukan oleh seorang pejabat Pemprov. Sulawesi Utara, oleh 3 orang dari Sulawesi Tengah, dan seorang dari Polda Sulut. (ada rencana design rekayasa pertama (I) sebagai telah melakukan fitnah atas usul ajudan Gubernur kepada Wagub. Sulut).

3. Tanpa melalui mekanisme penyelidikan dan penelitian sesuai standar operasional prosedur (SOP) termasuk melalui mekanisme surat panggilan sesuai prosedur, beralih kepenyidikan laporan pengancaman dan pemerasan (pasal 368, 369 dan 335 KUHP) oleh penyidik Hadi Purnomo (BAP) pada tanggal 4 Maret 2008 didesign rekayasa tiba saat tiba akal kedua ( II ) atas laporan Ir. Recky Toemandoek, MM tertanggal 3 Maret 2008. 4. Empat (4) hari dalam penyekapan dipenjara Rutan Poltabes Kota Manado tanpa pemberitahuan kepada keluarga, sehingga membuat istri anak-anak dan mertua galau.

5. Sembilan belas (19) hari dipenjarakan di Rutan Poltabes Kota Manado tanpa surat perintah penahanan. Diberikan pada saat penyerahan surat perpanjangan penahanan.

6. Bujuk rayu untuk meminta maaf kepada Gubernur oleh Forum Koresponden Nasional.

7. Upaya Praperadilan digantung pengacara Michel Yakobus, SH,. MH. Permohonan Praperadilan-pun disiasati menurut versi Polisi, tidak sesuai fakta.

8. Bujuk rayu permintaan damai dengan Gubernur oleh Forum Koresponden Nasional, sekitar 5 kali. Mereka mendekati saya, saudara dan mertua, termasuk mendekati anak saya, hingga iming-iming kompensasi dinominal 650 juta rupiah.

9. Praperadilan direkayasa atas konspirasi pengacara





Lampiran 4

Kronologis Rekayasa III, IV & V


1. Karena upaya damai terus ditolak, menjelang pelimpahan berkas perkara dan tersangka ke Kejari Manado pada tanggal 26 April 2008, didesign rekayasa ketiga (III) laporan pencemar nama baik Gubernur.

2. Putus bebas murni sebagai sebuah kontroversi atas putusan Praperadilan, pada tanggal 15 Desember 2008.

3. Menunggu Kasasi, ada upaya penangkapan dari kelompok profesional pada tanggal 17 Januari 2009.

4. Penangkapan oleh 8 orang Buser Poltabes Manado plus 1 orang Polisi Polsek Kec. Tenga pada tanggal 4 Februari 2009 melakukan pengepungan rumah di Desa Boyong Atas, tanpa melalui mekanisme surat panggilan sebagaimana diatur sesuai KUHAP sebagai design Rekayasa keempat (IV). Menerobos kamar dan menyeret bagai penjahat besar. Penangkapan dengan alasan melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pengancaman kepada Polisi (pasal 212 dan 335 KUHP) atas pelanggaran lalu lintas tidak memakai helm pada tanggal 14 Januari 2009 yang di blow up. Diduga sebagai alasan untuk menahan dan menghambat upaya Kasasi yang akan saya kawal ke Jakarta.

5. Di BAP untuk Rekayasa keempat (IV) pada tanggal 5 Februari 2009 tanpa didampingi pengacara. Karena saya telah mengetahui merupakan design para Mafia Hukum, saya mengikuti saja apa dan untuk maksud apa skenario Mafia Hukum ini diciptakan lagi.

6. Pada tanggal 29 Maret 2009 dikeluarkan dari Rutan Poltabes Kota Manado karena tayangan TV One tentang kasus helm terheboh di Indonesia yang dieksploitir oleh Poltabes Kota Manado dibawah kepemimpinan Kapoltabes Lumowa dan Aridan Roeroe.

7. Pada tanggal 17 April 2009, kasus helm tersebut ditayangkan lagi di TV One dengan saya yang dikriminalisasikan oleh MAFIA HUKUM Sulut.

8. Dilaporkan pencemaran nama baik oleh Gubernur pada tanggal 18 April 2009 di Polda Metro dan disangkakan pasal 310 dan 315 KUHP sebagai Rekayasa kelima (V) atas tayangan TV One dan pemberitaan tabloid KPK.

9. Pada tanggal 19 April 2009 meminta pertemuan perdamaian oleh Tim SH. Sarundajang di Hotel Borobudur lt 18. Pertemuan tersebut dihadiri oleh 3 orang wartawan : Freddy Roeroe dari Kompas, Lexy Karel TV One, dan Michel Umbas mantan anak buah saya di Tabloid JEJaK, didampingi 2 orang pejabat : Steven Liow, SSos Ka. Humas Pemprov. Sulut dan Chrest Talumepa, SH,. MH Ka. Biro Hukum Pemprov. Sulut.

10. Humas juga meminta membeli 1400 Tabloid Jejakbulikts. Sumber kami menyebutkan telah dikucurkan dana sebesar 50 juta untuk kesepakatan tersebut. Namun kami jelaskan, bahwa pembayaran sepatutnya hanya 7 juta atas pembelian 1400 eks X Rp 5.000,-. Namun baru dibayar sebesar 5 juta rupiah oleh ipar Steven Liow. Sehingga Tim Sarundajang masih berutang 2 juta rupiah. Dan soal yang 50 juta kami tidak pernah lihat dan tahu.

11. Hampir 2 tahun menunggu kepastian hukum atas kasus rekayasa tiga (III) yang mengendap di Kejari Manado, pada tgl 22 November 2010, baru dilimpahkan ke PN. Manado.

12. Sedang dalam pemeriksaan sidang di PN. Manado, dipanggil 2 kali oleh penyidik Polda Metro Jaya, yang kemudian pada kali ke-2 saya ke Polda Metro Jaya untuk di BAP atas laporan Rekayasa kelima (V).

13. Menemukan berkas kriminalisasi oleh Makelar Kasus.




Lampiran 5


Fakta Sidang Rekayasa III


I. Novum Berkas Rekayasa ;

1. Ditemukan adanya Surat Dakwaan dengan pasal sesat 335 KUHP, sebagai suatu manipulasi fakta hukum ala Cyrus Sinaga pada kasus Gayus Tambunan, yang tidak sesuai BAP dari copian berkas perkara atau terjadi secara lain atas skenario Jaksa Penuntut Umum Rielke Palar, SH dan Claudia Lakoy, SH.

2. Dari copian berkas perkara tersebut, juga ditemukan tanggal yang berubah-ubah, penuh tip eks dan kode surat yang amburadul dan patut diduga hasil rekayasa.

4. Dari copian berkas perkara ditemukan adanya RESUME yang menyimpulkan dengan pasal 335 KUHP yang tidak sesuai BAP Terdakwa dan BAP saksi-saksi lainnya, sehingga jelas telah terjadi manipulasi fakta hukum.

5. Dari copian berkas perkara, ditemukan pula pada RESUME adanya goretan tanda tangan berbeda dari HR. Wibowo dibanding pada surat sebelum lainnya. Sehingga diduga RESUME ditanda tangani dengan tanda tangan palsu dengan Cap internal Polisi bulat lonjong dan bukan Cap bulat.

6. Apalagi adanya dugaan saksi korban SH. Sarundajang baru di BAP tahun 2010.

7. Dari copian berkas perkara, ditemukan pula saksi korban SH. Sarundajang di BAP ke-2 setelah pelapor bukan korban di BAP Boy Watuseke yang tidak mengakui laporannya dipersidangan.

8. Ditemukan pula dalam berkas perkara, Berita Acara Sumpah Janji. Yang mengindikasikan kuat telah dirancang Rekayasa Sidang dengan settingan untuk menghindari sidang.


II. Peradilan Sesat ;

1. Pemeriksaan Sidang pertama tanggal 12 Januari 2011 tidak sesuai tata cara KUHAP yang diatur pada pasal 160 ayat (1) b. Bahwa yang dilakukan pemeriksaan pertama adalah korban sebagai saksi. Namun yang diperiksa pertama adalah 3 orang saksi a charge : Boy Watuseke, SH, Oscar Wagiu dan Mely Koessoy.

2. Laporan Polisi tertanggal 1 April 2008, yang tidak diakui oleh saksi pelapor bukan korban Boy Watuseke, SH dipersidangan tidak dilakukan pemeriksaan konfrontir oleh Ketua Majelis Hakim terhadap saksi verbalism yang sudah ditetapkan pada sidang pertama.

3. Selama pemeriksaan ketiga saksi, terdakwa telah meminta bukti apakah benar ada peristiwa WOC dibulan Februari 2007 sesuai tuduhan dengan bukti surat berupa : daftar hadir, notulen rapat, undangan, SK panitia lokal, dan Keppres No. 23 tentang pembentukan panitia Nasional WOC tahun 2007, maupun berita diharian lokal terkait peristiwa WOC dimaksud. Namun hakim tidak berupaya menemukan bukti dan menilai benar tidaknya peristiwa WOC sebagaimana disangkakan.

4.Tidak ada pemeriksaan dipersidangan saksi Korban SH. Sarundajang setelah dilakukan penundaan sidang sebanyak 3 kali. Hingga sidang pada panggilan ketiga (3) tanggal 26 Januari 2011, yang menyebabkan terdakwa walk out karena terjadi pemaksaan BAP.

5. Tidak ada bukti keberadaan SH. Sarundajang dengan alasan tugas negara keluar Negeri, baik SPPD, Surat Tugas Menteri Dalam Negeri, Surat Tugas Menteri Luar Negeri, Surat Tugas Menteri Pertahanan, Surat Tugas Menteri Pariwisata, termasuk Pasport, Visa dan Tiket keluar Negeri.

6. Pada tgl 2 Februari 2011 pemanggilan saksi Xandramaya Lalu keempat kali tetap mangkir. Namun dipaksakan pembacaan BAPnya, walau telah ditolak oleh Terdakwa, sehingga Terdakwa melakukan walk out kali kedua (2).

7. Koran harian KOMENTAR tgl 4 Februari 2011, memberitakan telah diagenda pembacaan Tuntutan atau telah terjadi by pass oleh Majelis Hakim. Padahal Terdakwa belum dilakukan pemeriksaan dipersidangan.

8. Tidak dilakukan pemeriksaan saksi meringankan dari TPF BULIKT’S yang diminta dan telah dipersiapkan Terdakwa.

9. Melaporkan rekayasa sidang kepada ketua PN. Manado dan PT. Manado.

10. Diperiksa Majelis Hakim Tinggi PT. Manado oleh Andreas Don Rade, SH,. Mhum, sebagai ketua Majelis Hakim, Susanto, SH sebagai anggota dan Guntur J. Lelono, SH, Mhum sebagai anggota.


Lampiran 6

Agenda Sidang


1. Agenda Pembacaan Dakwaan, senin 29 November 2010

2. Agenda pembacaan Eksespsi Terdakwa dan Pengacara dari LBH Manado, Senin, 6 Desember 2010.

3. Agenda Jawaban JPU Kejari Manado, Senin 12 – 12- 2010.

4. Agenda Putusan Sela, Rabu, 22 Desember 2010. Dilanjutkan.

5. Sidang Ke-5, Agenda Pemeriksaan saksi Korban, 12 Januari 2011 (tidak hadir, dengan alasan ke Jepang). Anehnya, langsung dilakukan pemeriksaan 3 orang saksi.

6. Sidang Ke-6, Agenda Pemeriksaan Korban ke-2, Rabu 19 Januari 2011, mangkir lagi dengan Surat Keterangan alasan ke Pnom Phen tugas kenegaraan (ternyata tdk pernah ke Pnom Phen).

7. Sidang ke-7, Agenda Pemeriksaan Korban panggilan ke-3, Rabu, 26 Januari 2011, Korban mangkir (Surat Keterangan Pertemuan dengan Menteri PU pada tgl 26 Januari). Fakta, ternyata tidak ada/ dusta.

- Hakim memerintahkan pembacaan BAP Korban, atas permintaan surat keterangan KORBAN. Kami menolak dan memilih Walk Out.

- Kembali dipanggil masuk sidang. Ditetapkan agenda lanjutan pemeriksaan saksi Ir. Xandramaya Lalu.

8. Sidang ke-8, Agenda Pemeriksaan Saksi BAP ke-4 Rabu, 2 Februari 2011, Ir. Xandramaya Lalu, mangkir, tanpa surat dan tdk dibacakan.

- Hakim memerintahkan pembacaan BAP, kami menolak namun tetap dipaksakan. Kami memilih Walk Out lagi.

Pada persidangan itu juga, saya meminta :

a. Menghadirkan 2 penyidik, terkait dengan LP yang tidak diakui pelapor Boy Watuseke, SH. Sesuai janji Hakim Ketua (KUHAP Psl 160 point c). Permintaan saya tidak digubris.

b. Meminta menghadirkan Korban, dengan alasan telah memberikan keterangan bohong, (pertemuan dengan Menteri PU Rabu tgl 26 Januari 2011, ternyata tidak ada).

c. Menolak pembacaan BAP Ir. Xandramaya saksi BAP dan meminta dihadirkan mengingat sebagai saksi penting, selaku kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut.

Merasa tidak adil dan ditindas, kami memilih walk out, atas persidangan yang timpang dan penuh Rekayasa.

1. Sesuai berita Koran harian KOMENTAR tgl 4 Februari 2011, diagendakan pembacaan Tuntutan. Padahal belum ada pemeriksaan saksi meringankan, saksi verbalsm (penyidik), termasuk belum ada pemeriksaan Terdakwa.

2. Merasa tidak pernah diperiksa sebagai Terdakwa, pada tgl 7 Februari 2011, saya memasukan surat protes/ laporan “Melawan Rekayasa Peradilan Sesat ke PN. Manado, dan ke PT Manado.

3. Pada tgl 10 Februari 2011, saya memasukan surat permohonan penggantian Ketua Majelis Hakim atas alasan saratnya Rekayasa Peradilan Sesat di PN. Manado atau patut diduga telah terjadi intervensi.

4. Belum mendapat jawaban, kembali saya memasukkan surat yang sama sekaligus memberi laporan ke Pengadilan Tinggi Manado.










Lampiran 7


Kronologis Berat Sebelah Hakim


Selama proses persidangan berlangsung, tanda-tanda akan terjadi rekayasa, sudah mulai teridentifikasi dari tindakan hakim yang menunjukkan sikap berat sebelah, sejak sidang pemeriksaan pertama saksi berlangsung, yang tidak sepatutnya dilakukan karena melanggar pasal 158 KUHAP.

Bahwa selama proses persidangan hakim mengabaikan bukti dan keterangan yang harus didengar terkait dengan pembuktian fakta hukum yang direkayasa dipersidangan. Bila terjadi tindakan berani hakim seperti ini, maka dipastikan karena biasanya terdakwa dianggap tidak tahu hukum. Kemudian juga, telah terjadi kongkalingkong atau konspirasi yang bermuara kepada penyuapan. Namun orang yang berani melakukan keberanian seperti ini, karena tahu sekali menghilangkan jejak tindakan kejahatan penyuapan. Berikut beberapa tindakan menyimpang :

1. Membuat pernyataan memihak, atas tanggapan saya Terdakwa, tidak benar dari kesaksian saksi Drs. Oscar Wagiu, yang saya sanggah tidak benar, ditanggapi Hakim, Kok tidak benar, tulis !. katanya kepada Panitera Pengganti dengan suara lantang.

2. Membuat pernyataan memihak, atas tanggapan saya Terdakwa, tidak benar dari keterangan saksi Meiky H. Koessoy, ditanggapi Hakim, Loh kok tidak benar semua ?, ini orang Bappeda loh, tulis katanya dengan tegas kepada Panitera Pengganti.

Dalam hati saya hanya bisa berguman, loh kok memang tidak benar, apa harus dibilang benar ?. Aneh hakim ini pikir saya.

Nampak dan jelas sekali sikap hakim berat sebelah dan tidak independent ! atau patut diduga telah melanggar KUHAP psl 158.

      1. Membuat pernyataan pembelaan atas komplein saya atas surat keterangan Sarundajang yang tidak benar alias bohong dan saya dinilai sebagai rekayasa. Dimana hakim membuat pernyataan tidak ada rekayasa. Apalagi selama ini tidak pernah hakim meminta bukti keberadaan Korban disuatu tempat, sehingga saya bertekat berjuang melawan peradilan sesat.

      2. Pengabaian bukti-bukti yang diminta serta keterangan tentang adanya laporan Polisi

Yang ditolak saksi pelapor bukan korban.






Quotes Holy Bible

Matius 6:33 -- "Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu." -- Lembaga Alkitab Indonesia (TB) Terjemahan Baru.

Youtube

Label

Novel (3)